MH 5

1248 Kata
** Dwika duduk di cafe sambil sesekali celingukan, memperhatikan pintu masuk. Berharap orang yang ditunggunya datang. Tapi begitu datang, Dwika malah ingin marah, bercampur malu. "Ck, kenapa masih pake seragam?!" geramnya kesal dengan suara tertahan. Moody mengernyit tak suka lalu melirik jam tangannya. "Ini jam 4. Aku baru pulang sekolah kali. Ya udah, aku harus pulang dulu nih buat ganti baju?" Moody bersiap membalikkan badan. Dwika mendengkus,"Duduk." "Mau pesen apa, aku yang bayar." Moody melambai ke arah waitress. Dengan senyum ramah sang waitress mencatat pesanan Moody. "Banyak banget, emang segitu abis?" tanya Dwika. "Abis. Kalo nggak abis ya bawa pulang. Ribet amat. Ikhlas nggak nih?" matanya mengerling. "Ikhlas," Moody tersenyum,"Ada apaan sih Kak? Serius amat," "Bunda nanyain soal kepastian kita." Moody diam. Dia ingat saat malam lalu ia menjenguk Tika, bundanya Dwika. Agar Tika tidak ngambek lagi pada sang anak, Moody membantu menjawab. Sebenarnya itu tidak mereka rencanakan. ~"Kami perlu waktu Tante, se-nggaknya ada penjajagan dulu, saling kenal dulu. Iya kan Tan? Mungkin Kak Dwika masih kaget. Apalagi aku," kata Moody.~ Itu yang Moody sampaikan pada Tika. Memang, Tika sudah tidak marah lagi pada Dwika. Tapi imbasnya, Dwika jadi punya tugas baru yang harus selalu jadi calon pacar siaga, on time, mesti anter-jemput Moody, anter Moody kemana pun gadis itu mau pergi. Hal ini yang jadi poin keberatan Dwika. Makanya dia mengajak ketemuan dengan gadis SMA itu. Belum lagi Tika yang selalu menyuruhnya gerak cepat atau jemput bola untuk sesegera mungkin ngajak Moody jadian. Waitress datang mengantarkan pesanan Moody. Dwika mendengkus begitu melihat pesanan gadis itu. Ada lima menu tersaji di meja. "Iya deh ntar aku ngobrol lagi sama Tante. Emang se-nggak mau itu ya Kakak dijodohin sama aku?" Moody mengucek minumannya dengan sedotan. "Emang kamu mau?" Dwika menoleh malas. "Ya, ng-nggak juga sih." Kok gue nyesek ya ditanyain gitu? Dwika berasa nggak rela kalo gue bilang mau. Hati... be quite! - Moody Sedang diam-diam begitu, tiba-tiba ada yang duduk di sebelah Dwika. Cewek seksi. Moody berasa baca novel dengan melihat adegan seperti ini. Seorang cowok CEO, ganteng, gagah, tajir, tengah bersama cewek yang dijodohkan dengannya. Tiba-tiba datang seorang cewek yang tak lain pacar si cowok. Lalu terjadilah perdebatan sengit diantara ketiganya, memperebutkan si cowok. Moody jadi ingin ketawa. "Apa kabar, Ka?" Tuh kan... "Eum ... baik. Kamu?" Dia tersenyum,"Baik dong. Kenapa sih nggak pernah lagi main ke rumah?" Ganjen bener! "Sibuk. Nando udah pulang?" Dwika terlihat akrab, sejauh ini Moody masih memperhatikan mereka. "Belum. Waktu itu nelpon katanya sekitar semingguan lagi," "Oh," Moody merasa dikacangi, diabaikan. Ya sudah dia melambai ke waitress. "Iya Mbak?" waitress itu menghampiri. "Bisa di bawa pulang makanannya? Soalnya buat aku makan lagi di jalan. Boleh ya?" Waitress itu tersenyum,"Boleh Mbak. Tunggu ya Mbak?" Waitress itu mengambil makanan yang tak habis, spaghetti, burger dan es krim yang masih utuh. "Kamu mau pulang?" tanya Dwika seolah baru sadar akan kehadiran Moody. Moody hanya mengangguk tak menyahut. "Siapa Ka? Perasaan kamu nggak punya adek perempuan deh," ujar cewek tadi. "Nanda, ini Moody. Keponakan aku." What the f**k?! Keponakan dari Hongkong! - Moody Moody mengerling. Mood-nya benar-benar anjlok! "Ck, bukan siapa-siapa kok Mbak. Nggak usah dipikirin," elak Moody. Cewek itu menatap Dwika dan Moody bergantian. "Serius kamu udah lupain Retha?" Retha? Siapa lagi tuh? Pacarnya banyak banget. -Moody "Sori ya Nan, aku harus anter Moody." Dwika menarik lengan Moody. "E-eh ... makanannya Kak!" "Ntar aku beliin lagi." Dwika baru melepas tangan Moody setelah sampai di depan mobil. "Masuk," titahnya. Moody cemberut. Dia pikir Aditya saja masih bisa bersikap manis padanya. Lah ini? Moody tak suka suasana canggung seperti ini. Dia lalu mengotak-atik ponselnya, berselancar di Twitter, menyapa beberapa teman mayanya. "Dia Nanda." "Hm..." Moody mengangguk, kedua matanya masih terpaku pada ponselnya. "Nando sahabatku waktu SMA. Nando-Nanda saudara kembar," Moody menoleh sekilas lalu kembali pada kegiatannya. "Kaitannya sama aku apa?" Glek. Bego! Iya, apa hubungannya gue mesti klarifikasi segala sama nih bocah? - Dwika "Nggak, siapa tahu kamu kepo. Dan maaf, tadi ngenalin kamu sebagai ponakan," ujungnya. "Ribet emang cara pikir orang dewasa ya? Tinggal bilang aja, adek temen kek yang tiba-tiba ketemu di cafe, atau fans mungkin? Toh aku yakin dia nggak bakal kepo-kepo amat," cetus Moody ketus. Dwika melirik Moody. Cerocosannya mengingatkan dia akan sosok Retha. Retha meskipun agak pendiam, tapi bisa cerewet pada saat-saat tertentu. Dan itu menggemaskan. Moody dan Retha sama-sama simpel. "Trus, pacar Kak Dwika itu Retha? Lalu kemana dia?" Jleb. Kenapa lo tanya dia, Momo?! - Dwika Pegangan Dwika di stir makin erat. "Dia udah nggak ada," "Eoh? Nggak ada, maksudnya?" "Ya udah nggak ada." "Nggak ada secara harfiahkah?" Dwika diam. Moody menutup mulutnya yang keceplosan. "Maaf," Tak ada sahutan. Moody melirik Dwika. Ditatapnya wajah cowok itu dari samping. Hidung mancung, rahang yang tegas, bahkan tumbuh bulu-bulu halus di sekitarnya. Moody menghembuskan nafas. Karena kehilangan orang yang dikasihi jadi membuat cowok di sampingnya itu tak peduli diri sendiri, tak merawat diri. Kuku-kukunya saja dibiarkan panjang. Rambutnya juga gondrong. Padahal seingatnya menurut cerita Tari, Dwika itu seorang CEO perusahaan. Dan sangat memperhatikan penampilan. Nah ini? Jungkir balik! Apa gini tampilan CEO? - Moody Moody menggelengkan kepalanya berkali-kali dan itu mengundang tanya Dwika. "Kenapa?" "Kakak jorok ih! Tuh liat, kukunya panjang-panjang gitu. Kotor lagi. Rambut, kapan terakhir dipotong? Iyuhh, mana lepek berminyak lagi. Nih jambang nih, cukuran dong. Katanya CEO, penampilannya kok rusak gini?" tunjuknya ke arah rahang cowok itu. Dwika terbahak mendengar keceriwisan Moody. Diusaknya rambut Moody. Tapi kemudian Dwika tersadar, dan tangannya mengambang di udara. Cepat ditariknya kembali tangannya yang terlanjur terjulur. "Sotoy!" Dwika menoyor jidat Moody. "Kupikir Om-om itu nggak gaul, nggak kenal kosa kata sotoy, santuy dan sejenisnya," komentar Moody. "Kata itu udah ada sebelum kamu lahir bahkan. Sok ngajari aku. Lagian, hobi banget manggil aku Om-om?" "Lah? Aku manggilnya Kakak bukan Om, wleee! Tuh telinga periksa ke THT," Dwika hampir membekap mulut ceriwis Moody kalau tak ingat lagi dimana. "Seumur kakak emang udah pantes dipanggil Om kok. Coba aja hitung, kita beda berapa tahun?" Dwika mengernyit. Dirinya sudah mendekati kepala 3. Tahun depan malah sudah 30. Dwika mendadak gusar. "See?" Moody menggedikkan kedua bahunya. "Anda pasti berasa sangat tua sekarang..." Moody terkikik. Dwika mengerling, sebelah tangannya mencubit pipi Moody. "Hobi banget bikin kesel, ih!" "Kak, ihh ... sakit tahu! Pipiku tambah melar ntar, huh..." Moody mengusap-usap pipinya. Merah. "Sori. Abisan kamu mancing-mancing mulu," Agak canggung, Dwika ikut mengusap pipi Moody. Eh? Maaf Retha... * Moody menyapa dadanya. Dari tadi jantung dan hatinya loncat-loncat tak karuan. Tak sakit tapi menggelitik. Dan anehnya kenapa selalu seperti itu saat berdekatan atau bertemu Dwika. Padahal cowok itu baru ditemuinya, baru dikenalnya. Seperti ada jembatan tak kasat mata yang menghubungkan dirinya dengan Dwika. Tapi apa?? Teori yang sekiranya tak masuk akal dicarinya. Kira-kira apa yang menjadikannya seperti itu? Tata dan Titus memperhatikan kelakuan Moody yang sejak pulang tadi hanya mondar-mandir. Rautnya serius seperti sedang berpikir keras. Sesekali tangannya menempel di d**a. Lalu mondar-mandir lagi. "Kenapa tuh bocah?" Titus bertolak pinggang. "Tadi dia dianter Dwika tuh. Pulang-pulang jadi kesurupan setan strikaan!" sahut Tata. "Dianter Dwika? Tumben," "Iya. Mama senengnya minta ampun." balas Tata. "Emang mereka jadi dijodohin?" tanya Titus pelan. Tata mengangguk,"Kayaknya..." Titus ikutan manggut-manggut. "Tapi kok gue nggak yakin sama tuh cowok." Tata menyikut adiknya,"Yaelah, cembokur lo?" "Cembokur dari Tasmania! Adek gue kali. Kita liat aja, kalo sampe si Moo lecet-lecet, gue bikin perhitungan sama dia." Tata mesem,"Sok asik lo!" Titus cuma mengekeh. Moody adiknya yang harus ia lindungi. Mereka besar bersama. Jadi keterikatan secara batin terjalin dengan sendirinya. Dia tak ingin melihat Moody terbaring lagi di meja operasi. Jangan lagi. ** Next
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN