"Ternyata gue salah paham." Ucap Senja setelah beberapa saat Jingga masuk dalam mobilnya, membawa dua gelas teh poci. Dia menyambut gadis itu dengan muka muram dan kesal. Ucapannya barusan pun dingin, membuat Jingga jadi serba salah.
Namun tidak lama kemudian, tanpa terduga mendaratlah jitakan ringan dikepala Jingga, dan saat itu juga Senja mengeluarkan suaranya lagi.
"a***y, ternyata selama ini yang kegenitan itu lo." Ucapnya lagi, membuat Jingga mengernyitkan alis, masih tidak mengerti dengan maksud sahabatnya itu.
"Sama penjual teh poci."
Dan, Jingga tau apa maksud laki-laki itu sekarang.
"Jiiin, biarlah rasa malu lo sebagai cewek udah ilang sejak lahir, tapi plis sebagai sahabat gue jangan malu-maluin." Tambah laki-laki itu yang ternyata menyaksikan sendiri bagaimana Jingga mengerjai penjual teh poci itu dengan kegenitannya.
"Apasih lo, gue cuman becanda tadi." Balas Jingga yang tidak perduli. Senja selalu seperti itu.
"Seenggaknya, lo bisa bersikap kecewekan dikit napa." Senja mulai mendebat.
"Kalo gue bisa bersikap kecewekan, lo akan suka gue?" Tanya Jingga yang terlihat menantang Senja. Tapi hingga beberapa saat kemudian, dia tubuhnya mundur dan terasa lemas karena mendapatkan tatapan penuh intimidasi dari sahabatnya.
Oh tidak. Bicara apa aku tadi.
Jingga mengutuk dirinya lagi dan lagi, sudah berapa kali dia keceplosan seperti itu. Seakan dia berharap perasaan laki-laki itu bisa berubah jika Jingga sendiri bisa merubah dirinya sendiri.
"Kalo lo beneran bisa, gue pasti suka lo." Ucap Senja sembari menyimpulkan senyumnya. Apa itu sebuah kode? Bahwa sebenarnya Senja juga menyukai Jingga, dan ingin gadis kesayangannya itu terlihat lebih anggun.
"Apa lo yakin?" Tanya Jingga memastikan.
"Iya, gue yakin." Jawab Senja.
"Eh, gue nggak salah dibeliin minum sama lo nih?" Tambahnya, saat baru sadar bahwa ditangannya sudah ada teh poci yang diberikan oleh Jingga.
Jingga masih fokus dengan pikirannya sendiri.
Apa persahabatan itu bisa berubah menjadi cinta? Apa perasaannya bisa terbalas, meski Jingga tau dia akan menjadi diri yang lain, dengan merubah dirinya menjadi lebih anggun?
"JIN."
Jingga tersentak dari lamunannya, saat Senja memanggilnya dengan keras tepat didaun telinganya.
"Anjir. Kebiasaan lo." Jingga meninju lengan Senja, dan membuat hentakan hingga minuman yang dibawanya tumpah sedikit.
"Lo yang kebiasaan. Bisa nggak latah lo diganti dengan hal yang manis?"
"Minum teh lo tuh, udah manis kan?"
"Dasar cewek jadi-jadian. Yaudah, kita pulang sekarang."
Senja mulai menyalakan mesin mobilnya, dan tujuan pertamanya sekarang adalah rumah Jingga, selain mengantarkan gadis itu, dia juga akan berkunjung ke Mamanya Jingga yang notabenenya adalah sahabat Mamanya. Ada titipan yang harus diberikan langsung.
Cewek jadi-jadian? Baiklah. Aku akan berjanji, sebutan itu tidak akan diucapkan lagi oleh Senja, dia bahkan akan menyukaiku seperti yang dikatakannya.
Jingga masih memikirkan hal itu, sebuah kesempatan yang dianggapnya berharga. Entah apa yang dikatakan oleh Senja benar atau cuman mengada-ada karena sudah sebal dengan sikap Jingga, tapi yang terpenting gadis itu ingin mencoba.
***
"Rena," Bintang tidak sengaja bertemu dengan teman lamanya disekolah lain, gadis yang sama, yang selalu menjadi pesaingnya disekolahan jika masalah peringkat.
"Hai Bintang, lo ngapain disini?" Tanya gadis yang berparas cantik dan imut sepertinya Bintang.
"Gue, beli teh poci. Lo sendiri ngapain disini?" Tanya balik Bintang. Dia tidak mau Rena tau bahwa dirinya sedang bersama Ren, nanti malah akan banyak pertanyaan yang dibuat gosip receh digeng Rena.
"Mmm, saudara gue ngajak main disini. Eh gue duluan ya." Ucap Rena langsung pergi begitu saja.
Sedangkan Ren, laki-laki yang sejak tadi menjadi pusat perhatian Bintang, masih dengan fokusnya pada seseorang yang mengalihkan perhatiannya, bahkan laki-laki itu tidak peduli saat Bintang pamit untuk membelikannya minum.
"Nunggu lama ya?" Tanya Bintang sembari mengambil duduk sejajar dengan Ren dibangku taman tersebut.
Ren tersenyum sekilas, lalu menjawabnya.
"Nggak kok."
Bintang pun mengambil sapu tangan ditasnya, dan mengeluarkan es batu dari plastik, lalu membungkus es batu tersebut di sapu tangannya.
"Aku obatin dulu lukamu ya." Ucap Bintang ingin meletakkan sapu tangannya itu pada luka Ren, tapi tangan laki-laki itu membuatnya berhenti.
"Aku saja yang obatin sendiri."
"Apa kamu bisa?"
Ren mengangguk, hanya itu. Lalu Bintang menyodorkan sapu tangan tersebut ke Ren. Dia tidak mau mendebat laki-laki itu, biar Ren membersihkan lukanya sendiri, meski tidak jamin bisa melakukannya sendiri.
"Oh ya, tadi temanmu?" Tanya Ren selanjutnya.
Bintang mendongak untuk melihat laki-laki itu.
"Yang mana?"
Ada dua orang yang baru ditemui Bintang. Pertama Jingga, dan kedua Rena.
"Yang tadi bicara denganmu." Ucap Ren.
Bintang berpikir yang dimaksud Ren adalah Rena yang baru saja berbicara dengannya.
"Oh itu, dia Rena. apa kamu mengenalnya." Tanya Bintang.
Ren diam, kemudian menggeleng. "Tidak. aaakh."
Usapannya terlalu keras, membuat dirinya sendiri meringis. Bintang yang menyaksikannya hanya terkekeh, lalu mengambil sapu tangan digenggaman Ren.
"Katamu bisa mengobati sendiri, tapi liat gimana kamu menyakiti diri sendiri." Ucap Bintang sembari berdecak. Sedangkan Ren ikut terkekeh pula.
Pemandangan yang cukup indah, pikir Bintang. Sudah berapa lama dia tak pernah melihat Ren, kekasihnya terkekeh seperti itu. Dulu, hal sepele pun bisa membuatnya terkekeh bersama dengan Bintang, tapi sekarang? butuh banyak tenaga untuk melihat itu. Bintang terus berdoa agar Ren yang dulu kembali. Dan semua masalah yang ditakutinya sekarang, segera terselesaikan.
***
"Maaaaa,"
Jingga memasuki rumah, dengan diikuti Senja. Laki-laki itu berdecak saat mendengar betapa menggelegarnya suara Jingga dirumah sepi itu. Jingga yang berjanji akan memperbaiki dirinya lebih anggun, segera salah tingkah. Dan berjalan gontai, sekedar mencari pembantunya agar bisa mmbantu mencari Mamanya.
"Non, Nyonya lagi keluar rumah. Kenapa mencarinya?"
"Oh keluar rumah ya Bi? nggak, ini loh si Senja ada titipan untuk Mama, yaudah deh biar aku bilang ke dia."
Belum juga sempurna berbalik, Jingga sudah terhenyak karena tubuh seseorang menghalanginya melangkah. Dia segera mendongak mencari tau siapa yang telah menghalanginya.
"Eh Senja lo disini,"
"Iya, nggak perlu lo kasih tau lagi. Gue udah denger."
"Oke deh kalo gitu, udah yok keluar." Jingga melangkah terlebih dahulu, melewati Senja. Namun langkahnya terhenti, ketika ujung kerudungnya yang belakang ditarik oleh laki-laki itu.
"Apasih lo. Lo pikir gue anak kucing, ha?" Sergah Jingga tidak terima.
"Peka nggak sih lo?" Jingga mengernyitkan alisnya. Dia berpikir keras, memangnya tadi Senja sedang ngode sesuatu ya?Ah perasaan laki-laki itu lempeng aja.
"Iya peka, yok keluar." Ucap Jingga melepaskan tangan Senja yang masih ada diujung kerudungnya, lalu menarik lengan itu agar keluar bersamanya.
"Apa yang lo peka?" Senja tidak beranjak.
"Lo pengen cepet-cepet pulang kan? gue tau banget, Senja. Yaudah sekarang lo tinggal keluar aja dari rumah ini." Ucap Jingga, yang berhasil mendapat jeweran dari Senja.
"Ini biar lo peka."
"Apasih lo. k*******n banget deh. Gue laporin ke polisi kasus KDRT, mampus lo." Gerutu Jingga.
"Gila, tau kasus itu nggak lo? main laporin aja." Sergah Senja.
"Iyalah tau, k*******n dalam rumah tangga. Sekarang kita ada dimana? dirumah kan? itu berarti termasuk KDRT." Jelas Jingga.
"Ah tau deh. Serah lo. Gue mau minum, nunggu lo peka, mungkin nanti sampek ada tahun gajah lagi." Ucap Senja ngelonyor pergi kedalam dapur.
"Permisi ya Bi." Ucapnya ketika melihat asisten rumah tangga itu terkekeh menyaksikan aksi konyol mereka berdua.
"Oh minum toh. Gue pikir peka apaan, ya kali peka tentang perasaaannya." Bisik Jingga dengan dirinya sendiri.
Andai dengan mengubah sikapku saja, bisa membuatmu melihatku.