4.

1021 Kata
Di UKS, Regan terus memeluk Aquila yang tak berhenti menangis. Mungkin gadis itu masih syok dengan kejadian tadi. Rahangnya mengeras saat mengingat peristiwa itu—gadisnya hampir dilucuti di depan umum. Keputusannya menjauhi Aquila selama dua hari jelas merupakan kesalahan besar. "Maafin gue. Kalau gue nggak ngejauh, pasti ini nggak akan kejadian," lirih Regan sambil memeluk Aquila erat, penuh rasa bersalah. Aquila menangis tanpa henti. Rasa malu dan marah bercampur menjadi satu. Selama ini ia memang memilih diam, tapi tadi, entah kenapa, emosinya meledak. Ia melampiaskan segalanya pada Regan yang terus memeluknya—mencubit dan memukul pelan punggungnya. Regan diam saja. Tangan kecil Aquila tak akan menyakitinya. Yang menyakitkan justru isakan gadis itu yang tak juga berhenti. Ia ingin mendengar kemarahan Aquila, kekecewaannya. Tapi gadis itu hanya terisak, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Tok tok tok. "Gue bukain dulu, mungkin Arnold," kata Regan, melepaskan pelukannya. Benar saja, Arnold berdiri di depan pintu, menyodorkan seragam baru untuk Aquila. Regan menerimanya dan menutup pintu setelah mengucapkan terima kasih. "Nih, ganti. Gue tunggu di luar," ucapnya. Aquila hanya diam, membiarkan Regan keluar. Ia menatap seragam di pangkuannya. Ada rasa hangat yang muncul dari perhatian kecil itu. Ia akui, saat Regan menjauh, ada kekosongan yang terasa. Tapi ia juga lega, karena Regan tidak harus terus mengurusi dirinya yang... bahkan belum tentu bisa membalasnya. Sepulang sekolah, Regan buru-buru keluar dari kelas untuk menjemput Aquila di UKS. Ia khawatir gadis itu diserang lagi. Tapi di depan UKS, ia melihat Aquila sudah bersiap pulang. "Biar gue anter pulang," ujarnya. Seperti sebelumnya, Aquila hanya diam. Di koridor, mereka melewati banyak murid—termasuk gadis-gadis yang tadi membully Aquila. Tiba-tiba, Aquila memeluk pinggang Regan dan tersenyum cerah. Ia bahkan menarik tangan Regan agar memeluk pinggangnya juga. "Dih, murahan," celetuk Sella. "Ih, ganjen banget." "Sok cantik banget, dah." "Biasalah, nggak tahu malu." Aquila berhenti di tengah koridor. Semua mata menatapnya, termasuk Regan. "Sayang, aku cantik nggak? Atau kamu lebih suka Sella?" tanyanya manja. Regan mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. Ia tahu Aquila sedang butuh dukungan. "Nggak ada yang lebih cantik dari kamu. Jangan bandingin kecantikan kamu sama yang cantik karena disemen," jawab Regan lembut. Senyum Aquila makin lebar. Ia memeluk Regan erat, membuat para siswi yang melihatnya tampak iri. Regan yang tampan dan populer ternyata luluh pada gadis cupu. Sella mendengus kesal lalu pergi. Semua tahu maksud ucapan "disemen" Regan—Sella memang selalu tampil dengan makeup tebal dan bulu mata palsu. *** Malam harinya, Aquila bergumam sendiri di kamar. "Ah, kenapa aku g****k banget sih tadi? Gimana kalau Regan malah jijik liat aku?" Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu. Aquila buru-buru naik ke ranjang dan menarik selimut. "Kakak tahu kamu belum tidur," suara kakaknya terdengar dari balik pintu. "Hehe, hai kakak ganteng," sapa Aquila sambil menyembul dari balik selimut. "Anak bandel," lelaki itu masuk dan berbaring di samping Aquila. "Heeemm... kangeeennn..." Aquila memeluk kakaknya manja. "Kakak juga. Udah, tidur. Besok jangan kesiangan." Aquila mengangguk dan memejamkan mata. Ia sangat merindukan sosok kakaknya yang selalu menjaga dan menuruti semua keinginannya. Meski hidup tanpa orang tua, Aquila bahagia memiliki kakak seperti Andre. Orang tua mereka meninggal karena kecelakaan pesawat saat Aquila baru berusia dua tahun. Cup. "Tidur yang nyenyak, sayang. Mimpi indah," bisik Andre sambil mengecup kening adiknya. Pagi harinya, Aquila sudah siap dan sarapan bersama Andre, satu-satunya keluarga yang ia miliki. Lelaki itu kini menjadi pemimpin perusahaan di usia muda. Meski kaya, hidup mereka tidak selalu mudah. Andre terpaksa dewasa sebelum waktunya. "Kak, aku mau liburan ke Bali minggu depan sama teman-teman," kata Aquila. "Kapan? Siapa aja? Nginep di mana?" tanya Andre, seperti biasa. "Sama cewek-cewek cantik. Nginep di vila keluarga Cherly." "Oke. Tapi kalian naik jet pribadi. Nggak boleh naik penerbangan umum." "Heeem, iya kak." Aquila sudah menduga jawabannya. Andre sangat protektif, apalagi setelah kehilangan orang tua. Ia bahkan tak pernah menjalin hubungan asmara, karena tak ingin Aquila merasa tersisih. "Kakak berangkat dulu ya. Jangan berangkat sebelum sarapan selesai. Ngerti?" Aquila mengangguk dengan mulut penuh makanan. Setelah Andre pergi, bel rumah berbunyi. Aquila tetap duduk santai—biar asisten rumah tangga yang membuka. Puk puk. Seseorang menepuk kepalanya pelan, lalu mengelus lembut. "Sarapan yang banyak, biar kuat ngelawan cewek-cewek yang deketin pacar lo," ucap Regan sambil tersenyum jail. "Ck, jangan bikin aku kesel pagi-pagi. Nanti batal perjanjiannya," dengus Aquila. "Hahaha, iya pacar," goda Regan. "Udah, ayo berangkat." Aquila berdiri dan berpamitan pada asisten rumah tangga. Dalam perjalanan, Regan sesekali melirik Aquila yang sibuk dengan ponselnya. Gadis itu terlihat lucu saat serius. "Euum, Regan," rengek Aquila saat pipinya dicubit. Regan tertawa geli. Tapi tawa itu langsung sirna. "Regan, awas!" teriak Aquila. Ciit! Mobil berhenti mendadak. Regan dan Aquila langsung keluar. Di pinggir jalan, seorang anak laki-laki duduk sambil memegangi kaki berdarah. "Dek? Astaghfirullah, maafin kakak ya?" ucap Regan panik. "Iya kak, gapapa kok. Ini cuma luka kecil," jawab anak itu. "Regan, ayo bawa ke rumah sakit," ujar Aquila cemas. Regan mengangguk dan mengangkat anak itu masuk ke mobil. Aquila mengambil karung milik anak itu dan meletakkannya di jok belakang. Sesekali Aquila melirik ke belakang dengan wajah khawatir. Ia masih syok. Sesampainya di rumah sakit, Regan menggendong si bocah masuk ke dalam. Mereka sangat khawatir, apalagi darah di kaki anak itu terlihat cukup banyak. Aquila berjalan menuju ruang pemeriksaan, ia menatap kosong pintu ruangan itu. Ada rasa takut dan khawatir bercampur menjadi satu. Regan yang melihat itu langsung mendekati Aquila dengan rasa bersalah. "Maaf," ucap Regan pelan, kepalanya tertunduk tak berani menatap Aquila. "Ini kesalahan kita, karena asyik bercanda. Kamu nggak perlu minta maaf sama aku," kata Aquila lembut. Kini keduanya duduk di kursi tunggu, mungkin mereka akan sedikit kesiangan pergi ke sekolah. Karena kejadian ini, sekarang saja sudah hampir jam tujuh. Selesai membayar administrasi, Regan mengantarkan anak yang tadi diserempet pulang. Alangkah terkejutnya saat ia dan Aquila turun dari mobil. Mereka melihat rumah yang sudah tidak layak ditempati itu dengan pandangan miris. "Adek, kamu tinggal sama siapa?" tanya Regan. "Bima tinggal bareng adek sama ayah, Kak," jawab anak itu. "Kamu nggak sekolah ya?" tanya Aquila. Anak bernama Bima itu menggeleng sedih. Dari wajahnya, Aquila tahu jika anak itu ingin pergi ke sekolah bersama anak lainnya. "Ayo, Kak masuk," ajak Bima dengan langkah tertatih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN