Chapter 1: Their Life

2567 Kata
"Life is a dream for the wise, a game for the fool, a comedy for the rich, a tragedy for the poor." - Sholom Aleichem -------------- 2020 Gadis itu berlari dengan kecepatan maksimal sambil sesekali mengatur nafasnya yang tersenggal, bahkan pandangan orang-orang yang memperhatikannya tidak ia pedulikan. Ketakutan yang ia alami kini jauh lebih penting dari segalanya. "Berhenti di sana! Hei!" teriak sekumpulan pria berjas hitam dengan wajah sangar yang mengejar gadis itu seolah tiada hari lain untuk melakukannya. Seluruh kekuatan mereka dipacu sekuat tenaga, peluh sudah membanjiri kedua belah pihak namun aksi kejar mengejar di tengah teriknya matahari tidak memengaruhi mereka. "Oh s**t, aku harus lari kemana ini?" pekik gadis itu panik. Ia mengusap pergelangan kakinya yang memerah karena sejak tadi ia berlari dengan sepatu yang robek disana - sini. Begitu mendengar suara teriakan para preman itu, ia mengumpat pelan sebelum melepas sepatunya dan berlari bertelanjang kaki. Wajah cantiknya sudah pucat pasi, ia benar - benar takut jika ia harus mati di tangan preman - preman sialan itu. Gadis itu seakan mendapat pencerahan saat melihat sebuah gang kecil di ujung jalan, terlebih ia melihat telephone box usang bertengger manis disana. Ia tersenyum lega lalu langsung berlari kearah gang dan masuk ke dalam box. Ketiga pria itu semakin bingung melihat gadis yang mereka kejar berlari seperti angin. Mereka yakin gadis itu memang berbeda dengan gadis pada umumnya. Entah sudah berapa kilometer mereka berlari sejak mereka menangkap basah si gadis yang bekerja di sebuah coffee shop kecil di pusat kota, namun rasa lelah tampaknya tak dirasakan oleh gadis itu, tidak seperti mereka yang rasanya lebih baik mati dibanding harus mengejar gadis itu lebih lama lagi. "S-stop...aku sudah tidak kuat..." ujar salah satu dari mereka tepat ketika ia berkacak pinggang seraya mengatur pernafasannya kembali. Empat pria lainnya pun ikut menyerah, bahkan mereka langsung jatuh terduduk diatas aspal sambil membanting map yang sejak tadi mereka gunakan untuk menunjuk - nujuk gadis itu, "Gadis itu benar-benar.....mengapa ia bisa lari secepat itu?" Pria itu menatap sengit kearah anak buahnya. "Diam kalian semua! Seharusnya kalian membantuku memikirkan caranya kita menjelaskan ini pada Boss!" Sedangkan gadis itu kini bisa menghembuskan nafasnya dengan lega begitu melihat preman - preman itu memutuskan menyerah dan pergi dari sana. Punggungnya ia sandarkan pada dinding plastik itu dengan keringat dingin yang membanjiri sekujur tubuhnya, ia benar - benar ketakutan. Sekalipun ia pemegang sabuk hitam taekwondo dan ia lumayan ahli dalam judo, namun akal manusiawi dalam dirinya tetap mengeluarkan emosi panik dan takut yang membuatnya hampir gila. Dengan kaki gemetaran ia keluar dari telephone box lalu berjalan menyusuri jalan setapak yang ternyata menghubungkannya ke jalan utama. Beruntunglah tidak ada yang memperhatikan penampilannya yang mirip korban bencana. Dengan gontai ia mendudukkan dirinya di halte bus yang saat itu terlihat sepi, ia menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya ketika bulir air mata kembali membanjiri matanya. . . BELLE POV Kakiku benar - benar terasa sakit dan nyeri, terutama di bagian tumit dan pergelangannya. Selama seminggu ini para debt collector itu terus mengejarku, menemukanku dimanapun aku bekerja dan mereka kembali menghantuiku yang sampai saat ini masih belum dapat membayar lilitan hutang ayahku yang membengkak sejak beberapa tahun silam untuk biaya pengobatan ibuku. Kutata kembali rambut maupun pakaianku yang terlihat berantakan dan kusut, kurenggangkan otot - otot kaki dan tanganku sebelum kembali masuk ke dalam cafe Sugar Momma, tempatku bekerja selama empat tahun terakhir ini. Aroma kopi serta vanilla langsung menyapaku hangat seperti biasanya, cafe ini cukup ramai saat makan siang. Aku hanya berharap tidak ada pelanggan yang menyadari karyawan cafe ini datang tanpa alas kaki. "Kiara! Astaga, aku mencarimu sejak tadi dan kau kembali dengan penampilan yang...hmmm-" Irene menggeleng pasrah melihat penampilanku, aku pun hanya bisa tersenyum kaku menanggapinya. "Menyedihkan. Ya, aku tahu." Desahku pasrah seraya memasang topi kerjaku kembali. Irene terkekeh geli. "Kau pasti melalui hari yang berat lagi, mukamu mirip seperti orang yang berjuang melewati badai." Aku hanya bisa mendengus jengkel. "Badai debt collector! Oh, aku bisa gila jika mereka terus mendatangiku!" "Jadi para debt collector itu masih mengejar - ngejarmu?" Aku hanya tersenyum pasrah sambil membersihkan cangkir dan piring dalam diam. "Ya begitulah, sebenarnya aku kabur dari mereka hanya karena tidak mau berkelahi di jam kerja. Nanti si nenek lampir itu mengoceh lagi!" Irene hanya tertawa sebelum berlari ke meja kasir untuk melayani pelanggan yang datang. Sugar Momma hanyalah salah satu coffee shop kecil di pusat kota, namun disinilah tempatku bisa mendapatkan uang dengan gaji yang cukup untuk mahasiswi dengan tingkat keterbatasan uang yang sudah tak tertolong. Aku bekerja disini dari jam satu siang hingga tujuh malam sebagai kasir dan pembuat kopi. Tak lama Irene muncul bersamaan dengan aroma hot dog serta kentang goreng menyeruak menusuk indera penciumanku. "Makanlah, aku tahu kau belum menikmati jam makan siangmu," katanya lalu menjejalkan tiga kentang sekaligus ke dalam mulutku. Aku terpaksa menutup mulutku menahan tawa tapi tetap menelan kentang - kentang itu dengan lahap. "Thankyou!" balasku gembira. Aku sedang memasukkan beberapa tartlet ke dalam cake freezer ketika bel di pintu masuk cafe berdenting. Sontak aku langsung menunduk sopan, memberikan senyum sopan dan ramah terbaik yang kumiliki. Mulutku nyaris mengaga lebar begitu melihat siapa yang berdiri disana sambil mengamati keseluruhan cafe. Astaga, ternyata pria - pria seperti ini memang ada dan nyata. Fisiknya sempurna, dengan perawakan tampan serta badan tinggi tegap, kemeja birunya memperlihatkan ketangguhan dengan d**a bidang serta bisepnya menonjol tegas di balik kemeja itu, mata birunya menatap dingin menusuktajam membuatku lupa cara bernafas. Kini pria dengan perawakan dewa Yunani itu berjalan kearahku, setiap langkahnya menunjukkan kebesarannya. Aku meraih pulpen dan order slip, lalu segera menghampirinya. "Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu, tuan?" "Espresso please," tanganku bergetar gugup mendengar suara bass-nya yang terdengar begitu dalam melewati bibir sexy-nya, menggelitik gendang telingaku. Aku tidak pernah seperti ini pada pelanggan, pria ini membuatku gugup dan melupakan sikap profesionalku. "Ada lagi?" "That's all." Jawabnya ketus lalu mengambil gadgetnya dengan sikap angkuh yang membuatku muak. Astaga pria ini, untuk apa fisik sempurna jika kelakuannya sangat menyebalkan? Aku mengantar pesanannya dalam waktu kurang dari lima menit, setelah itu aku berusaha keras mengalihkan pandanganku dari pria itu. Jam makan siang selalu menyita waktuku dan Irene karena banyaknya pelanggan. Ketika aku menoleh kearah mejanya, pria itu sudah pergi. Aku menghampiri meja itu untuk membersihkannya sebelum mataku terbelalak sempurna melihat apa yang berada di balik tissue. Lima puluh dollar!? Aku tercengang tak percaya. "Irene! Irene!" Ia mengernyitkan keningnya penuh pertanyaan ketika aku menariknya ke dalam pantry, "Apa apa apa?!" "Kau harus lihat tip yang kudapat sekarang," Mata Irene pun ikut membulat begitu melihat jumlah tip yang berada di tanganku. "Kau serius? Salah satu pelanggan yang memberikanmu? Yang benar saja, untuk segelas kopi?" "Hmm..." "Dia pasti milyarder! Bagaimana mungkin ada orang yang rela 'membuang' uang sebanyak itu hanya untuk tip?!" "Lumayan sekali, uang ini bisa kugunakan untuk membayar biaya rumah sakit ayahku," jawabku penuh syukur. Setelah itu kami kembali bekerja hingga jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Sebelum pergi, aku sempat membantu Irene membersihkan cangkir - cangkir dan mengepel beberapa sudut cafe. Jam dinding sudah menunjuk ke angka delapan malam ketika aku keluar dari cafe. Aku berlari kearah halte bus yang cukup ramai malam itu. Selama perjalanan pulang aku tertidur karena kelelahan, dan untuk kesekian kalinya tidak menikmati gemerlapnya kota dibawah langit malam yang bertabur bintang. Aku-Kiara Adalynn Roxanne, hanyalah gadis biasa yang terlihat 'biasa' di usia 24 tahun. Putri dari keluarga kecil yang di kategorikan sebagai keluarga golongan rendah di tengah kejayaan negara ini. Ayahku dulunya adalah seorang buruh pabrik yang mengalami kecelakaan kerja, hingga saat ini beliau masih terbaring koma di rumah sakit. Kecelakaan itu memang menghancurkan kebahagiaan keluarga kami, aku dan ibu terpaksa berhutang dengan jumlah yang besar untuk membiayai pengobatan ayahku yang tak kunjung bangun dari tidur panjangnya. Terlepas dari semua masalah keluarga, aku bersyukur tetap bisa melanjutkan pendidikan tinggi melalui jalur beasiswa program Accounting. Tiga tahun menetap di ibu kota tidak membuatku bisa bersenang - senang seperti gadis pada umumnya. Keterbatasan uang membuatku sibuk dengan part time job sambil menyelesaikan tugas di kampus. Aku bekerja keras untuk membayar hutang keluarga kami, namun hasilnya tidak pernah maksimal sekeras apapun kami bekerja. Sesampainya dirumah, aku langsung memasak mie instant sambil mengerjakan tugas - tugas kampusku yang sempat terbengkalai karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Namun sialnya ketika aku memilih channel berita, munculah berita tentang satu perusahaan yang selalu membuaktu ingin marah setiap mengingatnya. Halstein Industries Mendengar nama itu saja sudah membuatku muak. Berita itu memberitakan pengangkatan CEO baru untuk Halstein Group yang akan diturunkan kepada Putra Mahkota keluarga mereka dan mereka semakin penasaran dengan Putra Mahkota mereka yang tidak pernah menunjukkan batang hidungnya secara resmi. Seketika mood -ku langsung memburuk, selera makannya pun hilang. Dengan jengah aku langsung mematikan TV dan aku tanpa sadar membanting remote-nya. Sialan, aku benar – benar benci perusahaan itu.. . AUTHOR POV Bahu Kiara lemas dan kepalanya terus menunduk dalam di mejanya. Ia tak berniat sama sekali untuk menyongsong hari ini dengan semangat, pikirannya terus teringat akan kondisi ayahnya yang semakin hari semakin memburuk. Terlebih tadi pagi seorang dosen memanggilnya ke kantornya dan memberi tahu nilainya mengalami penurunan drastis, dan perkembangan skripsinya tidak membuat para dosen pembimbing puas. Dosen itu mengingatkan bahwa bisa saja beasiswanya dicabut oleh dewan karena penurunan ini. Ia tidak mungkin membiarkan beasiswa itu melayang! Pekerjaan part time yang harus ia lakukan memang sangat menyita waktu belajarnya. Ia hampir tidak ada waktu kosong hanya sekadar untuk bernafas. Kuliah, uang, pekerjaan, rumah sakit, debt collector. Semua sukses membuatnya berada dalam fase frustasi yang berkepanjangan di usianya yang belum genap 24 tahun. "Kiara!" Kiara menoleh dan mendapati Alexa berjalan kearahnya. "Alexa," gumamku dengan suara sumbang. "Hei, ada apa dengan wajahmu? Musim panas sudah berlalu tapi wajahmu masih terlihat gersang," candanya. "Lucu sekali Alexa," Alexa hanya terkekeh geli sebelum merangkul bahu Kiara. "Ada masalah apa lagi?" "Hanya-masalah biasa, kau tahulah" ujar Kiara malas. "Ah....bagaimana keadaan ayahmu? Apa dia sudah membaik?" Kiara menggeleng seadanya. "Justru keadaannya memburuk. AHH! Aku benar - benar stress saat ini!" "Bukankah kau sudah bekerja tanpa henti? Apa itu masih kurang?" tanya Alexa tak percaya. "Uang yang kuhasilkan selama ini kugunakan untuk membayar hutang keluargaku. Entahlah...sepertinya aku harus mencari pekerjaan lagi yang dapat menghasilkan uang banyak.." Alexa hanya merenung sambil berpikir, lalu senyum perlahan muncul di wajahnya, "Ah! Astaga....bagaimana aku bisa lupa" Kiara menoleh heran, "Ada apa?" Alexa tersenyum lalu mengambil ponselnya dengan wajah berseri - seri. "Aku teringat tentang satu pekerjaan yang temanku bicarakan kemarin, kau harus membacanya...ya semoga kau tertarik" ujar Alexa terdengar ragu. Alexa segera memberikan ponselnya kepada Kiara yang dengan mata penuh ketertarikan membaca setiap kata yang tertulis disana. Namun senyum itu perlahan memudar digantikan dengan gurat wajah tak percaya. "Alexa, kau menawariku pekerjaan seperti ini?" "Jangan salah paham!" potong Alexa secepat kilat, "Pekerjaan itu bukanlah pekerjaan seperti bayanganmu, percayalah padaku. Aku hanya malas untuk mengambilnya karena lamaran ini dapat shift malam, aku tidak bisa. Lebih baik kau saja, apalagi kau bisa bela diri, tak akan ada yang berani macam - macam denganmu. Oh iya, tawaran ini berlaku untuk weekend." Mendengarnya penjelasan singkat Alexa, walaupun masih ada setitik keraguan di benaknya, namun ia benar - benar membutuhkan uang, sepertinya ia memang harus mencoba pekerjaan ini, "Baiklah, aku akan kesana besok malam. Thankyou!" . . BEAST POV Aku berulang kali mengingatkan diriku sendiri untuk melupakan kebodohanku karena menyetujui ini. Sepertinya aku harus menunda keinginanku untuk 'bersenang - senang' malam ini karena ayahku kembali mengancam akan mencabut jabatanku. Begitu tiba di depan rumah, aku segera memberikan kunci mobilku pada salah seorang pelayan dan berjalan masuk dengan langkah berat. Atmosfer dingin dan kaku kembali kurasakan. Melihat jam aku pun memutuskan untuk pergi ke ruang makan. Di meja makan seluruh keluarga ayahku sudah berkumpul dalam keheningan, seperti biasanya. "Lucas, akhirnya kau datang. Makanlah bersama kami," Aku mendengus jijik mendengar suara Victoria yang berusaha terlihat perhatian padaku. Aku hanya diam tak membalas sapaannya dan memilih duduk di samping Zachary, adik tiriku yang lain. Sejak pertama aku sudah menyadari tatapan membunuh dari ujung meja, tapi siapa perduli? Aku membenci mereka semua. Suasana makan malam yang seharusnya menjadi ajang sebuah keluarga untuk berbincang hangat jelas tidak tampak di keluarga ayahku. Kami semua lebih senang berkutat dengan sendok dan garpu, bungkam dan berkonsentrasi memakan apa yang dihidangkan koki Italia di rumah ini. Hanya denting peraduan sendok garpu dan piringlah yang terdengar sejauh ini, lampu yang sukses menghangatkan meja makan tampaknya tak dapat menghangatkan suasana makan malam ini. Aku berulang kali mengingatkan diriku sendiri untuk melupakan kebodohanku karena menyetujui ini. Sepertinya aku harus menunda keinginanku untuk 'bersenang - senang' malam ini karena ayahku memanggil untuk membahas tentang perusahaan. Begitu tiba di depan rumah, aku segera memberikan kunci mobilku pada salah seorang pelayan dan berjalan masuk dengan langkah berat. Atmosfer dingin dan kaku kembali kurasakan. Melihat jam aku pun memutuskan untuk pergi ke ruang makan. Di meja makan seluruh keluarga ayahku sudah berkumpul dalam keheningan, seperti biasanya. "Lucas, akhirnya kau datang. Makanlah bersama kami," Aku mendengus jijik mendengar suara Victoria yang berusaha terlihat perhatian padaku. Aku hanya diam tak membalas sapaannya dan memilih duduk di samping Zachary, adik tiriku yang lain. Sejak pertama aku sudah menyadari tatapan membunuh dari ujung meja, tapi siapa perduli? Aku membenci mereka semua. Suasana makan malam yang seharusnya menjadi ajang sebuah keluarga untuk berbincang hangat jelas tidak tampak di keluarga ayahku. Kami semua lebih senang berkutat dengan sendok dan garpu, bungkam dan berkonsentrasi memakan apa yang dihidangkan koki Italia di rumah ini. Hanya denting peraduan sendok garpu dan piringlah yang terdengar sejauh ini, lampu yang sukses menghangatkan meja makan tampaknya tak dapat menghangatkan suasana makan malam ini. "Kau bilang ingin mengatakan sesuatu mengenai perusahaan. Katakan padaku, jangan terus menerus membuang waktu berhargaku disini." Kali ini aku membuka suara, menatap langsung kearah ayahku di ujung meja. "Aku akan segera menjodohkanmu." Aku semakin malas mendengar hal itu. "Lebih tepatnya rekan bisnis Halstein Group yang kebetulan sekali akan menjadi istriku. Bukankah begitu?" "Kau benar. Dia adalah putri dari kolega penting kita, jadi lebih baik kau bersiap." Tawa sinis tidak bisa kutahan. "Apa dia tidak takut denganku? Kurasa reputasiku dalam majalah sudah sangat buruk. Tidak, aku tidak mau menikah dengan siapapun. Jika kau ingin perusahaan itu, aku akan mendapatkannya tapi tidak dengan cara ini." Victoria dan Tatiana memekik ngeri ketika ayahku melempar tongkatnya kearahku dengan wajah memerah padam menahan amarah. "Tidak bisa, Lucas Halstein. Kami sudah menjodohkanmu sejak lama jadi lebih baik kau bersiap karena istrimu akan segera datang." Aku sudah muak berada di tempat ini, lebih cepat aku pergi lebih baik. "Jika tak ada hal penting yang ingin kau bicarakan, aku pamit pergi." tukasku ketus lalu membungkukkan badan sebelum berjalan pergi meninggalkan ruang makan. Aku bisa merasakan tatapan ayahku membakar punggungku yang menghadapnya sekarang, begitupun dengan dua anak dan istrinya. Mereka benar - benar memalukkan. "Aku akan menjadikan Zachary untuk menggantikanmu menjadi CEO Halstein Group jika kau menolak untuk menikah dengan wanita ini!" Pengumuman itu sukses membuatku langsung berbalik badan tak terima. "Jangan bercanda, jabatan dan perusahaan ini milikku selamanya." Thomas bersedekap dan menantangku melalui tatapannya, "Apa kita pernah saling melempar candaan, Lucas Halstein?" Dengan sinis, aku menoleh kearah Zachary, "Aku tidak akan membiarkan kau dan dia mengambil jabatan ini dariku," "Kalau begitu, kau harus menikah dengan kolega bisnis kita dan memperlakukannya dengan baik, itu syaratnya." Aku mengumpat kalah. Sepertinya kali ini aku harus mengalah. Sejujurnya, aku tidak terlalu peduli dengan siapa aku akan menikah, karena fokusku adalah membawa perusahaan ini menjadi nomor satu di bawah kepemimpinanku. "Baiklah, aku akan menikah dengan siapa pun itu, asalkan kau berjanji tidak akan mengancamku lagi tentang masalah ini." ujarku sebelum kembali berbalik. Samar-samar telingaku menangkap pembicaraan mereka. "Dad, are you okay?" "Ya, aku tidak apa - apa, bukankah aku selalu seperti ini setelah berdebat dengan anak kurang ajar itu?" Aku berdecak sinis. Memang siapa yang membuatku seperti ini? "Dad, lebih baik lupakan saja urusan tentang itu, kalau perlu aku akan menggantikan posisi Lucas sebagai CEO untuk Halstein Group. Aku rela belajar bisnis dibanding melihatmu seperti ini terus saat menghadapinya.." Aku tersenyum sinis mendengarnya. Tanganku terkepal menahan kebencian yang semakin mendidih membunuh perasaanku. Hanya Lucas Halstein yang bisa menjadi CEO Halstein Group.  Lucas Halstein tidak bisa dikendalikan oleh siapapun. Hanya akulah pengendali diriku sendiri. Tidak ada siapapun yang dapat menjinakkanku. *** AUTHOR POV Thomas akan melanjutkan makannya, namun ponselnya berbunyi dan terpampang nama Mr. Remington di layar. Sontak, ia segera mengangkatnya. "Selamat malam, Mr. Halstein." "Selamat malam, Mr. Remington. Ada apa?" "Perubahan rencana. Sebelum anakku menikah dengan Lucas, aku ingin meminta tolong sesuatu padamu demi kebahagiaan putriku,"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN