PARTE 2

2355 Kata
Menjadi independen, siapa yang tidak menginginkannya? Apalagi bagi seorang wanita. Menjadi independen dan punya karir yang bagus adalah sebuah impian dan pencapaian yang besar. Tidak semerta-merta ingin diakui oleh pria saja, tapi juga untuk jaminan hidup bagi diri sendiri. Ketika kamu independen dan punya karir yang bagus, maka kamu punya pilihan lebih banyak untuk hidupmu. Tapi sayangnya menjadi independen dan punya karir yang bagus bukanlah sesuatu yang mudah untuk diraih. Sebagian orang harus merangkak, sebagian lagi harus mengorbankan masa muda, bahkan ada yang harus berdarah-darah untuk sampai di titik itu. Kejadian dua bulan lalu seperti sebuah keajaiban, Namira ditawari tumpangan oleh Shawn di tengah derasnya hujan. Tak hanya melihat Shawn dalam jarak dekat, Namira bahkan berada di dalam mobil yang sama dengan Shawn. Bagian terbaiknya adalah Shawn menanyakan namanya. Bagi Namira ini jelas sebuah pencapaian yang besar. Tapi... Namira tak ingin berlarut dalam kebahagiaan itu. Kisah hidupnya mengajarkan Namira untuk tidak bergantung pada kata keajaiban dan keberuntungan. Seperti yang orang-orang bilang. Bintang hanya indah saat dilihat dari jauh. Bukan karena ia terlihat buruk saat dekat. Tapi karena saat kita melihatnya dari jarak dekat, kita akan dibuat sadar bahwa ternyata kita sangat tidak pantas untuk memilikinya. Cukup melihatnya dari jauh dan kagumi. Jangan bermimpi untuk menggenggamnya karena tanganmu yang kecil tak akan cukup untuknya. ... Shawn mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia benar-benar baru selesai mandi dan belum mengenakkan baju. Satu tangannya kemudian meraih ponsel di atas meja. Ada beberapa pesan yang masuk. Ada satu panggilan tak terjawab juga. Tapi baik pesan maupun panggilan itu, tak satupun datang dari orang yang sedang Shawn tunggu. Si tampan menghela napasnya. Ia mengetikkan sesuatu di layar, lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga. Seperti yang sudah-sudah, sambutan yang Shawn dapatkan adalah suara pemberitahuan dari operator bahwa nomor yang Shawn tuju sedang tidak aktif. Untuk ke sekian kalinya ia menghela napas. Tak lama ponsel itu berdering. "Halo.." Shawn mengaktifkan mode speaker lalu meletakkan ponsel di atas laci sementara dirinya mengenakkan pakaian. "Lo di mana?" "Apartemen." "Jangan lupa ya acara minggu depan." "Iya gue nggak bakal lupa." "Sekalian ajak Naomi ya." Shawn diam sebentar. "Hm.." ia hanya menjawab dengan gumaman yang terdengar tidak terlalu meyakinkan. "Kenapa? Naomi sibuk lagi?" Seolah sudah tahu, orang di seberang menebak dengan sangat tepat. "Kegiatannya lagi banyak." "Belain aja terus." "Gue nggak belain." Shawn meraih ponsel itu kemudian keluar dari walking closet. Shawn lalu keluar dari kamarnya menuju kitchen. "Dia emang lagi banyak kegiatan. Tau lah lo bulan ini tuh bulan sibuk." "Oke.." sahut suara di seberang malas berdebat. "Pokoknya jangan sampai lupa ya. Jam 7. Kalau anak gue ngamuk karena lo telat, gue nggak tanggung jawab." "Iya." Sambungan terputus. Shawn meraih botol air dingin dari dalam kulkas. Ia meneguknya hingga habis setengah. Masih banyak temannya yang belum menikah. Usianya juga masih sangat muda. Askala dan Alin pun belum menikah. Tapi kenapa hubungannya dan Naomi terlihat seolah tak normal di mata orang-orang? Shawn bukan tipe pengekang. Sebagai pria, ia mendukung apapun yang ingin wanitanya lakukan. Wanita punya hak atas hidup mereka. Shawn tak ingin mengatur. Naomi memang punya banyak sekali kegiatan dan Shawn baik-baik saja dengan itu. Lalu masalahnya di mana? ... "Mira.." "Iya, Kak, kenapa?" Beberapa orang memasuki pantry. Ini sedang jam istirahat. Namira sedang membuat s**u coklat untuk dirinya. "Minggu depan Krisna ulang tahun. Dia mau ngerayain dan semua orang diundang. Kamu datang ya." Namira melongo sebentar. Dia diundang datang ke perayaan ulang tahun. Benarkah? Seumur hidup Namira belum pernah merayakan ulang tahun atau diundang ke acara ulang tahun. "Minggu depan? Hari apa, Kak?" "Sabtu." Sabtu? Namira terlihat berpikir. Sepertinya ada yang mengganggu Namira. "Udah jangan banyak pertimbangan. Kita bakalan have fun nanti. Datang ya." Perempuan itu menepuk bahu Namira sekilas sebelum berlalu. Namira menggaruk tengkuknya. Ya sudahlah. Tak ada salahnya juga ia bersenang-senang sesekali untuk melepas penat. Namira ikit meninggalkan pantry karena di sana orang-orang mulai bergosip tentang pegawai janda di divisi HRD. Siang ini cukup terik. Sepertinya tidak akan hujan hari ini. Meski kadang cuaca tetap tak bisa diprediksi. Namira jadi teringat pada tragedi ketika dirinya membeli payung. Rasanya hidupnya menjadi penuh drama sejak tinggal di kota. Jadi hari itu Namira akhirnya terpaksa membeli payung karena hujan setelah beberapa kali menunda. Setelah membeli payung, Namira singgah sebentar di ATM untuk mengirim uang pada neneknya di kampung. Begitu keluar dari ATM, Namira malah berebut payung dengan orang tak dikenal. Namira kekehuh itu adalah payung miliknya. Tapi orang itu kekeuh payung tersebut miliknya. Terjadilah perdebatan di antara keduanya. Tapi akhirnya benar-benar memalukan bagi Namira. Ternyata payung itu memang bukan miliknya karena ternyata payungnya berada di samping ATM karena diterbangkan angin. Jangan tanya bagaimana malunya Namira hari itu. Ia hanya bisa meminta maaf dengan wajah yang merah seperti kepiting rebus. Harusnya Namira membeli payung dengan motif yang langka jadi sangat kecil kemungkinan memiliki payung yang kembar dengan orang lain. Namira meneguk sisa s**u coklat di dalam gelasnya saat suara deheman seseorang membuatnya terperanjat kaget dan hampir menjatuhkan gelas di tangan. "Astgahfirullah.." Namira mengusap-usap dadanya yang nyeri karena kaget juga karena tersedak s**u coklat. "Kamu maling?" pertanyaan itu memaksa Namira untuk mengangkat wajahnya. Ia kembali tertunduk saat melihat siapa orang yang kini berdiri dengan sangat gagah beberapa meter di atas sana. Namira tak tahu sejak kapan Shawn ada di sana. Apakah ini sebuah kebetulan lagi? Namira sangat yakin tadi tak ada siapapun di atas sana saat dia masuk dan makan di sini. "Bu-bukan, Pak.." jawab Namira terbata. Jantungnya masih berdebar dengan sangat kencang. Rasanya seperti kamu disambut oleh hantu saat terbangun dari tidur di tengah malam. Ngeri-ngeri sedap. "Terus kenapa kaget banget?" "Ya, ya Bapak muncul tiba-tiba. Makanya saya kaget." Namira sedang berperang dengan dirinya sendiri. Sebenarnya dia tak seberani itu menjawab pertanyaan Shawn. Pilihan antara diam dan menjawab yang kemungkinan kedua-duanya ia akan berakhir dipecat. "Saya muncul tiba-tiba? Emangnya saya hantu? Kamu nggak lihat saya di sini dari tadi?" "Hah?" Namira akhirnya beranikan diri untuk menoleh lagi ke atas. Shawn sedang memandangnya memang. Namira jadi malu sendiri. Ia grogi dipandangi oleh orang tertinggi di perusahaannya itu. "E-emangnya Bapak di sana dari tadi?" Shawn tak menjawab. Ia kemudian pergi dari sana. Namira sudah ketakutan setengah mati. Apa Shawn akan memecatnya? Jika iya dia harus bagaimana? Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana hidupnya ke depannya? Astaghfirullah. Wajah sang Nenek langsung muncul di dalam kepala Namira. Tak lama sosok yang tadi Namira lihat di atas muncul. Ia melangkah lebar melewati pintu kaca menuju ke tempat Namira berdiri. Shawn berhenti tepat di dekat pagar pembatas. Ia kemudian melongo ke bawah entah melihat apa. "Kamu nggak mau bunuh diri kan?" "Hah?" Entah Namira yang lemot atau Shawn yang tak jelas. Tapi Namira benar-benar tak mengerti dengan pertanyaan bosnya itu. "Maksud Bapak?" "Kalau kamu mau bunuh diri jangan di sini. Cari tempat lain. Dari sini kayaknya sakit kalau loncat." Namira melingo. "Astaghfirullah, siapa yang mau bunuh diri, Pak? Saya masih mau hidup." "Oh.." Namira tak tahu lagi harus memberikan respon apa. "Terus kamu ngapain di sini? Kayaknya ini bukan tempat buat makan." Mati. Namira tertangkap basah. Kali ini Shawn benar-benar akan memecatnya. Namira berada dalam masalah besar. Namira mengumpati dirinya. Kenapa dia bisa ceroboh tak menyadari keberadaan Shawn di sana tadi? Bagaimana jika Shawn tahu bahwa ini bukan pertama kali dia ke sini tapi hampir setiap hari? Namira harus menjawab apa? "Sa-saya minta maaf, Pak. Saya janji tidak akan mengulanginya. Saya minta maaf. Jangan pecat saya, Pak." Namira tertunduk dalam. "Siapa yang mau pecat kamu? Kan saya cuma nanya kenapa kamu makan di sini? Kan udah ada kantin tempat buat makan.." Shawn melirik kotak bekal Namira yang masih ada isi. Tampak di sana ada sedikit nasi dan juga sedikit mie goreng. Benar-benar makanan yang tidak sehat. Sayuran pun tidak ada di sana. "Itu baju kamu kenapa?" Shawn bertanya lagi meski pertanyaan sebelumnya belum terjawab. Namira menunduk kemudian terkejut saat melihat bajunya basah terkena tumpahan s**u coklat. Benar-benar memalukan. Apalagi warna kemejanya biru muda polos dan warna coklatnya terlihat jelas. Namira rasanya ingin berubah menjadi rumput di sana. "Nggak apa-apa, Pak. Cuma dikit nanti bisa dibersihin.." Namira ingin segera pergi dari sana. Dia tidak berani mengobrol lebih lama dengan Shawn. Selain karena grogi juga karena malu. "Kamu bawa baju ganti?" Namira menggeleng. Shawn menghela napasnya. Ia kemudian berbalik. Baru beberapa langkah Shawn berhenti kemudian menoleh ke belakang. "Kenapa kamu masih diam di sana?" "Hah?" "Sini ikut saya.." Meski bingung akhirnya Namira mengikuti langkah Shawn. Ke mana dia mau di bawa oleh bosnya ini? Jangan-jangan dia mau dibawa ke HRD untuk dipecat. Atau jangan-jangan dia akan langsung ditendang keluar. Berbagai pikiran buruk muncul di dalam benak Namira. Ia langsung bergetar ketakutan. Hmm, jangankan untuk mengakui cinta pada Shawn. Baru tertangkap basah masuk area taman tanpa izin saja dia sudah vertigo. "Maaf, Pak. Saya janji nggak bakal ulangin lagi perbuatan saya. Saya benar-benar menyesal, Pak. Maafkan saya Pak." Namira memohon begitu ia dan Shawn sudah memasuki area lantai VVIP. "Kamu ini ngomong apa?" Shawn menghentikan langkahnya. Namira pun ikut menghentikan langkahnya. "Theo udah pulang?" tanya Shawn pada sekretarisnya. Perempuan itu menggeleng. Ia menatap Shawn dan Namira dengan ekspresi bingung. Jelas saja dia bingung. Apa yang dilakukan Namira hingga ia diseret Shawn ke ruangannya? Rasanya kesalahan pegawai hanya sampai di HRD. Tak sampai ke Presdir. Kecuali untuk masalah yang sangat besar. Melihat tampilan Namira, si sekretaris yakin jika Namira hanyalah pegawai kecil. Sebab ia tak pernah melihat Namira sebelumnya. Itu artinya Namira tidak memegang jabatan penting yang berhubungan langsung dengan Presdir. "Ok." Shawn kemudian melanjutkan langkahnya dan Namira mengekor di belakang. Ekspresi Namira persis seperti pencuri yang tertangkap basah. Shawn berjalan ke lemari yang ada di dalam ruangannya. Ia kemudian mengambil sesuatu dari dalam sana. "Ini.." Shawn menyerahkan sebuah kemeja putih yang terhanger rapi pada Namira. Kedua bola mata Namira membesar. Mulutnya menganga. Namira shock. "Kenapa kamu malah liatin saya? Ini kemeja saya, ganti baju kamu." "Oh, ng-nggak usah, Pak, terima kasih. Sa-saya baik-baik saja. Nanti bajunya bisa saya bersihin di kamar mandi. Cuma kotor dikit." Namira menolak. Tentu saja Namira menolak. Bagaimana bisa dia menerima kemeja Shawn? Namira tidak segila itu. "Saya bilang ganti ya ganti. Itu juga tadi salah saya yang ngagetin kamu. Buruan. Kamar mandinya di sana." Shawn menunjuk sebuah pintu dengan dagunya. Namira masih belum menerima kemeja itu. Namira benar-benar tidak berani. "Ayo Namira. Sebentar lagi jam istirahat habis. Kamu mau kena SP?" Shawn mendesak membuat Namira refleks menerima kemeja itu kemudian setengah berlari ke kamar mandi. Sudut bibir Shawn tertarik otomatis saat ia melihat lari Namira yang lucu. Getar ponselnya menarik Shawn dari apa yang sedang ia perhatikan. Shawn langsung menjawab panggilan itu begitu melihat nama penelfon di layar. "Halo sayang.." senyuman lebar tercetak di bibir Shawn. Namira menatap dirinya di depan cermin. Ia menghela napas. Jika ia menghela napas sekali lagi, desk marmer di bawahnya pasti akan rubuh. Namira belum mengganti bajunya. Ia masih sibuk memaki dirinya karena berada dalam situasi memalukan ini. Bagaimana bisa dia terjebak di dalam situasi ini? "Tadi kenapa sih nurut aja waktu diajak Pak Shawn? Harusnya tadi nolak dari bawah jadi nggak sampai ke sini. Sekarang gimana? Mau nolak nggak bisa. Tapi kalau pake ini baju sama aja dengan cari mati.." Namira sudah ingin menangis. Ia benar-benar merutuki kebodohannya. "Bodoh Namira. Namira bodoh." Namira memukul-mukul kepalanya. Biasanya dia sayang pada kepalanya itu. Tapi khusus hari ini dia kesal. Kenapa dia tak bisa berpikir saat berada di depan Shawn? "Namira.." terdengar Shawn mengetuk pintu dari luar. Namira terperanjat untuk ke sekian kali. Ia hampir tergelincir. Namira memeluk erat kemeja di tangannya. "I-iya, Pak. Sebentar, Pak.." Namira memegangi dadanya. Apakah ia perlu periksa jantung ke dokter setelah ini? Karena sepertinya sebentar lagi kinerja jantungnya akan konslet. "Udahlah hajar aja." Namira merapalkan doa di dalam hati kemudian segera mengganti bajunya. Sudah kepalang tanggung. Namira memastikan sekali lagi kalau pakaiannya sudah terpakai dengan benar. Kemeja ini terlalu panjang untuknya. Mau tak mau Namira memasukkan kemeja itu ke dalam celananya. Biasanya dia tak pernah memasukkan baju ke dalam celana. Tapi jika kemeja ini tidak dimasukkan ke dalam celana, Namira hampir terlihat seperti sedang memakai daster. Pintu kamar mandi terbuka. Shawn masih dengan ponsel di telinganya berdiri tepat di depan pintu kamar mandi. Ia pandangi Namira sebentar kemudian kembali fokus pada telfonnya. "Iya, acaranya minggu depan. Ulang tahun yang ke dua. Pane kemarin nelfon aku." Namira masih diam di tempatnya, mendengarkan Shawn menelfon entah dengan siapa. Tapi suara Shawn terdengar sangat lembut saat bicara. Berbeda sekali dengan yang Namira dengar biasanya. "Dia berharap kamu bisa datang. Iya aku tau. Jangan terlalu dipikirin. Just take your time, oke. Oke. See you, sayang. Love you." Ada cubitan kecil di sudut hati Namira mendengar kalimat yang keluar dari mulut Shawn. Memang dasarnya dia tidak tahu diri. Berani-beraninya dia merasa patah hati. Namira ingin menertawai dirinya sendiri. "Udah?" tanya Shawn. Harusnya tak perlu bertanya karena kini Namira sudah ada di depannya. Shawn melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Masih ada lima menit untuk kamu turun ke bawah." "Hah? Oh iya. Astaghfirullah." Namira memukul kepalanya. Nanti dia perlu minta maaf pada kepalanya begitu sampai di rumah. "Pak saya pinjam dulu ya bajunya. Maaf ya Pak udah ngerepotin dan nyusahin Bapak. Nanti bajunya saya balikin kalau udah saya cuci bersih. Makasih banyak Pak sekali lagi. Saya permisi dulu. Assalamualaikum, eh siang, Pak.." Namira bergegas keluar dari ruangan Shawn. Di depan Namira tak sempat menyapa sekretaris bosnya itu. Namira terfokus pada waktu lima menit yang ia punya. Jangan sampai ia benar-benar dipecat karena terlambat lagi. Shawn geleng-geleng. Dunia memang luas dan ada banyak macam manusia. Shawn tak menyangka dirinya akan bertemu karyawan yang lugu dan lucu seperti Namira. Pria itu menghempaskan diri ke kursinya kemudian mulai bekerja. Hatinya sedang sangat bahagia saat ini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN