1. Pangeran Sekolah

2094 Kata
Ahhh... Cuaca yang begitu panas, botol minuman dingin berceceran dimana-mana, tapi ia tak merasa rugi sedikitpun saat ini. Kalian ingin tahu kenapa? Sederhana saja, itu semua karena dia sedang cuci mata saat ini. "Lin, ngapain sih? Dari tadi gue perhatiin, lagi ada masalah lu, ngelamun gitu sampai lupa sama temen sendiri?" "Gue lagi cuci mata." "Ngaco lu ya, mana ada mata dicuci, dasar sinting." Alin tak memperdulikan teman sebangkunya yang kelewat polos itu, dia bahkan mengabaikan tawa yang menggema dikantin yang begitu luas. Matanya tetap fokus ke bawah, menatap penuh minat pada seorang pria yang tengah bermain basket dengan beberapa temannya, pandangannya selalu bergulir pada otot yang ada di perutnya, enam kotak yang terbentuk dengan sempurna, dan sialnya dia mulai berpikir hal yang tidak senonoh tentang pemilik tubuh atletis itu. Dia pikir dia takkan pernah bisa melihatnya lagi, tapi sepertinya ini adalah sebuah kebetulan yang tak terduga. Hah...dasar, membuat kepalanya pusing saja. "Ren, lu kenal kan pengeran sekolah kita dulu?" Di tanya tiba-tiba seperti itu, Rena mengalihkan matanya, dia memperhatikan Alin yang masih saja menatap kebawah, menonton permainan basket yang ternyata dipenuhi oleh para pria cogan, sontak membuatnya menganga ditempat. "Ya tuhan, apa gue lagi berhalusinasi. Sial, pemandangan ini terlalu indah untuk dilewatkan, baru tahu gue, kampus kita punya tim basket yang luar binasa." Sungguh Alin merasa bahwa temannya yang satu ini tidak bisa diharapkan, percuma punya wajah yang cantik tapi lemotnya minta ampun, sebenarnya dosa apa dia sampai punya teman macam Rena. Dia nanya kemana, jawabannya malah ngelantur kemana-mana, dasar gila. "Udah lah gue mau pulang, matkul gue udah kelar semua. Nanti malem jangan lupa lu, awas aja kalau sampai lupa lagi, gue bakal kasih lu hadiah spesial yang lu sendiri nggak pernah duga, kalau gitu bye-bye Ren." Ini sudah jam tiga sore, tapi kenapa panas mataharinya masih sangat terasa, dasar musim panas sialan. Lain halnya dengan Alin yang terus mengumpat, mari kita beralih pada sesosok pria yang sebelumnya terus Alin amati. Pria dengan tinggi 180 cm, alis menekuk tajam seperti pedang, rahang yang kokoh, mata biru samudra, dan dilihat dari manapun tidak ada yang tidak enak dipandang, semuanya bahkan terlalu sempurna. "Zayn, hebat seperti biasanya ya." Pujian yang sudah biasa dia dengar, dan hanya tersenyum menanggapi. Tahun ini adalah tahun kedua semenjak dia masuk universitas, sepertinya mengambil jurusan hukum membuatnya harus ekstra kerja keras lagi. Maklum saja dia bukanlah orang yang berada, ditambah dia harus mengurusi keperluan adik bungsunya, pikirannya terlalu banyak beban hingga dia melampiaskan kekesalannya pada bola basket yang tidak bersalah. "Zayn, nanti malam ada waktu nggak?" Itu adalah suara Iqbal, sahabat satu jurusan dengannya. "Ada, kenapa?" Ya setelah dipikir pikir, dia memang memiliki banyak waktu hari ini, selain karena dia libur kerja paruh waktu, dia juga sedang tidak mengajar les sekarang. "Nobar yu, udah lama ni kita nggak kumpul kumpul bareng lagi. Sekalian buat jernihin kepala, seminggu ini kepala gue udah kayak cerobong asap, ngebul gara-gara matkul si dosen killer itu." "Pak Rudi maksud lu?" "Emang siapa lagi sih di kampus ini yang ngajar hukum selain dia. Dasar si pangeran sekolah kita ini, sekalinya bercanda garingnya kebangetan, heran gue kenapa banyak cewek yang naksir sama lu coba? Pinter iya ganteng lumayan, masih kalah jauh sama kegantengan gue lagi, selera humorisnya juga nggak ada." "Itu mulut apa toa, dari tadi nyerocos mulu udah kayak ibu-ibu arisan aja lu, lagian kalau nggak suka ngapain coba lu ngambil jurusan hukum, bikin orang pusing tujuh keliling tahu nggak." Bola kembali masuk mencetak 2 poin, Zayn langsung terduduk sembari menegak minuman dinginnya, habis sampai tak tersisa. "Elu ya kalau ngomong nggak pernah di filter, asal lu tahu aja, gue bela-belain masuk hukum cuma supaya lu itu nggak kesepian karena nggak ada gue, jujur aja deh, lu juga sebenernya ngarepin gue buat masuk hukum kan, iya kan, ngaku aja lu Zayn?" Ungkap Iqbal dengan percaya diri, sedangkan Zayn terlihat mual saat mendengarnya. "Najis, emangnya gue homo apa. Udah ah gue mau pulang dulu, ketemuan di tempat biasa kan?" Tanyanya memastikan. "Iya di tempat biasa, nanti gua chat lagi siapa aja yang mau ikut." "Hmm oke, kalau gitu gue cabut duluan." Sampai di rumah, langit masih berwarna jingga, dia masih punya banyak waktu untuk bersiap-siap, adik bungsunya Ken sepertinya juga akan pulang terlambat karena les tambahan. Mungkin dia harus mandi dulu sekarang, lalu setelah itu menyiapkan makan malam. Tepat jam 7 malam, akhirnya adiknya Kenan sudah pulang. "Assalamualaikum, eh udah pulang bang? Tumben rapi banget? Mau kemana?" Tanya Ken saat melihat tampilan abangnya. "Wallaikumsalam, kamu ini baru aja dateng, nanyanya udah kayak rel kereta api, ganti baju dulu sana habis itu kita makan malam bareng." Zayn adalah sosok kakak yang sangat bertanggung jawab, meski keadaan keluarganya tidak memungkinkan tapi dia selalu berusaha lebih keras untuk adiknya, adik satu-satunya dan harta yang paling berharga yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya untuknya. Oleh karena itu, seberat apapun masalah yang dia hadapi dia akan tetap terus berjuang hingga adiknya menjadi orang yang berhasil, menjadi orang yang sangat dibanggakan oleh orang lain, dan tak lagi menjadi bahan cemoohan yang memandang rendah dirinya. Dan Kenan pun selalu menuruti semua yang di katakan abangnya, sebisa mungkin untuk tidak membuatnya kecewa. Padahal dulu, kehidupan mereka tidak seperti ini, tidak sebelum orang itu menghancurkan segalanya, setidaknya abangnya tidak perlu bekerja keras, banting tulang sana sini disaat ia masih memiliki status sebagai mahasiswa, abangnya pasti sudah sangat kelelahan dengan semua beban yang dipikulnya, ditambah ia harus mengurus keperluan Ken yang lain, rasanya semua ini benar-benar tidak adil. "Abang mau nobar sama temen-temen abang, kamu jaga rumah ya, tidurnya jangan malem-malem, nggak usah nungguin abang, abang bawa kunci cadangan kok." Terang Zayn saat melihat adiknya ikut duduk dimeja makan. Setelahnya tidak ada percakapan yang terjadi, gumamam Ken nyatanya cukup untuk membuatnya tenang. "Titip piring kotornya ya Ken, abang berangkat sekarang." "Hati-hati di jalan bang." "He'em kalau gitu abang pergi Assalamualikum." "Wallaikumsalam." Di sisi lain, di rumah yang luasnya tak terhitung, para pelayan berjajar rapih, sebuah keluarga yang nampak suram, tapi mungkin itu hanya berlaku saat mereka sedang makan, nyatanya dalam keseharian mereka yang biasanya itu semua penuh dengan kehangatan. Alin merasa sangat jengkel sekarang, seharusnya malam ini ia melakukan hal yang menjadi kewajibannya setiap bulan, tapi lagi-lagi ia harus pasrah mengundur jadwal terpentingnya saat ini. "Berhenti merengek, dan cepat ganti bajumu, dalam lima menit tidak turun maka semuanya akan batal." Benar sekali, saat ini dia tengah menghadapi kelakuan adiknya yang super duper manja, padahal adiknya adalah laki-laki remaja yang sudah menjadi siswa SMA teladan, tapi kenapa sikapnya malah terlihat seperti tuan putri, sungguh hidupnya tak pernah diberi ketenangan oleh orang-orang yang berada di rumahnya. Sementara ia menunggu adiknya itu turun, Alin mengirim pesan pada sahabatnya tentang janji yang mereka buat siang tadi, memberitahunya bahwa malam ini sahabatnya itu tidak perlu datang, hal ini akan ia alihkan di lain hari, tentunya tanpa ada gangguan sedikitpun. "Kak ayo udah siap nih." Sial, di lihat berapa kalipun adiknya ini memang sangatlah tampan, pakaian casual yang dikenakannya membuatnya terlihat lebih dewasa, tapi kenapa sikapnya sangat manja bila berada didekatnya, apakah ini yang dinamakan sister complex atau brother complex. Ah mana dia tahu, mau apapun itu selama adiknya bahagia maka dia akan ikut bahagia. "Tumben cakep." "Kak, dari dulu pun aku memang sudah sangat cakep." "Terlalu percaya diri." "Sudahlah jangan mengejekku lagi, ayo cepat kita pergi." "Hn." "Eh kak tunggu dulu, jangan pakai mobil tapi pakai motor saja ya, biar terlihat keren." Alin tersenyum saat adiknya menghentikan dirinya mengambil kunci mobil miliknya. "Baiklah, apapun untukmu." Leo bahkan memberikan senyum yang kelewat sumringah saat kakaknya selalu memberikan dan menuruti apapun yang dia mau, di tambah elusan hangat dikepalanya, rasanya dia sangat beruntung memiliki kakak sebaik kakaknya. Bailin Mall. Mall terbesar kedua di indonesia, dengan yang pertama berada di Bandung dan nama yang sama. Tidak bisa menampik bahwa yang memiliki Mall ini benar-benar sangat kaya, dan saat ini Alin dan Leo telah sampai di tempat tujuan mereka. Beberapa staf karyawan yang mengenali mereka langsung memberi salam dan bersikap hormat. "Nona, Tuan muda, ada yang bisa kami bantu?" "Saat ini tidak ada, ke sinipun hanya untuk mengecek keadaan seluruh para pekerja, selebihnya untuk menemani adikku menghamburkan uangku. Apa ada masalah selama aku tidak datang kesini?" Memang, tidak ada yang menduga bahwa gadis yang baru 23 tahun itu sudah bisa membangun hal luar biasa seperti itu, dibalik latar belakang keluarganya yang tidak biasa dia juga merupakan anak yang memiliki segalanya dalam berbagai hal, mulai dari harta, kuasa, kepintaran, kecantikan yang hakiki, semuanya tidak ada yang kurang dalam hidup seorang Alinata Wijaya Putri. "Sejauh ini tidak ada yang bermasalah, para karyawan dan staf semua bekerja dengan baik, provit bulan inipun mengalami kenaikan tinggi dibanding bulan sebelumnya." "Benarkah? Kalau begitu kirimkan aku datanya lewat mail, aku akan mengeceknya sehabis dari sini." "Baik Nona." Disaat Alin tengah berbincang dengan para karyawan, Leo datang berteriak sambil membawa berbagai macam bag belanjaan, senyum silau yang membutakan orang termasuk dirinya. Bertingkah seperti itu, Alin pikir adiknya itu terlalu polos, selain pintar dan pandai berkelahi, tidak ada hal baik lainnya yang bisa anak itu lakukan, menempel padanya sepanjang hari seperti parasit dan tingkah manjanya yang kadang menjengkelkan, kali ini ia harus memastikan bahwa adiknya Leo tidak akan salah memilih pasangan. "Kak, kakak." "Berhentilah berteriak, aku tidak tuli" "Kak, ayo pergi makan aku sangat lapar." "Kau sudah makan pizza tadi dirumah." "Hei, itu sudah lewat 2 jam yang lalu, sekarang berbeda, ayolah kak aku sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi." "Sebenarnya kau ini perempuan atau laki-laki sih, bersikaplah lebih gentle, membuatku malu saja, tunggu disini." Setelah mengatakan itu, Alin menuju bagian administrasi untuk membayar semua barang yang telah adiknya ambil. Entah sebuah kebetulan atau memang sudah takdir, saat Alin dan adiknya memasuki tempat makan yang mereka pilih, pandangannya justru teralihkan pada seorang pria tampan yang sedang bercanda tawa dengan teman-temannya, pria yang sama saat dilapangan basket tadi siang, samar-samar ia bisa mendengar apa yang saat ini mereka bicarakan meski hanya sekilas. "Zayn, gue rasa label pangeran sekolah yang lu punya kayaknya nggak pernah berubah deh." "Kenapa." "Hehehe, liat aja tu muka, dari dulu cakepnya nggak berkurang apalagi dikampus banyak cewe yang naksir sama lu, yah cuma bedanya sekarang lu udah nggak punya segalanya lagi." "Lu lagi muji apa ngejek gue sih?" "Dua-duanya. Oh iya btw, gimana hubungan lu sama si siapa sih namanya, kok gue lupa mulu ya?" Iqbal tersenyum. "Obi maksud lu, gue udah putus sama dia seminggu yang lalu. Katanya sih udah nggak cocok, ya udah dong gue iyain aja, lagian juga gue nggak punya apa-apa buat pertahanin dia." Sebenarnya itu bukanlah alasan utama Zayn putus dengan Obi, mahasiswa cantik yang ahli di bidang manajemen bisnis itu. Zayn menerima keputusan untuk mengakhiri hubungan mereka bukan lain karena dia tahu bahwa Obi telah main belakang dengannya, dan dia seperti orang bodoh yang terus mengabaikan kenyataan yang terasa asam itu dihatinya. Awal mengetahuinya adalah tepat dua bulan yang lalu, saat dia dan adiknya pergi ke supermarket untuk belanja bulanan mereka, tapi siapa yang tahu, yang terjadi selanjutnya adalah dia melihat Obi sedang menggandeng tangan pria yang terlihat sangat berkelas. Saat itu ingin sekali dia menghampiri mereka dan menghajar wajah yang telah berani menyentuh miliknya, tapi dia tak bisa melakukannya, dia harus berpikir rasional ditempat umum itu. Pada akhirnya dia menyimpan rahasia itu rapat-rapat. "Bagus deh kalau lu udah putus sama si Obi itu, dari awal gue juga nggak suka sama tuh cewe, keliatan banget tampang playgirlnya. Manja manja alay gimana gitu, jijik gue kalau liat tingkahnya." Aku Daniel dengan sedikit tawa. "Omongan lu, gitu-gitu juga dia pernah jadi pacar gue, gue rada sakit hati ngomong lu jelek-jelekin dia." Alin tidak tahu apa yang sedang mereka obrolkan, seperti sesuatu yang sangat menyenangkan. Alin bahkan tidak tahu bahwa dia telah menghabiskan waktu satu jam penuh hanya untuk memperhatikan pria itu, makanan yang telah dia pesanpun hanya tersentuh sedikit. Sedangkan adiknya hampir tertidur karena perutnya yang penuh. Hari semakin malam dan dia harus segera membawa adiknya pulang, besok ia masih harus bersekolah. "Leo, kamu tunggu kakak di luar, kakak mau bayar tagihannya dulu." "jangan lama-lama." Melihat adiknya berjalan keluar, Alin segera menghampiri kasir disana. "Tagihannya?" "Ini Nona." "Berikan aku bill meja no.3 juga" Sesaat sang kasir termangu mendengar perkataan sang nona yang tidak biasa, tapi ia juga tidak berani bertanya, dan dengan segera memberikan total tagihan yang nonanya maksud. "Aku bayar semuanya, jika ada salah satu diantara mereka yang bertanya, bilang saja 'sudah di bayar oleh teman satu kampus kalian' jangan sampai mereka tahu namaku. Emh, pokoknya terserah kamu mau ngomong apa asal jangan sampai nyebut namaku ok." "Baik Nona." Dan malam itupun Zayn dan teman-temannya merasa bingung pada orang yang telah membayarkan makanan mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN