Athala Mahendra dan Nadira Wijaya

1372 Kata
Lelaki muda berusia dua puluh delapan tahun itu nampak menangis di sudut ruangan kamarnya yang luas. Kamar yang sebelumnya tertata rapi khas lelaki dengan nuansa maskulin, telah berubah bak kapal pecah dengan barang-barang yang berserakan di lantai.  "Kamu pembohong, Nadira!" lirih suaranya dengan dibarengi isakan.  Tok! Tok! Tok!  Terdengar suara ketukan dari arah pintu kamarnya.  Athala masih terdiam, tak ada keinginan untuk membukakan pintu kamarnya. Suara ketukan yang kembali terdengar, malah membuat air mata semakin deras mengalir dari kedua matanya.  "Athala! Athala! Buka pintunya, Nak!" suara Nyonya Laras dari arah luar kamar. Ceklek! Pintu kamar itu ternyata tidak terkunci.  Wanita itu nampak pilu hatinya, ketika melihat suasana kamar yang berantakan dan juga sosok putra sulungnya yang sedang terduduk di sudut kamar dengan wajah tertunduk sambil terisak menahan tangis.  Sungguh tak tega menyaksikan kepedihan yang saat ini dirasakan oleh sang putra. Namun, sebagai seorang ibu ia harus kuat dengan memberikan dukungan moril bagi buah hatinya.  "Athala?" Nyonya Laras ikut duduk, bergabung bersama di samping anak lelakinya.  Athala mendongak, seketika dihamburkan tubuhnya ke arah ibunda. Tangisan itu pecah kembali. Sang ibu yang telah siuman dari pingsannya berusah tegar dan menahan tangis demi memberikan rasa aman dan kenyamanan bagi sang putra.  "Athala tidak tahu apa salah aku pada Nadira, sehingga ia bisa setega ini padaku, Bu." "Kamu tidak salah, Athala. Tidak ada yang salah dalam situasi ini." Ibunya berusaha memberikan penghiburan pada Athala.  "Nadira yang salah, Bu. Nadira yang salah!" ucap Athala dengan suara seraknya.  "Hem, mengapa kamu berpikir seperti itu?" tanya Nyonya Laras dengan penuh kesabaran.  "Ibu baca saja sendiri surat yang Nadira tinggalkan!" pinta Athala kepada sang ibu.  Wanita yang masih nampak cantik diusianya yang sudah tidak muda lagi itu, mengambil selembar kertas yang Athala sodorkan kepadanya. Dengan perlahan ia buka kertas yang sudah terlihat kusut akibat remasan yang putranya lakukan.  'Dear Athala,  Sebelumnya aku ingin meminta maaf kepadamu karena dengan datangnya surat ini maka aku yakin akan terciptanya rasa kebencian yang akan tumbuh di hatimu kepadaku.  Athala, maafkan aku karena hanya berani mengungkapkan semuanya melalui selembar kertas ini. Athala, dengan berat hati aku ingin mengatakan, jika aku tidak bisa melanjutkan acara pernikahan kita besok dikarenakan hati aku yang ternyata masih tertancap pada sosok lelaki lain yang tak lain dan tak bukan adalah Rian, mantan kekasihku saat kuliah dulu (dan kamu tahu itu).  Aku meminta maaf atas namaku pribadi jika kegagalan pernikahan kita ini akan membuat dua pihak keluarga harus menanggung beban sosial dari orang-orang sekitar.  Semua ini murni kesalahanku, jadi tolong kamu dan juga keluargamu tidak menyalahkan keluargaku atas kejadian ini, mereka tidak tahu menahu mengenai apa yang terjadi dan aku rasakan.  Sekian pesan yang ingin aku sampaikan, sekali lagi aku meminta maaf. Semoga kamu mendapatkan wanita yang baik pengganti diriku dan kamu akan mendapatkan kebahagiaan di masa mendatang. Kekasihmu, Nadira.' Nyonya Laras menghembuskan nafas perlahan setelah selesai membaca surat itu. Dilipatnya kertas berisi pesan dari calon menantunya yang gagal, akibat kecerobohan sikap mereka karena rasa sayang yang berlebihan.  Ya, keluarga besar Nadira masih kerabat jauh dengan keluarga Mahendra. Awal pertemuan Athala dan Nadira memang atas perkenalan yang kedua keluarga lakukan. Nadira, gadis berusia dua puluh lima tahun itu sebetulnya adalah gadis yang baik. Namun karena rasa sayang keluarga Mahendra terhadap gadis itu, sampai-sampai mereka tidak menyelidiki lebih jauh tentang latar belakang asmara Nadira sebelumnya.  "Kamu menyalahkan Nadira, Athala?" tanya Nyonya Laras memandang lekat putranya.  "Ya, tentu saja," jawab Athala tegas.  "Athala, apa kerugian yang kamu dapatkan setelah adanya kejadian ini?" "Maksud Ibu apa?" Athala heran dengan pertanyaan yang ibunya ajukan.  "Nak, pertanyaan ibu jelas, hanya kamu yang belum mencernanya." Athala nampak berpikir, ia mengulang pertanyaan ibunya dalam hati.  "Kerugian yang aku dapatkan? Bukankah jawabannya juga jelas, Bu. Tentu saja aku merasa dirugikan atas kejadian ini. Bukan aku, tapi kita, keluarga Mahendra." Athala nampak mulai emosi.  "Apa kerugiannya?" Athala mengerutkan keningnya, apa maksud dari ibunya itu. Apakah ibunya itu pura-pura tidak tahu atau memang tidak menyadari. Entahlah, yang pasti rasa kehilangan yang ia rasakan tadi, saat ini telah berubah menjadi perasaan marah kepada sosok wanita yang telah tega dan seenak hati meninggalkan dirinya dan juga kekacauan yang ia timbulkan.  "Ibu, aku tidak tahu, apakah ibu ini pura-pura atau memang tidak menyadari, bahwa kita ini betul-betul merasakan kerugian yang tidak bisa dinilai hanya dengan sebuah angka." Nyonya Laras masih tersenyum memandang sang putra. Ia masih menyimak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Athala.  "Kerugian pertama, jelas saja kita kehilangan uang yang tidak sedikit. Sudah banyak uang yang kita keluarkan, dari biaya gedung, kamar hotel, catering dan juga akomodasi lainnya." Tidak ada reaksi dari sang ibu ketika Athala berbicara.  "Kedua, kerugian waktuku selama dua tahun ini yang ternyata hanya menjaga jodoh pria lain," lirih ia berkata sambil memalingkan wajahnya.  "Apakah kamu merasa tertipu?" tanya nyonya Laras.  "Pertanyaan ibu ini aneh, tentu saja, iya." "Masih ada lagi?" tanya ibunya kembali.  "Ketiga, kita akan mengalami beban sosial dari masyarakat sekitar, persis seperti yang gadis itu tuliskan di dalam suratnya untukku." "Gadis itu bernama Nadira, Athala!" sahut sang Ibu.  "Aku sudah lupa namanya," tegas Athala.  "Benarkah?" tanya Nyonya Laras tersenyum.  Athala melengos, menghindari tatapan ibunya.Tentu saja tidak benar, mana mungkin ia lupa wanita yang sudah dua tahun ini melekat indah di hatinya.  "Nak, dari kerugian yang kamu sebutkan, ibu rasa tidak ada kerugian yang tidak bisa di selesaikan." Athala kembali memandang ibunya, giliran lelaki muda itu menyimak perkataan dari sang ibu.  "Pertama, kerugian uang. Bukankah tadi kamu sendiri menyebutkan ini hanya masalah angka saja. Dan ibu yakin kamu pasti tahu jawabannya, benar bukan?" tak ada sahutan dari Athala, "uang bisa dicari lagi," sambung Nyonya Laras menatap sang putra.  "Kerugian kedua, kamu bilang kamu rugi telah menjaga jodoh orang?" Ibunya mengulang pernyataan Athala. "Jika kalian tetap menikah dengan Nadira menyampingkan perasaannya sendiri terhadap mantannya itu, apakah kamu akan bahagia di atas penderitaannya? Apakah kalian yakin akan bahagia membina biduk rumah tangga, jika ada salah satu perasaan pasangannya yang tak ikhlas atas pernikahan itu?" "Kalau begitu, mengapa ia mengiyakan acara pernikahan ini? Dan mengapa ia bertahan selama dua tahun ini, Bu? Kenapa?" "Athala, kita itu tidak tahu hati seseorang. Hanya Tuhan Sang pemilik hati ini. Dia-lah yang memiliki kuasa atas hati hamba-Nya." "Bisa saja ada peristiwa yang membuat Nadira akhirnya menggagalkan rencana pernikahan kalian. Dan situasinya berbeda ketika ia menerima kamu menjadi kekasihnya dua tahun lalu dan juga menerima lamaran yang diajukan oleh keluarga kita beberapa waktu lalu. Kita tidak tahu itu, Athala." Athala masih menyimak perkataan sang ibu. Ada pembenaran di setiap kalimat yang ibunya ucapkan.  "Anggap saja kamu sedang mencari pahala atas keikhlasan kamu ini," ujar Nyonya Laras.  "Kerugian ketiga, pandangan orang-orang sekitar tidak hanya akan keluarga kita rasakan, tapi keluarga Nadira juga akan merasakan hal yang sama, bahkan mereka merasakan beban itu dua kali lipat. Diluar pandangan sinis orang di sekitar atas pernikahan yang gagal dilaksanakan karena kepergian putrinya, juga beban rasa bersalah yang mereka rasakan terhadap keluarga kita." Athala merenungi kata-kata yang keluar dari mulut ibunya. Semua yang dikatakan olehnya diresapi oleh Athala hingga menelusup ke relung hatinya yang terdalam.  "Jadi bagaimana menurutmu, Athala? Apa kamu masih merasakan kerugian atas kegagalan rencana pernikahan ini?" Nyonya Laras menatap sang putra dengan wajah teduh khas seorang ibu.  Athala tak menjawab, ia malu dan juga gengsi jika membenarkan semua perkataan yang diucapkan oleh ibunya.  "Meskipun perkataan ibu ada benarnya, tapi aku tidak suka dengan cara yang gadis itu lakukan." "Ibu tidak mengatakan bahwa cara Nadira benar. Yang kita bahas sedari tadi adalah kerugian yang kita terima atas musibah ini," ujar sang ibu, "lantas apa mau kamu sekarang, Athala?" tanya ibunya kemudian.  Athala diam, ia berusaha merangkai kata demi menjawab pertanyaan sang ibu.  "Aku akan tetap menikah besok, dengan atau tanpa Nadira di sana nanti. Karena aku yakin saat ini, gadis itu hanya sedang terguncang batinnya akibat hasutan dari lelaki kurang ajar itu yang gencar mengganggu di detik-detik pernikahan kita berdua." Athala mengatakan dengan tegas mengenai keputusannya.  Ya, Athala memang tahu bagaimana cara-cara kotor yang digunakan oleh Rian --mantan kekasih Nadira-- untuk membujuk gadis itu agar mau kembali dengannya. Beberapa minggu terakhir, Athala sudah mengetahui semuanya. Maka dari itu, ia sangat yakin, jika sang kekasih hati hanya sedang bimbang akan keputusannya menikah besok. Bukankah setiap calon pengantin itu selalu memiliki perasaan yang sama di detik-detik menjelang pernikahan mereka? "Apakah kamu yakin, Athala?" tanya ibunya, seolah menyangsikan ucapan sang putra.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN