Sesama Putra Mahkota

1581 Kata
Marry Me, Gus! (1) "Ih, apa sih, Mbak Nooor! Gak ada akhlak banget. Main dorong-dorong," dengkus Ara pada abdi dalemnya begitu mereka telah masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Hampir saja air dalam gelas yang dibawanya tumpah. Untungnya selama ini ia dekat dengan beberapa pelajar dari Indonesia jadi mudah berkomunikasi. Beberapa tahun setelah tahu bahwa keluarga aslinya orang dari negara berfolwer tersebut, dengan gigih Ara mempelajari kebudayaannya. Bukan cuma dari Internet dan berkunjung di waktu liburan tapi juga bergaul dengan pelajar-pelajar itu. Lagian Ara berniat baik, ia hanya ingin menyapa dua lelaki tampan yang duduk di ruang tamu. Sayang aja kalau dianggurin. Pribadinya yang humble tidak terima itu. "Subhanallah, Ning! Kan sudah dibilangin, kalo njenengan mau ke luar kamar pakai gamis sama khimarnya," cecar Nur merasa dikhianati. Baru saja dia pamit ke toilet sebentar karena kebelet, Ara nekad ke luar tanpa menutup aurat. Padahal bisa saja santri ikhwan masuk karena perlu sesuatu, belum lagi ada tamu penting begitu. Nur bisa kena tahdzir beneran. Jika saja sejak awal dia tahu Ara sebandel ini, gadis berdarah Jawa itu pasti memilih diam dan tidak sok-sok an menawarkan diri menjaga Ara. Kali ini yang datang bukan tamu biasa, tetapi anak kiai yang mashur di kalangan pesantren. Gus Fatah. Lelaki yang menjadi buah bibir bukan hanya di antara para akhwat tapi juga sesepuh dan tokoh-tokoh di kalangan mereka. Maka Nur harus menyiapkan diri mendapatkan konsekuensi atas kelalaiannya. "Hih! Ogah! Aku kan dah bilang gak mau pake baju gobrah-gobroh gitu. Ck. Apa sih, namanya. Daster! Yah, daster! Aku gak suka!" protes Ara, terang-terangan menolak. Walau pun dia juga seorang muslimah, menurutnya aturan pakai kerudung itu tidak bisa dipaksakan. Apa salahnya tidak pakai kerudung selama dia tidak merugikan orang lain? Paksaan membuat Ara semakin frustrasi menghadapi lingkungan keluarga barunya di pesantren. Nur menghela napas panjang. Sepertinya hanya Ning Alya yang bisa mengatasi kelakuan ndablek Ara. Bahkan Nyai pun sepertinya kualahan, hingga memerlukan orang lain yang sebaya dengan Ara untuk melakukan pendekatan emosionalnya. "Ya sudah. Kalau emang ndak mau pakai daster gimana kalau kita pakai tunik saja dulu, bawahannya masih bisa pakai levis yang biasa Ning pakai." Nur coba bernegosiasi, ia ingat pesan Alya. Harus sabar menghadapi Ara. Segala sessuatu butuh proses. Mereka bahkan harus menghargai segala upaya Ara, yang sejak lama berusaha keras mencari keluarganya. Ia bahkan mati-matian mempelajari segala sesuatu yang berasal dari kampung halamannya Indonesia. "Tunek?" Ara tampak berpikir. Seperti apa bentuk tunik yang Nur minta. Apa kah sama seperti dress yang selama ini dikenakannya, atau malah lebih kedodoran dibanding daster? "Tu-u-nik?" Nur mengeja sambil mengangkat jemarinya. "Sebentar saya ambilkan." Gadis yang terlihat manis dengan pakaian syarinya itu berlari ke luar. Ara menggedikkan bahu. Ia teguk minuman di tangannya untuk membasahi kerongkongan yang sedari tadi kering, ditambah mengomel pada Nur. *** Fatah dan Afnan akhirnya memutuskan menunggu. Mereka kini lebih memilih banyak menunduk, takut kalau-kalau Ara atau yang sejenisnya muncul lagi. Fatah sendiri sadar, semua juga salahnya. Tidak seharusnya matanya jelalatan menayapu isi ruangan meski tuan rumahnya tidak sedang di hadapan. Karena itu adalah salah satu bentuk adab bertamu. Tidak berselang lama, seorang santri ikhwan datang dari dalam. "Assalamualaikum, Gus." Pria berusia dua puluhan tahun meraih tangan Fatah dan Afnan bergantin. Ketika tangannya hendak mencium punggung tangan bersih milik Fatah, pria itu segera menariknya, begitu juga Afnan. Keduanya sama-sama merendah dan tawaddu' tidak ingin dihormati secara berlebihan oleh orang lain. Berbeda saat bersama santri-santri di pesantrennya sendiri karena ingin mengajarkan akhlak terhadap guru pada murid-murid mereka itu. "Waalaikumsalam," jawab Fatah dan sepupunya pelan secara bersamaan. "Perkenalkan saya Ahmad." Santri itu memperkenalkan diri, disusul anggukan oleh tamu-tamunya. "Mohon maaf, njeh, Gus. Kiai Asmun masih dalam perjalanan. Mungkin sekitar sepuluh menit baru sampai sini," paparnya lagi menatap secara bergantian dua tamunya. "Oya, soal yang tadi kami minta maaf." Ahmad mengucap dengan tak nyaman, tanpa sadar ia menggaruk kepalanya karena canggung mengingat peristiwa tadi. Sebagai santri yang sudah lama membantu sang kiai, ia merasa punya tanggung jawab menjaga marwah keluarga ini. Fatah dan Afnan hanya saling pandang sebentar dengan senyum tipis menghiasi bibir keduanya. Mereka berusaha maklum meski tidak tahu bagaimana detailnya tentang gadis yang membuat mereka hampir kena serangan jantung. "Sebenarnya ... sudah lama sejak kejadian belasan tahun lalu, kiai berusaha mencari anaknya. Beliau yakin Ning Ara masih hidup, karena tim inafis hanya menemukan mayat istri beliau. Dan belakangan baru tahu, bahwa anak kiai dibawa turis yang hari itu tak sengaja menemukan Ning Ara." Ahmad bercerita tanpa diminta. Lagi-lagi tamu itu manggut-manggut menghormati, meski yang bicara di hadapan mereka hanyalah seorang santri. Fatah sebenarnya tidak tertarik, yang penting baginya amanah ini cepat selesai dan ia bisa segera kembali ke pesantren. Hanya saja ia juga berpikir, kalau musibah tidak menimpa kiai Asmun dan keluarganya lalu tidak hilang, gadis yang tadi membuatnya terkejut akan jadi gadis sholehah. Wanita yang sempurna karena hidup di tengah keluarga ini. Mengingat kiai Asmun dikenal wara' dan serius menjaga sekitarnya dengan syariat Islam. Merasa jenuh minumannya sudah habis, Ara mendesah melihat gelas yang telah kosong. Ia berjalan begitu saja ke arah pintu. Lupa apa yang baru diperdebatkan dengan Nur setelah mereka sampai kamar. Mengubah kebiasaan itu memang sangat sulit. "Astagfirullah!" Mulut Fatah kini menyeru lebih keras dari sebelumnya. Padahal ia sudah tahu kondisi Ara tapi tetap saja kaget melihatnya yang berjalan melenggang santai di hadapannya. Sontak Afnan mendongak lalu cepat menunduk. Begitu juga Ahmad, matanya yang sempat melihat Ara setelah begitu saja berbalik merespon Fatah, buru-buru ia kembali menatap tamu-tamunya. "Aduhhh." Ahmad menunduk dalam, ia benar-benar malu. Tapi juga tak bisa berbuat apa pun selain minta maaf pada tamunya. 'Ini mbak-e gimana sih, jagain Ning. Kok kabur-kaburan terus!?' rutuknya dalam hati. Lagi, dengan santainya Ara tersenyum. Berniat memberi hormat pada tamu-tamu itu. Hanya saja dirinya heran, kenapa setiap kali mereka beristigfar ketika melihatnya? 'Ah, terserahlah!' batinnya sembari meninggalkan mereka ke dapur. "Lumayan juga orang Indonesia, yah, bajunya aneh sih, tapi tetep aja cakep," ucapnya sambil menuang air dari ketel kaca di atas meja. Ara tersenyum sebelum air mengalir melewati kerongkongan. Nur yang mendengar Fatah meneriakkan istigfar, berlari cepat melepas tunik-tunik yang ia kumpulkan di atas ranjang kamar tamu. Begitu membuka pintu kamar Ara yang kosong ia mendesah. "Iihhh. Ning Ara!" Langkahnya lalu ke dapur lewat jalan belakang memutari kamar Bu Nyai, dengan begitu ia tidak berpapasan dengan tamu-tamu di depan. Jalan itu yang harusnya menjadi penghubung agar akhwat tidak bertemu ikhwan. Lorong menghubungkan dapur, kamar Ara, kamar Alya, kamar kiai dan Bu Nyai, ruang tengah dan ruang tamu yang luas sekaligus. Walau bagaimana, Nur adalah gadis pemalu. Jangankan jadi pusat perhatian karena hadir tiba-tiba di tengah tamu-tamu dan santri itu, sekedar terlihat saja dia sangat malu. "Ning Ara!" Nur menyeru kesal begitu melihat Ara berdiri di dapur. Ara yang tengah minum itu hanya menoleh tanpa melepas gelas dari mulutnya. Dilihatnya mulut Nur yang manyun dari balik gelas itu. Nur meniup berat, ia memegang pundak Ara lalu mendudukkannya di kursi. "Kalau minum sambil duduk!" ucapnya kesal, untung saja ia diberi wewenang untuk bicara layaknya teman pada Ara hingga tak perlu merasa bersalah dengan sikapnya. Toh, ini untuk kebaikan. Nur benar-benar kesal. Ara hanya meringis. Ia tahu bahwa gadis itu sudah berusaha keras menjaganya. Tapi mau bagaimana lagi, ia pun juga sudah berusaha keras memahami keluarga ini walau belum bisa melepas begitu saja apa yang diyakini. *** Begitu mobil kiai memasuki parkiran, lelaki paruh baya itu buru-buru ke luar untuk menemui tamu-tamunya yang telah lama menunggu. Meski bisa saja ia masuk kamar dulu ganti pakaian dan sekedar membuang penat, atau ke dapur membuang dahaganya, karena pada dasarnya dua utusan Kiai Hanafi itu pasti dengan rela hati menunggu. Setelah mendengar kedatangan putra mahkota pesantren Alfalah di rumahnya tadi, ia selalu berdoa agar Ara tidak menimbulkan masalah, mengingat kebandelan gadis itu sejak menginjakkan kaki di pesantren. Setelah bertemu Fatah dan Afnan, tampaknya semua baik-baik saja. Kiai celingukan, barang kali melihat Ara di sekitarnya, ia mendesah lega. Semoga memang tak ada masalah selama ia tidak ada. Mereka pun berbincang serius, dengan cerdas Fatah menjelaskan bagaimana rules kompetisi yang sudah ia konsep sebelumnya. Kiai Asmun terpukau dengan kecerdasan pemuda itu, benar berita yang beredar tentang Gus Fatah. Rupanya, apa yang terlihat di media sosial tidak berbeda dengan aslinya. Sahabatnya berhasil membuat anaknya menjadi singa yang berguna untuk agama. Sekilas kepedihan hadir di hatinya, mengingat anak kandung sendiri yang tidak karuan agamanya. Namun, bukan kah semua itu adalah takdir yang tak bisa dipilihnya. "Bagaimana Kiai?" Fatah meminta tanggapan dari orang dihormatinya. "Ohya!" sahut kiai Asmun. Pertanyaan Fatah menyentaknya. Mereka lalu menyepakati hari, tempat dan bagaimana sistem yang akan diterapkan dalam kompetisi. *** Alya yang tengah senyum-senyum sendiri memegang ponsel tersentak kaget, saat Ara memutar knop pintu kamarnya. Ponsel di tangannya bahkan terjatuh. Ara yang merangsek masuk seketika mengambil ponsel yang terjatuh di lantai. "Liat apa, sih? Fokus banget." "Huft. Ning, kalau masuk ucap salam dulu." Alya yang kaget memegangi dadanya. "Ih, siapa ini? Kok mirip tamu kemarin?!" Ara mengerutkan kening. "Benar, dia tamu kemarin!" serunya. "Jadi namanya Muhammad Fatahillah. Kalau dilihat dari dekat gini, beneran ganteng." Lengkung terbentuk di bibir Ara melihat foto berderet di sosial media milik Fatah. Alya yang sadar segera mengambil ponsel dari tangan Ara. Raut tak suka tampak di wajahnya melihat gadis itu menyebut nama dan memuji ketampanan Fatah. Ara mencebik, lalu menghempas bok*ngnya ke kasur king size kamar Alya. "Apa kamu menyukai laki-laki itu?" Alya menggeleng cepat. Namun, semburat merah di pipinya tidak bisa membohongi perasaannya. "Hem, bagus kalau gitu. Karena aku bakal nikah sama dia," ceplos Ara yang membuat mata Alya membeliak. BERSAMBUNG Gimana Gaes, panjang kan? Jan lupa like dan share biar cepet lanjut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN