Part 3
Sore hari.
Abi dan Dyah sudah bersiap membawa Mila ke Bidan terdekat. Bidan Elis satu-satunya bidan di desa. Desa Suka Damai, desa terpencil yang masih cukup asri. Sampai di tempat Bu Bidan. Abi dan Dyah harus antri, karena beliau adalah bidan satu-satunya, tentu saja ramai pasien. Kalau untuk ke puskesmas, harus ke desa sebelah yang jaraknya cukup jauh, sekitar lima kilometer. Akhirnya tiba juga giliran Mila diperiksa oleh bu bidan.
"Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanya bu Bidan dengan lembut.
"Ini, anak saya demam sejak tadi pagi nggak turun juga panasnya, Bu. Tapi, ini sudah mendingan sekarang," kata Dyah. Bu Bidan lantas memeriksa Mila.
"Tadinya panas ya, Bu?" tanya Bu Bidan sambil menempelkan stetoskop di d**a Mila.
"Normal kok, Bu. Nanti misalnya panasnya tinggi lagi. Coba rujuk aja ke RS takutnya demam berdarah atau kenapa-napa," saran Bu Bidan. Ia lantas memberikan obat penurun demam.
Pulang dari rumah Bu Bidan kata Dyah badanku kembali panas. Obat penurun demam seakan tak ada efeknya sama sekali. Dyah mulai resah, kembali teringat akan mimpinya. Tak, tahu harus berbuat apa, Abi dan Dyah hanya berusaha sebisanya. Menebarkan garam di sekeliling rumah sebelum magrib katanya mampu menangkal hal buruk. Sambil komat-kamit membaca ayat suci Abi menaburkan garam kemudian membasuh kaki sebelum masuk ke rumah agar barang halus yang menempel tidak ikut masuk ke dalam rumah. Begitu mitosnya. Malam harinya badan Mila semakin panas. Dyah mengompresku dengan air hangat.
"Mas, aku takut mimpiku itu ada hubunganya dengan sakitnya Mila," kata Dyah.
"Sudah, jangan suudzon dulu. Dosa, besok kalau masih demam kita bawa Mila ke dokter anak saja, yang penting usaha dulu. Baca-baca doa juga," kata Abi mengingatkan.
Mila sedikit tegang mendengar cerita dari ibunya. Tengorokanya terasa kering karena beberapa kali menelan saliva. Namun, Mila tidak mau mengambil air minum. Ia masih penasaran selanjutkan bagaimana?
"Sudah Mas, bahkan sedari tadi. Tanpa kamu ingatkan aku sudah membaca doa," kata Dyah. Mungkin sebenarnya Abi juga resah, tetapi, beliau berusaha tenang agar istrinya tidak panik. Sebagai kepala keluarga memang seharusnya begitu.
"Terus." Mila kembali menyela cerita ibunya. Dyah tersenyum gemas.
"Terus besoknya ibu dan bapak membawa Mila ke dokter anak. Tapi, hasilnya nihil. Mila tak kunjung sembuh. Siang normal dan menjelang magrib badan Mila panas. Begitu terus," kata Dyah.
"Lalu, anak-anak yang lain bagaimana?" tanya Mila.
"Sama, semua juga belum sembuh. Sampai di hari ketiga Mila sakit. Bu Ning tiba-tiba datang ke rumah."
"Ngapain?" tanya Mila tak sabar.
"Ibu nggak tahu siapa yang mengadu tentang obrolan emak-emak pagi itu. Lantas Bu Nuning mendatangi kami satu persatu. Menanyakan perihal kebenaran mimpi itu. Semua tidak ada yang mengaku perihal mimpinya. Bodohnya Ibu ... Ibu jujur mengankuinya. Memang iya, Ibu bermimpi Mila diajak pak Jamil naik kereta kencana yang ada hiasanya dua ekor ular besar di sisi kiri dan kanan."
"Terus."
"Terus Bu Ning bilang begini."
Oh, jadi benar. Kamulah yang menuduhku mengambil pesugihan. Cari masalah dengaku kamu'
Dyah menirukan apa yang dikatakan Nuning. walau Dyah sudah menjelaskan berkali-kali kalau tidak bermaksud menuduh. Nuning tetap tak mau terima.
"Keesokan harinya semua anak-anak sembuh. Kecuali Mila!" kata Dyah.
"Terus!"
Terus, malam harinya, tepat pukul satu malam ....
Abi sedang melaksanakan salat malam. Tiba-tiba ada asap mengepul masuk kedalam kamar melalui celah pintu bagian bawah. Antara sadar dan nggak sadar. Ibu melihat bu Ning dan pak Jamil muncul bersama kepulan asap tersebut, mereka lantas tertawa terbahak-bahak!