Bab 3

2382 Kata
Dua minggu kemudian, akhirnya Andromeda dihubungi oleh Vian mengenai kunjungan lapangan. Tepatnya hari ini An dan timnya akan dipandu oleh Vian ke tempat yang baru selesai diratakan oleh para pekerja. Setelah sesi konsultasi kemarin selesai, Andromeda segera melakukan rapat bersama timnya untuk menjelaskan proyek Waller Mall. An dan tiga anggota timnya sudah siap di lobby gedung Waller Corp, menunggu sekretaris Bara yang hendak menjemput mereka. Kali ini, An bisa bernapas lega karena atasan Vian tidak ikut serta dalam peninjauan lapangan. Perasaan wanita itu jadi semakin bercampur aduk karena sahabat abangnya itu. Dan sepertinya Tuhan mengabulkan doanya agar tidak bertemu dengan Bara, sehingga perasaannya tidak berantakan lagi. Untuk kegiatan di lapangan hari ini, An hanya mengenakan pakaian simpel berupa celana jeans dan turtleneck hitam sebagai atasan. Tak lupa sepatu sneakers demi keamanan dan kenyamanan. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Vian datang dan segera berjalan mendekat. “Maaf menunggu lama, Bu.” sapa Vian seraya menyalami Andromeda. “Nggakpapa, saya juga baru turun ke lobby.” “Ya sudah, ayo ke mobil, kita langsung ke tempat proyek.” ajak Vian yang kemudian berjalan di depan guna memandu tamunya. Andromeda dan anggota timnya segera mengikuti langkah Vian menuju mobil yang sudah siap di depan pintu masuk. Vian mempersilahkan mereka untuk menaiki mobil sebelum akhirnya dia membuka pintu penumpang di samping pengemudi untuk dirinya sendiri. Sesampainya di tempat proyek, An dan tim segera melakukan berbagai tindakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Ke empat orang itu sibuk dengan tugas masing-masing yang telah An tentukan begitu mereka sampai. Vian yang tidak melakukan apa apa, memilih untuk berdiri di dekat pintu masuk proyek dan melaporkan kegiatan para arsitek itu kepada atasannya. ===== Bara yang baru saja menerima pesan dari sekretarisnya bergerak gusar. Dia memang sengaja untuk tidak ikut serta dalam peninjauan lapangan hari ini. Bukan tanpa alasan, Bara hanya tidak ingin melihat ataupun berinteraksi dengan kepala arsitek proyek barunya itu. Setelah mengatakan wanita itu cantik dua minggu yang lalu, Bara berharap tidak akan ada momen lagi yang mempertemukan dia dengan Andromeda. Namun, sepertinya pikiran dan nuraninya tidak sependapat kali ini. Logikanya melarang Bara untuk mendatangi tempat proyek. Tetapi, hatinya sangat mendorong pria itu untuk pergi ke sana guna melihat wanita itu. Akibat pertarungan dalam dirinya itu, seharian ini pekerjaan Bara sama sekali tidak tersentuh. Dia hanya memandangi layar komputer di hadapannya dengan tatapan kosong. Dan sesekali dia akan melihat ponselnya, menunggu kabar dari Vian tentang kegiatan di tempat proyek. Bara akhirnya berdiri sambil mengacak rambutnya kesal. Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Kenapa dia begitu gusar? Tatapan Bara kemudian tertuju kepada ponselnya yang berada di genggaman tangannya. Dengan ragu dia mencari nomor Vian di kontak dan menekan simbol telepon. Deringan terdengar beberapa kali sampai akhirnya sekretaris Bara mengangkat panggilannya. ‘Ada apa, Pak?’ ‘Kamu masih di tempat proyek?’ ‘Masih, Pak.’ ‘Masih berapa lama?’ ‘Saya kurang tahu. Sebentar saya tanyakan dulu ke Bu Andromeda.’ Mendengar ucapan Vian barusan membuat Bara menunggu dengan tidak sabar. Astaga, kenapa bertanya saja lama sekali, pikirnya kesal. ‘Beliau bilang masih sekitar satu jam lagi, Pak.’ akhirnya. ‘Ok. Saya mau menyusul ke sana. Jangan pergi sebelum saya sampai.’ ‘Baik, Pak Bara.’ Dengan tergesa-gesa, Bara segera mengambil dompet serta kunci mobilnya yang kebetulan terletak saling berdekatan. Kemudian, pria itu berjalan dengan langkah cepat menuju keluar ruangan lalu segera memasuki lift yang akan membawanya menuju basement. ===== Setengah jam kemudian, setelah menerima begitu banyak protesan pengemudi karena ngebut, akhirnya Bara sampai. Dia langsung melepas seatbelt dan segera turun dari mobil. Vian yang melihat kehadiran atasannya itu kemudian berjalan cepat menghampiri Bara. “Kamu sudah belikan minuman buat mereka?” tanya Bara kepada Vian sambil berjalan menuju tempat proyek. “Sudah, Pak.” jawab Vian tepat saat mereka melewati pintu masuk. Bara menghentikan langkahnya dan memilih untuk berdiri di pinggir gerbang. Dari sini, dia dapat melihat empat orang yang sedang melakukan berbagai tindakan yang tidak dia ketahui. Saat pandangannya menangkap bayangan Andromeda di sudut kiri lapangan, Bara menghentikan gerak matanya. Wanita itu tampak serius memandangi berkas yang dia pegang. Mungkin dia sedang memasukkan atau mengolah data yang baru saja dia dapat, pikir Bara. “Mereka dari tadi panas panasan begitu?” tanya Bara kepada sekretarisnya yang berdiri tepat di sampingnya. “Iya, Pak. Saya kasihan juga, tapi bagaimana lagi, kerjaan mereka memang seperti itu, Pak Bara.” Jawaban Vian membuat Bara mengernyit tidak suka. Rasanya dia ingin membuat awan di langit berubah menjadi mendung agar wanita itu tidak kepanasan. Tapi sayangnya, itu mustahil. “Kamu di sini saja, saya mau menanyakan beberapa hal ke Bu An.” ucap Bara yang diiyakan oleh sekretarisnya. Bara nampak menghembuskan napas berat, sebelum kakinya melangkah hendak menuju kepada seorang wanita yang dengan bodohnya menggunakan pakaian berwarna hitam di hari terik seperti ini. Saat jarak diantara keduanya semakin dekat, Andromeda menyadari akan kedatangan seseorang ke arahnya. Kemudian, dia mendongakkan kepalanya ke arah orang yang menghampirinya itu. An nampak menyipitkan matanya karena silau lalu menaruh tangan kirinya ke atas kening guna menghalau sinar matahari. Bara akhirnya sampai di hadapan Andromeda tepat saat pandangan wanita itu sudah kembali jelas. “Kamu tahu kalau pakaian warna hitam bisa menyerap panas?” tanya Bara dengan datar. An mengernyitkan dahinya tidak mengerti. “Ngapain Pak Bara ke sini?” balas An yang tidak menjawab pertanyaan Bara. “Kalau kamu lupa, ini proyek saya. Jadi saya bebas kemari, meskipun tanpa keperluan sekalipun.” An mendecih sebal saat mendengar pernyataan Bara barusan. Lalu, dia lebih memilih untuk kembali fokus dengan berkas yang dia pegang. An harus menghitung perkiraan yang nantinya akan digunakan dalam pembangunan gedung Waller Mall. “Kamu nyuekin saya?” tanya Bara sebal. “Sorry, saya sedang sibuk. Kalau Anda lupa, saya kepala arsitek proyek ini. Jadi, saya bertanggung jawab buat memastikan semuanya terhindar dari kekeliruan yang nantinya bisa merugikan Anda.” sahut An tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Bara. Bara mendengus jengkel dan tanpa pikir panjang dia menarik berkas yang wanita itu pegang. Membuat Andromeda mendongak dan menatap kliennya dengan tatapan tidak percaya. ”What the hell are you doing?” “I need your focus on me.” balas Bara santai. Kali ini An menghembuskan napasnya keras sebelum menyahut, “S’cusme, Sir. Saya kerja buat Anda, bukannya Anda harusnya senang kalau saya fokus ke pekerjaan saya? Saya yakin, Anda pasti ingin desain saya cepat selesai jadi proses pembangunan bisa jalan, bukan?” “Kamu kepanasan dari tadi.” “Bukan cuma saya, Pak Bara. Ada tiga orang anggota tim saya yang sedari tadi juga kepanasan.” “Tapi mereka nggak bodoh kayak kamu dengan pakai baju warna hitam.” An menganga tidak percaya dengan perkataan Bara barusan. Dengan refleks, dia menunduk dan melihat warna pakaiannya. Memang benar dia mengenakan baju warna hitam. Dan astaga, dia juga tahu kalau warna hitam itu dapat membuatnya lebih merasakan panas karena kemampuan warna ini untuk menyerap panas. So what? “Lalu apa urusan An-“ Perkataan Andromeda tidak dapat terselesaikan karena dia merasakan sesuatu yang hangat mengalir dari hidungnya. Belum sempat dia menahan cairan itu, tangan Bara sudah menyentuh bawah hidung Andromeda. “See?! “ Mengingat ajaran sang Ibu yang adalah seorang dokter, An segera mendongakkan kepalanya. Tangan Bara yang bebas segera mengambil sapu tangan yang selalu dia bawa di saku belakang celananya. Setelah mendapatkan benda itu, dengan cepat Bara mengganti tangannya dengan sapu tangan. Bara kemudian segera menggiring An menuju pintu masuk proyek. Di kejauhan, baik Vian maupun tim An tampak panik dan segera menghampiri dua orang itu. “Kenapa, Mbak An?” tanya Regi, salah satu tim Andromeda. “Cuma kepanasan, kok, Gi. Kamu sama yang lain tolong lanjutin sebentar, ya. Nanti kalau mimisan saya sudah berhenti, saya yang ngitung lagi.” ujar An seraya memberikan berkas yang dia pegang kepada Regi. Regi dan kedua rekannya mengangguk lalu segera kembali ke tempat masing-masing untuk bekerja. “Saya bawa kamu ke rumah sakit.” ucap Bara tegas yang langsung ditolak oleh An. “Ini cuma mimisan, Pak. Bentar lagi juga berhenti.” “Terus kalo berhenti kamu balik lagi ke lapangan yang panas itu sama saja, Andromeda. Bisa aja kamu malah pingsan nanti.” Vian yang merasa tidak dibutuhkan diam-diam memundurkan langkahnya dan berjalan menjauh. “Godness. Kamu mikirnya berlebihan, Bara.” kata An yang tanpa sadar memanggil pria dihadapannya ini langsung dengan namanya, tanpa embel embel. “Terserah. Ikut saya atau kamu saya gendong.” Andromeda menatap Bara kesal dan mau tak mau akhirnya dia berjalan mendahului pria itu tanda setuju untuk pergi ke rumah sakit. ===== “Cuma mimisan biasa, Bu. Ibu cuma perlu istirahat sebentar.” jelas sang dokter yang menangani An di ruang UGD ini. “Saya juga mikir kayak gitu, dok. Cuma ada orang yang ngeyel bawa saya ke rumah sakit.” sindir An kepada lelaki yang berdiri dengan sikap cuek di dekatnya ini. Dokter itu hanya tersenyum maklum dan setelah An mengucapkan terima kasih, sang dokter berpamitan lalu meninggalkan kedua orang itu. “Kamu pernah mimisan?” “Pernah.” “Terus apa kamu ke rumah sakit?” “Nggak.” “That’s it. Godness, ini cuma mimisan. Buat apa kamu bawa saya ke rumah sakit?!” ucap An jengkel seraya bangkit dari kasur. Bara mengedikkan bahunya cuek lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia berjalan keluar menuju bagian administrasi. Astaga, memang sepertinya teman abangnya tidak normal semua, pikir An sambil menggelengkan kepala tak habis pikir. ===== “Kita nggak balik ke proyek lagi?” tanya Andromeda saat menyadari arah jalan yang dituju mobil Bara. “Kita ke kantor.” Lagi, Bara membuat An tidak habis pikir dengan tindakan pria itu. “Saya masih ada kerjaan di sana. Kapan selesainya desain bangunan kamu kalau saya nggak nyelesaiin kegiatan di lapangan hari ini?!” ucap An jengkel. “Kamu punya tim kan? Suruh aja mereka buat nyelesaiin tugas kalian.” jawab Bara enteng. An menghembuskan napasnya keras dan memilih untuk tidak menyahuti perkataan Bara. Dengan terpaksa, An mengambil ponsel di dalam tasnya dan mengirimkan pesan kepada Regi, juniornya saat kuliah dulu, untuk menyelesaikan tugas mereka tanpa dirinya. Sisa perjalanan menuju Waller Corp diisi dengan keheningan. Andromeda memilih untuk memejamkan mata, berusaha menenangkan diri sejenak. Hari ini dia merasakan kejengkelan yang luar biasa karena lelaki yang sedang menyetir di bangku sebelah. Tapi bagus juga, pikirnya. Dengan kejengkelannya ini, dia jadi tidak merasakan perasaan-perasaan berbahaya itu lagi. Kalau begitu, lebih baik An memilih untuk menerima sikap menyebalkan dari Bara saja. Dari pada harus dihadapkan dengan tindakan Bara yang membuat degup jantungnya menggila. Lalu tanpa disadari, pikiran An yang berkecamuk itu membuat dirinya tertidur. ===== Suara denting piano membangunkan Andromeda dari tidurnya. Saat kedua matanya terbuka, An memandangi sekitar dan terduduk kaget karena tidak mengenali tempat dirinya berada. Wanita itu langsung menyingkirkan selimut yang menutupi kakinya dan turun dari ranjang. Dia segera berjalan menuju pintu kamar yang terbuka dan berjalan menelusuri tempat asing itu. Dengan langkah pelan, An berjalan mencari sumber suara. Kakinya kemudian berhenti bergerak saat pandangannya menangkap seorang pria yang sedang memainkan kesepuluh jarinya di sebuah grand piano berwarna hitam. Alunan lembut nada-nada yang keluar dari permainan orang itu membuat An tanpa sadar berjalan mendekat. Namun, Bara langsung menghentikan permainan pianonya saat menyadari Andromeda sudah berdiri di samping piano. “Sudah bangun?” tanya Bara sembari bangkit dari kursi. “Kamu bisa main piano?” balas An yang menyentuhkan jari-jarinya ke tuts piano di dekatnya. “Sedikit.” “Sedikit ya? Kelihatan sekali bohongnya.” sindir An yang tidak dibalas oleh Bara. Andromeda menarik kembali tangannya dan kali ini dia mendongak untuk menatap Bara. “Kenapa saya bisa di sini? Dimana ini?” “Tadi kamu ketiduran. Karena nggak mungkin saya gendong kamu ke kantor makanya saya bawa kamu ke apartment saya.” “Dari pada kamu repot-repot gendong saya sampai ke sini, bukannya lebih gampang kalau kamu bangunin saya tadi?” sahut An jengkel. “Kamu butuh istirahat kata dokter.” Astaga, kalau seperti ini terus, lama-lama An bisa terserang darah tinggi. Bara berjalan menuju dapur untuk mengambil minum, meninggalkan An yang sekarang terduduk di kursi piano. “Minum.” kata Bara yang sudah berada di hadapan An sambil menyodorkan segelas air putih. Andromeda menerimanya dengan terpaksa karena tidak mungkin dia menolak. Setelah menandaskan isinya, An menyerahkan kembali gelas itu kepada Bara. Bara kemudian kembali berjalan menuju dapur dan langsung mencuci gelas itu sebelum kembali lagi menghampiri tamunya. “Tas saya dimana?” “Di kamar saya. Kamar yang tadi kamu tidurin.” jawab Bara sambil menunjuk kamar yang baru saja An tinggalkan. Andromeda segera bangkit dan berjalan menuju kamar itu untuk mengambil tasnya. Tidak seperti tadi, kali ini An mengedarkan pandangannya mengamati kamar pria itu. Kamar ini begitu maskulin dengan warna hitam yang mendominasi. Hanya ada beberapa perabot yang berwarna putih, termasuk kasur yang tadi dia tiduri. “Sudah ketemu?” Andromeda terlonjak kaget saat mendengar pertanyaan Bara. Sejak kapan pria ini masuk? An segera meraih tasnya yang terletak di atas lantai,  sedang bersandar pada nakas samping kasur. “Saya mau pulang. Terima kasih sudah mengijinkan saya istirahat di sini.” ucap An untuk berpamitan. “Saya antar.” “Don’t, please don’t. Saya bisa sakit beneran kalau kamu yang antar.” “Kok bisa?” tanya Bara bingung. “Bisa darah tinggi saya gara-gara jengkel sama kelakuan kamu.” jawab Andromeda ketus lalu segera berjalan melewati Bara untuk keluar dari kamar. Bara terkekeh sesaat sebelum melangkah cepat mengejar An. Andromeda sudah mencapai pintu apartment saat Bara berhasil meraih tangan wanita itu. “Apa lagi?!” tanya An sebal. “Yakin nggak mau saya antar pulang?” “Nggak. Mending saya naik kendaraan online dari pada diantar sama kamu.” balas Andromeda yang kali ini langsung membuka pintu di hadapannya. Bara mengikuti An sampai di depan lift yang kebetulan berhenti di lantai ini. Wanita itu langsung memasuki tabung besi itu saat pintu terbuka. “Jangan pakai baju hitam lagi kalau ke lapangan.” pesan Bara yang membuat An mendengus. “Yes, Sir.” balas An dengan penuh penekanan. Ekspresi wanita yang berada di hadapan Bara itu membuatnya gemas. Tanpa pikir panjang, Bara memajukan badannya dan mengecup sekilas bibir An, tepat sebelum pintu lift tertutup dan membawa wanita itu menuju lobby gedung. Bara yang masih berada di depan lift tersenyum lebar. Lucu juga ya adik dari temannya itu. Sepertinya menyenangkan jika dirinya bermain sedikit dengan An, pikirnya. =====
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN