Hae Ri yang ditinggal berdua bersama Jung Ha diam-diam melirik pemuda itu. Pemuda di depannya itu memang tampan, tapi sayang tak menarik perhatian Hae Ri sama sekali.
Sudah hampir 15 menit berlalu tapi Ahreum dan In Ha belum juga kembali dari toilet. Jujur ditinggal berdua dengan orang yang tidak dia kenal membuat Hae Ri merasa kurang nyaman.
“Kenapa mereka belum juga kembali?” Hae Ri melirik Jung Ha yang tengah sibuk dengan ponselnya.
“Entah lah,” sahut pemuda itu singkat.
“Kau dulu teman kuliah Ahreum, sudah lama mengenalnya?”
“Ya.”
Hae Ri memutar bola matanya malas, dia seperti bicara dengan sistem komputer yang hanya bisa menjawab ya dan tidak.
“Kau kenal Ahreum sejak kapan?”
Kali ini Jung Ha yang balik bertanya pada gadis itu.
“Sejak di sekolah dasar.”
“Sudah hampir 20 tahun?”
Hae Ri mengangguk. Jika dipikir-pikir ia dan Ahreum sudah berteman selama itu. Baginya Ahreum itu bukan hanya sekedar teman atau sahabat tapi saudara dan keluarga.
“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Ahreum yang baru saja kembali bersama In Ha.
“Bukan apa-apa,” jawab Hae Ri sambil tersenyum ke arah sahabatnya itu.
“Karena makanannya sudah habis, bagaimana kalau kita pulang sekarang?” ajak In Ha.
“Oke, kami tunggu di luar. Jangan lupa kau yang bayar semuanya.” Ahreum menatap In Ha yang bersiap melarikan diri.
“Baiklah,” sahut In Ha pasrah.
In Ha yang awalnya ingin melarikan diri mau tidak mau harus memutar balik langkahnya dan berjalan menuju kasir untuk membayar makanan mereka. Sementara Ahreum, Hae Ri dan Jung Ha menunggu di depan restoran.
“Sudah kau bayar?” tanya Ahreum begitu In Ha keluar dari restoran.
“Sudah,” sahut In Ha sambil merapikan jaket yang ia kenakan.
Mereka berempat kemudian memutuskan berpisah di depan restoran.
***
Setelah berpisah dengan ketiga orang itu, Hae Ri berjalan menuju halte bus terdekat. Tak lama setelah Hae Ri sampai di halte, bus yang ditunggunya tiba. Hae Ri pun segera masuk dan duduk di salah satu kursi yang kosong. Gadis itu lalu memasang earbuds di kedua telinganya dan memutar lagu favoritnya, Breath dari Lee Hi. Itu adalah lagu yang selalu Hae Ri putar ketika dia merasa hidupnya begitu berat.
Ting...
Hae Ri melihat ponselnya, ada notifikasi tentang beberapa tagihan yang harus dia bayar. Gadis itu menghela napas lalu menatap pemandangan malam hari kota Seoul dari balik jendela bus. Hae Ri kembali menghela napas, bonusnya bulan ini belum ia terima tapi dia sudah disambut dengan tagihan-tagihan yang harus segera ia bayar. Hidup Hae Ri sepertinya tidak pernah berjalan mulus. Setiap bulan ia harus berhati-hati untuk mengatur keuangannya. Dia hidup sendirian dan tidak punya keluarga. Dia tidak bisa bergantung pada orang lain. Terkadang gadis itu merasa iri pada mereka yang memiliki keluarga dan hidup berkecukupan, bisa membeli apa pun yang mereka inginkan tanpa takut akan kehabisan uang.
Dia yang sejak dulu hidup sendiri harus berjuang agar bisa bertahan hidup di dunia yang kejam ini. Bahkan untuk bisa kuliah Hae Ri harus belajar mati-matian agar mendapatkan beasiswa penuh, selain itu dia harus bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Meskipun saat ini Hae Ri sudah memiliki pekerjaan mapan dan gaji yang lumayan tapi bukan berarti Hae Ri bisa hidup dengan nyaman dan tenang. Dia masih harus menabung agar saat tua ia bisa hidup dengan nyaman tanpa kekurangan.
Karena alasan itulah sampai saat ini Hae Ri tidak pernah berkencan dengan siapa pun. Dia tidak punya waktu untuk jatuh cinta apa lagi mencintai orang lain. Lagi pula berkencan adalah hal yang terlalu mewah untuknya yang harus selalu berhemat.
***
Tut tut tut
Hae Ri memasukkan password rumahnya, begitu pintu terbuka gadis itu segera masuk ke dalam apartemen sederhana miliknya. Setelah ia melepas sepatunya Hae Ri bergegas menuju kamarnya dan meletakkan barang-barangnya. Hae Ri lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Hari ini sungguh melelahkan baginya. Rasanya ia ingin langsung tidur saja, tapi dia juga tidak tahan dengan bau keringat dan badannya yang lengket. Akhirnya dengan langkah malas Hae Ri beranjak menuju kamar mandi.
Selesai mandi Hae Ri langsung duduk di belakang meja kerjanya yang berada di dalam kamarnya. Tangannya terlihat lihai menggoreskan pensil yang dipegangnya ke atas kertas. Hae Ri juga menggoreskan pensil warna ke atas gambar yang dibuatnya. Gadis itu sedang menggambar segelas bir. Setelah gambar itu selesai dibuat, Hae Ri bergegas mengambil ponselnya dan memotret gambar itu. Hae Ri kemudian mengupload gambar itu akun i********: miliknya. Tak lupa Hae Ri menambahkan caption, ‘Hari yang melelahkan.'
Bagi Hae Ri membuat sebuah gambar sederhana setiap hari dan menguploadnya ke akun i********: miliknya sudah seperti menulis di buku harian. Gambar yang dia buat selalu mewakili perasaannya hari itu. Melihat gambar yang dia upload mendapat respons yang bagus dari pengikutnya membuat Hae Ri bahagia, itu seperti semangat baginya. Rasanya seperti air hujan yang menyejukkan di musim panas.
Ponsel Hae Ri berdering, Ahreum meneleponnya. Di tengah malam?
“Halo," kata Hae Ri sesaat setelah mendekatkan ponsel ke telinganya.
“Kau sudah tidur?” tanya Ahreum dari seberang telepon.
“Belum," jawab Hae Ri singkat. “Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Hanya saja aku ingin bertanya sesuatu.”
Hae Ri mengernyitkan dahinya.
“Menurutmu Jung Ha itu bagaimana?” tanya Ahreum dengan nada berhati-hati.
“Jung Ha? Kenapa? Kau menyukainya?”
“Aku? Tidak,” kilah Ahreum cepat.
“Lalu kenapa?”
“Hanya bertanya saja.”
Hae Ri menghela napas, sepertinya dia tahu apa rencana Ahreum. Sahabatnya itu mencoba menjodohkannya dengan Jung Ha.
“Aku tidak tertarik untuk berkencan,” tegas Hae Ri.
“Kau kan belum mengenalnya? Kenapa tidak dicoba du—“
“Aku harus tidur sekarang.”
Tutt.
Hae Ri segera menutup teleponnya. Dia enggan membahas lebih jauh tentang perjodohan yang direncanakan Ahreum, dia masih belum tertarik untuk berkencan. Fokusnya sekarang hanya untuk bekerja keras dan mengumpulkan uang.
***
Hae Ri masih terbaring di atas ranjangnya ketika sinar matahari menerobos masuk melalui jendela kamarnya. Merasa tidurnya terganggu karena silaunya sinar matahari gadis itu lantas menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya. Di akhir pekan seperti ini hal yang ingin dilakukan Hae Ri hanya tidur seharian.
Baru beberapa menit Hae Ri mencoba tidur kembali tapi bunyi dering ponsel menggagalkan rencananya. Siapa yang mengganggu waktu istirahatnya yang berharga? Dengan mata setengah terpejam Hae Ri meraih ponsel yang ada di nakas samping tempat tidur. Dilihatnya nama Ahreum terpampang di layar ponselnya.
“Sial,” umpat Hae Ri kesal. “Halo?”
“Hae Ri Hae Ri kau sudah bangun?” tanya Ahreum dengan suara cemprengnya.
“Yah aku sudah bangun, berkatmu yang mengacaukan waktu tidurku yang berharga.”
“He He He maaf. Tapi situasi darurat sedang terjadi."
“Ada apa?”
“Tidak ada waktu untuk menjelaskannya. Sekarang cepat mandi dan pakai pakaian olahraga, sepuluh menit lagi aku sampai di rumahmu. Oke.”
Tuttt.
Belum sempat Hae Ri bertanya, Ahreum sudah memutuskan panggilan itu. Sebenarnya apa yang direncanakan sahabatnya itu? Akhirnya dengan terpaksa Hae Ri melenggang pergi ke kamar mandi. Lagi pula dia sudah tidak mengantuk lagi akibat telepon mendadak dari Ahreum.
***