Bab 2. Jordan Collins

2013 Kata
Tergesa Jordan menghabiskan sarapannya. Setelah memasukkan potongan roti terakhir ke dalam mulut, pemuda itu langsung meraih tas dan s**u kotak yang baru setengah diminumnya. Mengunci pintu, Jordan menyampirkan tas ke punggung. Melanjutkan meminum s**u kotaknya sambil berjalan menuju tempat biasa dia memarkirkan sepeda. Jordan membuang kotak bekas s**u kotak yang sudah habis diminum ke tempat sampah, lalu mengayuh sepeda tergesa menuju sekolah. Dua puluh lima menit lagi sekolah dimulai, sementara dia memerlukan waktu dua puluh menit untuk bisa sampai ke sekolah menggunakan sepedanya. Jadi, ia hanya memiliki sisa waktu lima menit untuk memutari separuh gedung sekolah agar bisa sampai ke kelasnya. Jordan menarik napas, mempercepat kayuhannya agar bisa sampai lebih cepat. Karena tak mungkin ia mencapai kelasnya yang berada di tingkat dua dalam waktu lima menit. Dari tempat parkir ke gedung sekolah saja membutuhkan waktu lebih dari satu menit, itu pun ia juga berlari. Jordan merutuk dalam hati. Menyalahkan Jeremia yang selalu mengganggunya setiap kali ia memejamkan mata. Seharusnya ia bisa langsung tidur setelah mengerjakan pekerjaan rumahnya tadi malam. Itu kalau seandainya Jeremia tidak selalu muncul saat ia memejamkan mata. Alhasil ia tidur dini hari. Shit! s**t! s**t! Sampai di sekolah hanya dalam waktu lima belas menit, Jordan memuji kemampuan kakinya dalam mengayuh sepeda. Sekarang Jordan harus berjuang untuk mencapai gedung sekolah. Jarak antara tempat parkir roda dua dengan gedung sekolah lumayan. Memerlukan waktu kira-kira dua sampai tiga menit kalau berjalan kaki biasa, lebih lama kalau sambil mengobrol bersama teman. Tapi akan lebih cepat kalau berlari, seperti yang dilakukan Jordan saat ini. Jordan selalu melontarkan kata maaf pada setiap orang yang ditabraknya di lorong saat ia berlari, entah itu laki-laki atau perempuan, murid atau petugas sekolah. Jordan tak memperhatikan mereka karena terus berlari, sampai di kelasnya. Mengambil kursi di sebelah Gareth, Jordan menghembuskan napas lega. Kelas belum dimulai, ia tidak terlambat. Omong-omong soal Gareth, mereka sekelas hari ini. Gareth juga mengambil kelas Professor Keith. "Hei, dude!" Gareth mengangkat kepalan tangannya yang segera disambut Jordan dengan kepalan tangan juga, bertepatan dengan bel tanda masuk kelas berbunyi. "Kau nyaris saja terlambat, dude," komentar Gareth. Pemuda berambut dark brown itu terkekeh. "Yeah," jawab Jordan lemas. "Aku harus berlari dari tempat parkir ke sini." Kekehan Gareth semakin keras. Ia sangat menikmati penderitaan temannya ini. "Dan menabrak beberapa orang di lorong." Jordan mengusap wajah lesu. "Berharaplah kau tadi tidak menabrak para ratu sekolah." Jordan membelalak horor mendengar perkataan Gareth barusan. Tidak, jangan sampai itu terjadi. Jordan tidak mau waktu tidurnya semakin berkurang. Karena kalau benar ia menabrak Jeremia tadi, Jordan tidak akan dapat tidur malam ini. Jordan mengerang mendengar kekehan Gareth yang makin lama semakin keras. Terdengar sangat menyebalkan. Seandainya saja Professor Keith tidak masuk, Gareth mungkin akan terus menertawakannya sepanjang jam pelajaran. "Jeremia akan menjauhimu kalau kau menabraknya sekali lagi," bisik Gareth. Pemuda itu menaik-turunkan alisnya dengan tatapan jahil pada Jordan. Shit! Jordan menyumpah dalam hati. Masih sempat-sempatnya Gareth menggodanya, padahal Professor Keith sudah berdiri di depan kelas siap untuk mengajar mereka. *** Jordan menggeleng pelan, membawa nampan makan siangnya ke meja Gareth dan beberapa teman pemuda itu. Saat meletakkan nampan, tak sengaja mata birunya menangkap bayangan Jeremia bersama teman-temannya. Mereka memasuki kantin. Gareth yang melihat gerakan Jordan terhenti, mengalihkan tatapan ke arah fokus temannya itu. Senyum jahil kembali menghiasi wajah tampannya. Gareth melempar sepotong kentang goreng pada Jordan. Terbahak melihat Jordan yang tersentak dengan wajah memerah samar. "Awas, perhatikan matamu, jangan sampai kau menabrak lagi!" godanya dengan tawa yang semakin keras. Membuat mereka menjadi pusat perhatian. Jordan membelalak kesal. Apalagi melihat Jeremia dan teman-temannya juga menatap ke arah mereka. Dengan senyum geli menghiasi wajah cantik gadis-gadis itu. Jordan menggeram. Fvck, Gareth! rutuknya kesal dalam hati. Keterlaluan memang temannya yang satu itu, membuatnya malu saja. Apalagi sejak tadi Jeremia terus saja melihat ke arahnya. Eh, benarkah? Masa iya Jeremia memandangnya? Atau ini hanya perasaannya saja. Jordan menggeleng pelan, pemuda itu mempercepat makannya. Segera keluar kantin setelah selesai. Tak menghiraukan Gareth yang terus saja menggodanya. Ia tak ingin lebih malu lagi. Jordan menuju lokernya, mengambil beberapa buku untuk jam pelajaran berikutnya. Termasuk buku pekerjaan rumahnya dari Mrs. Brigitte. Ia tak lupa, setelah ini ia ada kelas guru cantik itu. Dari loker Jordan menuju lapangan basket indoor sekolah. Melihat-lihat anak-anak basket sedang bertanding. Basket adalah olahraga favoritnya, karena bermain basket juga tubuhnya bisa setinggi sekarang. Jordan duduk di bangku penonton paling bawah, di dekat anak-anak basket itu meletakkan barang-barang mereka. Saat akan meletakkan bokongnya, bola basket terlempar ke arahnya. Dengan sigap Jordan menangkap bola itu, sebelum mengenai wajahnya atau menggelinding di lantai. "Wow!" Pekikan kagum terdengar dari anak-anak di tengah lapangan. Mereka bertepuk tangan dan menyoraki Jordan. Salah satu dari anak-anak itu mendekatinya. "Hai!" sapa pemuda yang mendekat itu. Tingginya hampir sama dengannya. Pemuda itu mengulurkan kepalan tangannya. "Hai!" balas Jordan yang menyambut kepalan tangan pemuda itu dengan kepalan tangan juga. "Namaku Robert," ucap pemuda itu mengenalkan diri. "Mau bergabung?" tawarnya. "Bolehkah?" tanya Jordan semangat. "Sure!" balas Robert. Kedua pemuda itu berjalan berdampingan menuju ke tengah lapangan. Jordan yang membawa bola. "Hei, aku belum tahu namamu, bisakah kau menyebutkan namamu?" pinta Robert. "Yeah, ini hanya agar aku mudah memanggilmu saja. Aku tak mungkin memanggilmu pirang, kan? Karena rambutku juga pirang." Robert terkekeh. Pemuda itu menyugar rambutnya. "Oh astaga aku lupa!" Jordan menepuk dahinya. "Aku Jordan." "Senang berkenalan denganmu, Jordan." Robert memukul pelan d**a Jordan. "Omong-omong, kau murid baru ya?" Jordan mengangguk. "Yeah." "Sudah berapa lama?" "Well, ini adalah hari keduaku." Jordan meringis sambil mengusap tengkuknya. Robert terkekeh, memukul d**a Jordan sekali lagi. "Selamat datang di sekolah," ucapnya. Jordan mengangguk. "Terima kasih." Robert mengangguk. Memperkenalkan Jordan pada teman-teman basketnya begitu mereka tiba di tengah lapangan. "Guys, his name is Jordan. He is a new student (Teman-teman, namanya adalah Jordan. Ia siswa baru)." Perkenalan singkat ala Robert. Jordan mengangkat kepalan tangannya, ber-tos ria dengan mereka yang masing-masing menyebutkan namanya. "Hei, dude, selamat datang dan selamat bergabung," sambut Tim, salah satu dari tujuh pemuda itu. Tim mengangkat tangannya, menabrakkan bahunya dengan bahu Jordan setelah Jordan menjabat tangannya. Salam perkenalan ala lelaki. "Yeah," balas Jordan. Pemuda itu tersenyum yang membuat dua lubang di pipinya menekuk dalam. "Terima kasih, teman-teman." "Jadi, kita mulai pertandingannya sekarang?" Yang lain mengangguki usul Robert. Jonah yang melempar bola. Jordan yang mendapatkan kesempatan menembak pertama kali. Dan ... tiga point. "Yeah!" Jordan dan teman-teman satu timnya yang terdiri dari Hans, Dani, dan Jack bersorak. Mereka melakukan tos ala anak laki-laki sebelum memulai permainan kembali. Permainan berlangsung seri. Kedua tim imbang, mereka sama-sama kuat. Permainan mereka berakhir ketika bel menandakan jam pelajaran selanjutnya dimulai memekik kencang. Setelah mohon diri pada teman-teman barunya, Jordan segera menaiki tangga untuk masuk ke kelas Mrs. Brigitte. *** "Kuharap kau tidak melakukan kesalahan lagi kali ini." Catherine menatap Jordan yang sedang memasang topi berlogo kedai pizza tempat mereka bekerja paruh waktu. "Atau bos akan memecatmu." Jordan mengangguk. "I hope so (Aku harap begitu) ," ucapnya. Catherine Willford adalah rekan kerja Jordan. Catherine sudah lebih dulu bekerja daripada Jordan di kedai ini. Catherine termasuk pegawai paruh waktu senior. Catherine juga tetangga Jordan, flatnya berjarak sebuah flat lain dari flat Jordan. Mereka seumuran dan memiliki nasib yang sama, makanya mereka akrab. Catherine juga yang menyuruh Jordan untuk melamar pekerjaan di kedai ini. "Berusahalah!" Catherine menepuk punggung Jordan lumayan kuat. Buktinya Jordan sampai terhuyung ke depan. "Doa kan aku!" pinta Jordan. Catherine tak menjawab, gadis itu hanya mengacungkan ibu jari. Setelahnya pergi keluar ruangan khusus pegawai itu. Waktunya bekerja. Jordan menyusul setelahnya. Jordan mengembuskan napas melalui mulut, kemudian menghampiri sebuah meja yang diduduki oleh tiga pria dewasa. Pekerja kantoran sepertinya. Jordan mencatat pesanan mereka, lalu memberikan pesanan pada pegawai yang bertugas di dapur. Suara bel berbunyi, yang menandakan ada pengunjung baru. Segerombolan pemuda memasuki kedai. Jordan bergegas menghampiri mereka begitu mereka duduk. Menanyakan pesanan pemuda-pemuda itu dan terkejut. Ternyata pemuda-pemuda itu adalah teman-teman bermain basketnya di sekolah tadi. "Hei, bro, kau bekerja di sini?" tanya Hans begitu mengenali pemuda yang wajahnya tertutup topi. Jordan meringis. Dia terlihat serba salah. "Eh, yeah," jawab Jordan gugup. "Wow keren," komentar Kevin. Pemuda itu mengacungkan ibu jarinya pada Jordan. "Benarkah?" Jordan yang tadinya loyo sekarang sedikit bersemangat. "Tentu saja!" timpal Robert. "Bekerja paruh waktu itu adalah sesuatu yang keren. Aku juga mau, seandainya orang tuaku mengizinkan." Robert yang tadinya berapi-api merosot. "Aku juga." Dani juga tidak mau ketinggalan. "Sayangnya orang tuaku juga melarangku bekerja paruh waktu." Haruskah Jordan cemburu mendengar perkataan mereka tentang orang tua? Yeah, itu jawabannya. Ia memang selalu iri pada anak-anak yang masih memiliki orang tua, tidak sepertinya yang orang tuanya saja tidak tahu. "Aku tidak dilarang," ucap Jordan lesu. "Orang tuaku tidak ada. Maksudku, aku harus bekerja karena aku tidak memiliki orang tua." Teman-temannya memandang Jordan dengan tatapan menyesal. Mereka tidak bermaksud membicarakan orang tua mereka di depan Jordan. Jordan tersenyum. "Tidak apa-apa." Pemuda itu mengangkat bahu kemudian kembali fokus pada pekerjaannya. "Oh ya, kalian mau pesan apa?" Ketujuh temannya menyebutkan pesanan mereka masing-masing. Jordan mendengarkan dan mencatatnya di memo. Pemuda itu terkikik geli melihat dua lembar memo yang digunakannya untuk mencatat pesanan ketujuh orang temannya. "Sepertinya aku akan mendapatkan tip yang besar nanti kalau pesanan kalian sebanyak ini," canda Jordan. Pemuda itu tertawa dan diikuti oleh ketujuh temannya. "Kalian tunggu di sini ya, pesanan kalian akan segera siap." Jordan melangkah lebar menuju meja counter untuk menyerahkan pesanan teman-temannya. Sebelum panggilan Tim menghentikan langkahnya. "Yeah?" Jordan berbalik, kembali menuju meja teman-temannya. "Ada yang ketinggalan? Atau kalian mau menambahkan pesanan?" Tim menggeleng. "Bukan. Kami hanya ingin minta maaf masalah orang tua tadi." Jordan menghela napas. "Tidak apa-apa, aku tak pernah mempermasalahkannya." Jordan tersenyum. "Asal aku masih bisa bermain basket bersama kalian." Jordan terkekeh. "Tentu saja, dude!" sambar Jack. "Always welcome with you, right guys? (Selalu menerimamu, benar, bukan, Teman-teman)?" sambungnya dengan mata terarah pada teman-temannya. "Sure!" ucap mereka serempak. Jordan tertawa riang. Setelah ber-tos dengan teman-temannya Jordan segera meninggalkan mereka. Dia belum menyerahkan kertas berisi pesanan teman-temannya. *** Jordan menguap lebar untuk yang kesekian kali. Pemuda itu memarkir sepedanya di tempat parkir yang disediakan pemilik flat, kemudian segera menaiki tangga menuju flatnya di lantai dua. Ia benar-benar lelah hari ini dan membutuhkan istirahat secepatnya. Saat akan menaiki tangga, Jordan bertemu dengan Catherine. Gadis itu sepertinya baru tiba. "Hai, Cath!" sapa Jordan. "Hai!" balas Catherine ceria. Bertemu Jordan sebelum tidur dianggap bonus oleh Catherine setelah hampir enam jam mereka bersama di tempat kerja. Catherine menghentikan langkah, menunggu Jordan. Kedua remaja itu melangkah bersama menaiki tangga. "Kau baru sampai?" tanya Jordan sedikit bingung. Ia tadi tak melihat Catherine lagi sebelum ia pulang. Sepertinya Catherine pulang lebih dulu. Tapi sekarang mereka sampai berbarengan. Apa mungkin Catherine singgah di tempat lain terlebih dahulu? "Yeah." Catherine mengangguk. Gadis itu terlihat mendongak sesekali untuk melihat Jordan yang jauh lebih tinggi darinya. "Aku kan jalan kaki, makanya sampai bersamaan denganmu." "Owh yeah, kau benar, maafkan aku." Jordan meringis menyadari kesalahannya. "Tidak apa-apa." Catherine tersenyum. Mereka terus mengobrol sampai tiba di depan pintu flat Jordan. "Well, sampai jumpa besok." Catherine melambai kecil, meneruskan langkah menuju flatnya. "Iya." Jordan mengangguk. "Sampai jumpa besok." Jordan memasukkan kunci ke lubangnya, memutar kunci dan memasuki flat ketika pintunya sudah terbuka. Jordan melangkah cepat menuju kamar tidur. Melempar ransel begitu saja ke sofa satu-satunya yang ada di ruangan itu begitu tiba di kamar. Jordan melepaskan kemeja dan kaos beserta celana panjang yang dipakainya. Melempar pakaian-pakaian itu ke keranjang cucian kotor, ia akan mencucinya nanti saat libur. Melenggang ke kamar mandi dengan hanya boxer yang melekat di tubuh berototnya. Sekitar sepuluh menit di kamar mandi, Jordan keluar dengan memakai boxer baru. Ia tak perlu memeriksa ranselnya, tak ada pekerjaan rumah hari ini. Jordan segera menaiki tempat tidur, berbaring dan menarik selimut sebatas d**a. Sedetik memejamkan mata sebelum bunyi ponselnya membuatnya harus membuka mata lagi. Sebuah pesan masuk. Jordan membukanya. Mata birunya membelalak setelah membaca pesan itu. Jordan bangun serentak. Go home soon or I'll catch you up (Pulangkah ke rumah segera atau aku akan menangkapmu)!" Jordan melempar ponsel ke sembarang arah, tak perduli ponsel itu akan rusak nantinya. Bunyi benda berbenturan dengan dinding menyapa telinga Jordan sesaat. Sepertinya ia memerlukan ponsel baru. Padahal ponsel itu baru beberapa minggu yang lalu dibelinya. Jordan mengerang. Sepertinya ia harus siap dengan pengeluaran lebih besar minggu ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN