Addiction: 2

1281 Kata
            Emma kembali memeriksa jam ditangannya, mungkin untuk ke-15 kalinya di sore itu. 16.50, sekarang ia bisa membuktikan dengan bangga kalau bukan hanya kaum hawa saja yang menghabiskan waktu berjam-jam di kamar mandi, tapi juga kaum adam. Siapa lagi kalau bukan Nicholas?             “Apa kau sedang m********i atau melakukan sesuatu apapun di sana?” seru Emma, sambil mengetuk pintu kamar mandi Nicholas dengan tidak sabaran.             “Yeah, aku sedang m********i di dalam sini, dan rasanya sungguh luar biasa!” saut Nicholas dari dalam, berhasil membuat kedua alis Emma bertaut heran.             “Are you f*****g serious?” tanya Emma memastikan.             “Of course not, Dummy.” Nicholas tiba-tiba muncul dari balik pintu yang terbuka tanpa Emma sadari lebih dulu.             Sekarang wanita itu merasa bodoh karena ucapannya sendiri. “Kau terlalu lama di dalam sana, Nic. Kau membuatku berpikir untuk mendobrak pintu itu kalau kau tidak membalas setiap kalimatku.”             Nicholas yang sedang berjalan menuju Frank, pelayan pribadi yang bertugas menyiapkan pakaiannya, menatap sekilas pada Emma sambil mengulum senyum. “Kalau begitu lain kali, aku tidak akan menyahuti semua ocehanmu agar kau masuk ke dalam sana dan—“             “Dan melihatmu telanjang, begitu? Maaf, aku tidak tertarik.” Emma memotong kalimat Nicholas, sambil melempar pandangan ke luar teras kamar pria itu. Ia menghindari menatap Nicholas, karena pria itu entah mengapa mengeluarkan feromon yang luar biasa kuat saat hanya melilitkan handuk di pinggangnya dan bertelanjang d**a dengan tubuh yang setengah basah karena rambutnya belum kering sempurna.             “So, tell me, Em...kau punya tempat rekomendasi yang bagus untuk kita menikmati senja hari ini?”             Emma menoleh, mendapati Nicholas sedang mengancingkan kemeja pendeknya, dan hanya mengenakan boxer brief setelah sebelumnya mengenakan handuk. “Demi Tuhan, kenapa kau tidak memakai celanamu lebih dulu?” Emma menyilangkan tangannya di depan d**a, sambil menggelengkan kepalanya.             “Kau tidak tergoda? Sayang sekali...” Nicholas berbicara dengan nada sedih yang dibuat-buat.             “Tergoda denganmu yang hanya mengenakan celana dalam? Jangan konyol, Nic. Pria bercelana dalam sudah banyak di ekspos di berbagai media, kau hidup di abad moderen,” kata Emma sinis.             Nicholas terkikik. Ia baru saja memasukkan kaki kanan ke celana jeans-nya.             “By the way, Nic... kalau kau bertanya padaku tempat terbaik untuk melihat matahari terbenam, maka jawaban terbaik yang bisa kau dapatkan dari rakyat jelata sepertiku adalah London Eye.”             Nicholas tampak menimang-nimang.             “Hari ini mereka buka sampai jam 21.00, tapi bisa kupastikan kalau tiketnya susah sekali di dapat.”             Nicholas menyunggingkan senyumnya. “Tidak ada yang susah untuk anak presiden Amerika, Emma.” Pria itu mengalihkan pandangannya pada Frank. “Urus semuanya.”             Frank mengangguk kepalanya, kemudian keluar sambil membawa tumpukan baju yang dipakai Nicholas sebelum mandi.             Emma sadar ia membuka mulutnya terlalu lebar, tapi butuh beberapa detik untuk ia bisa merapatkan mulutnya lagi akibat mendengar ucapan Nicholas pada Frank. Tidak, ini bukan pertama kalinya ia mengawal orang-orang kaya yang berkedudukan di masyarakat. Tapi, ini pertama kala ia melihat langsung, bagaimana seorang dari kaum mereka menggunakan kekuasaannya dengan sekali ucap saja.             “Kau serius ingin ke sana? Mungkin kita bisa mencoba tempat lain yang tidak membutuhkan tiket.” Emma berusaha membujuk Nicholas.             “Ada apa denganmu? Bukankah kau yang mengusulkan tempat itu padaku?”             “Yeah, aku tahu. Tapi, mencoba mendapatkan tiket dengan kekuasaanmu menurutku itu agak....” Emma tidak menemukan kata-kata yang tepat, jadi dia mengubah haluan pembicaraan, “bagaimana kalau ke menara Shard?”             Nicholas berdecih. “Tidak. Aku ingin London Eye.”             Emma mendesah. “Nic, apa yang kau lakukan barusan, bisa mengecawakan orang-orang yang harus bersusah payah untuk mendapatkan tiket, kau tahu?” Emma teringat saat sepupunya, Colin, menangis tersedu-sedu hampir seharian lamanya, karena Gracia, Ibunya, yang merupakan Bibinya Emma, gagal mendapatkan tiket masuk London Eye karena seorang putri dari kerajaan di Timur Tengah sana mendadak menyewa beberapa kapsul London Eye untuk private party.             “Di luar dugaan kau memiliki hati yang mulia, Em. Tapi, aku terlanjur berhasrat menaiki London Eye.” Nicholas meloloskan sweter abu-abunya  ke leher, tangan, kemudian perutnya. “Sekarang ayo kita ke bawah. Aku yakin Frank sudah mendapatkan tiketnya untukku.” ***             Emma memasang wajah kesal selama 30 menit ia dan Nicholas, juga rombongan pengawal pria itu menaiki London Eye.             Jadi begitu mereka kembali ke mobil, Nicholas menyodorkan waffle hangat yang digulung lonjong dan menguarkan harum coklat pada Emma. “Kau tahu? Melihat matahari terbenam merupakan hal yang paling kusukai, dan itu menjadi tidak menyenangkan karena seseorang menekuk wajahnya seperti nenek-nenek di pojok kapsul.”             Emma menerima waffle itu dengan gerakan seperti merampas dari tangan Nicholas. “Kalau begitu, maafkan aku,” katanya, sinis. “Tapi, aku sangat membenci orang-orang sepertimu yang gemar menggunakan kekuasaan untuk segala hal.”             “Tidak semuanya, Em. Aku hanya menggunakannya untuk beberapa saja, dan yang barusan adalah yang terkonyol yang kulakukan. Biasanya aku menggunakannya untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat.”             “Itu tidak konyol. Bahkan orang London sendiri akan rela mengantri lama untuk mendapatkan tiket naik London Eye, Colin salah satunya.”             “Dan siapa itu Colin?”             “Sepupuku, dia baru berusia 6 tahun, dan dia belum pernah naik London Eye.”             “Aku percaya alasan dia belum pernah naik London Eye ada hubungannya dengan apa yang baru saja kulakukan sampai-sampai membuatmu berwajah seperti tadi.”             “Kurang lebih.” Emma mengangkat bahunya, kemudian mulai mengunyah waffle di tangannya.             Mobil mulai berjalan, menyusuri jalanan kembali menuju mansion. Sepertinya, mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai mansion kali ini karena jalanan sedikit macet di beberapa titik; itu yang didengar Emma dari alat komunikasi yang terpasang di telinga kirinya.             “Fiuh...kita memiliki waktu yang lama di jalan.” Nicholas meregangkan tangannya ke atas hingga menyentuh langit-langit mobil. “Wafflenya enak?”             Emma mengangguk. “Enak, terima kasih sudah membelikanku ini.”             “Sama-sama.” Nicholas menjulurkan tangannya pada Emma, lalu mengusap bibir wanita itu dengan ibu jarinya. “Kau seperti anak kecil, makanlah dengan benar.” Ia menunjukkan saus coklat dari pinggiran bibir Emma yang kini menempel di ibu jarinya, lalu menjilatnya. “Ini enak, seharusnya aku membeli untukku juga.”             Emma mencebik. “Kau selalu menebari pesonamu di mana-mana.”             Nicholas tertawa. “Aku hanya melakukan apa yang terlintas di benakku.”             “Tanpa berpikir panjang?”             “Aku melakukannya karena itu adalah kau, Em.” Nicholas mengeluarkan cengirannya yang tampak nakal. “Kalau kau hanya wanita biasa, aku tidak akan melakukan itu.”             “Oh, jadi aku bukan sekedar wanita biasa untukmu?” Emma terlihat tertarik dengan pembicaraan mereka, dan Nicholas menangkapnya.             “Sepertinya aku bisa menangkap maksudmu, Emma.” Nicholas menggeser duduknya agar lebih dekat pada wanita yang mulai terlihat sangat percaya diri itu. “Baiklah, aku akan mengatakannya untukmu, tentu saja kau bukan sekedar wanita biasa untukku, kau pelindungku, kau yang menjamin keselamatanku dari ancaman wanita gila itu, setidaknya sampai wanita itu berhasil ditangkap. Aku menggantungkan nyawaku padamu.”             Emma tertawa terbahak-bahak. “Itu terdengar berlebihan, Nicholas.”             “Tapi aku tahu kau ingin mendengarku mengatakan hal itu.”             “Tidak. Aku hanya ingin kau menyadari posisimu di sini, Nic. Kau bergantung padaku, karena itu bersikap baiklah. Aku tidak akan meminta maaf atas sikapku yang terlalu dekat untuk hubungan atasan dan bawahan yang mengikat kita, menurutku aku lebih nyaman bersikap seolah kita adalah teman baik karena kau tahu sendiri, selama 24 jam aku akan berada di dekatmu. Ku harap kau tidak keberatan.”             Nicholas mengedipkan matanya dengan gerakan yang sedikit lambat, kemudian ia menghela napas pendek seiring pergerakan matanya yang terbuka. “Aku tidak keberatan, sama sekali tidak.” Tangannya bergerak, meraih sulur rambut Emma yang tidak masuk ke dalam ikatan rambutnya karena terlalu pendek, lalu menyelipkannya di balik telinga Emma yang tidak mengenakan anting-anting. “But, make sure you won’t falling in love with me, ever.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN