Ejekan Bukan Penghalang Fery untuk Tetap Belajar

1276 Kata
Pagi itu, Fery kembali menapaki jalanan berdebu menuju sekolah. Langkah kakinya ringan meski sepatu yang ia kenakan sudah tipis dan berlubang. Ia berjalan kaki, seperti biasa, menyusuri gang-gang sempit dari rumah kontrakan mereka menuju sekolah dasar negeri di pinggiran kota. Sementara itu, sang ibu, Rista, mengayuh sepeda onthelnya dengan pelan, mengantar Kaila ke sekolah dia berada di bangku kelas 1 SD yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Setibanya di sekolah, Fery melangkah masuk ke dalam kelas. Suasana yang semula riuh mendadak sunyi. Tatapan sinis langsung mengarah padanya—tatapan yang tak asing lagi. Sudah sering ia menjadi bahan olokan. Namun Fery sudah terbiasa. Ia hanya menarik napas pelan dan berjalan ke bangku paling depan tanpa mengucap sepatah kata pun. "Eh, lihat tuh si Fery," bisik Wahyu sambil menutup hidung pura-pura jijik. "Setiap dia datang, kelas ini langsung bau sampah!" ejeknya dengan nada tawa yang sengaja dikeraskan. Rara ikut tertawa dan menimpali, "Ya iyalah, namanya juga anak pemulung. Tidurnya sama tumpukan kardus dan plastik bekas!" Tawa kecil bergema di beberapa sudut kelas. Namun Fery tidak menoleh, tidak bereaksi. Ia hanya membuka bukunya perlahan, membenamkan diri dalam lembar demi lembar catatan pelajaran. Ia tahu, membalas hanya akan membuat keadaan lebih buruk. Tak lama kemudian, pintu kelas terbuka. Seorang guru masuk membawa buku besar di tangannya. "Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kita belajar Matematika," ucapnya hangat. Semua anak diam, kecuali Wahyu yang masih sibuk berbisik. Guru mulai menuliskan soal di papan tulis, dan seperti biasa, Fery yang pertama mengangkat tangan. Meski berasal dari keluarga miskin, Fery dikenal pintar—terutama dalam pelajaran Matematika. Setiap kali ada soal sulit, hampir pasti dialah yang bisa menyelesaikannya. Guru tersenyum padanya. "Silakan, Fery. Maju ke depan." Fery pun bangkit, berjalan pelan ke depan kelas, dan menyelesaikan soal dengan cepat. Langkahnya mungkin pelan, tubuhnya kurus, tapi pikirannya tajam dan semangatnya teguh. Di tengah ejekan dan hinaan, Fery tetap berdiri dengan kepala tegak—membuktikan bahwa nilai seseorang tak ditentukan dari pakaian, bau badan, atau pekerjaan orang tua. Bu Guru tersenyum penuh bangga melihat Fery menyelesaikan soal matematika di papan tulis tanpa satu pun kesalahan. Dengan tulisan rapi dan cara berpikir yang sistematis, Fery menjawab semua soal dengan tenang. Anak-anak lain yang semula menganggap remeh, kini hanya bisa terdiam—meski beberapa di antaranya masih tak mau mengakui kehebatan Fery. Tepuk tangan kecil terdengar dari beberapa siswa yang diam-diam mengagumi kepintaran Fery. Namun tak semua bisa menerima itu. "Alah, dia mah cuma cari muka doang sama bu guru," gumam Wahyu dengan nada dengki. "Iya, sok-sokan pinter. Padahal juga cuma anak pemulung," timpal Rara dengan tawa mengejek yang berusaha ditahan. Namun suara mereka cukup keras untuk terdengar oleh Bu Guru, yang langsung menoleh tajam ke arah keduanya. "Kalian ini ya, kerjaannya cuma mengolok-olok teman. Kalau kalian merasa lebih pintar, silakan maju ke depan dan kerjakan soal yang tadi Fery selesaikan. Kalau tidak bisa, kalian saya hukum berdiri di depan sampai pelajaran selesai!" ucap Bu Guru dengan suara tegas, membuat seisi kelas kembali sunyi. Wahyu dan Rara terdiam. Wajah mereka memerah, bukan karena malu belajar—tapi karena malu telah mempermalukan diri sendiri. "Fery, terima kasih. Jawabanmu benar semua. Silakan kembali ke tempat duduk," kata Bu Guru dengan senyum hangat. "Baik, Bu," jawab Fery sopan sambil menundukkan kepala dan berjalan kembali ke bangkunya. Meskipun dihina, Fery tak pernah membalas. Ia tahu, satu-satunya cara membungkam hinaan adalah dengan membuktikan kemampuan. Dan pagi itu, ia telah melakukannya. Benar saja, Wahyu dan Rara tidak mampu mengerjakan soal yang diberikan Bu Guru. Kening mereka berkerut, tangan gemetar saat memegang kapur, namun hasilnya tetap nihil. Bu Guru hanya menggeleng pelan. "Sudah, kalian duduk kembali. Dan ingat, jangan pernah merendahkan orang lain hanya karena kalian tak mampu menyamai kehebatannya," ucap Bu Guru tegas. Suaranya menggema di seluruh kelas. Malu, Wahyu dan Rara kembali ke bangku mereka. Tapi alih-alih jera, Wahyu justru menatap Fery dengan sorot mata penuh dendam. Tak ada kata-kata yang terucap, tapi tatapan itu cukup tajam untuk menyiratkan niat tak baik. Fery melihatnya sekilas, namun tak menggubris. Ia kembali tenggelam dalam buku pelajaran, mencatat rumus-rumus matematika di buku tulisnya. Ia tahu, hidup tak akan berubah hanya dengan membalas hinaan. Tapi dengan belajar, mungkin ia bisa mengubah nasibnya sendiri. Bel istirahat pun berbunyi. Anak-anak bersorak gembira dan segera berhamburan ke luar kelas menuju kantin. Suara tawa dan langkah kaki ramai memenuhi lorong sekolah. Namun Fery tetap duduk di bangkunya, membuka bekal buku, bukan makanan. Di sakunya hanya ada uang tiga ribu rupiah dari ibunya—uang yang bahkan tak cukup untuk membeli satu kotak nasi. Ia menahan lapar. Sudah terbiasa. Ia memilih menyibukkan diri dengan tugas IPA yang belum selesai, mencoba mengalihkan rasa perih di perutnya dengan deretan kalimat dan soal. Saat itulah Luluk, teman sekelasnya yang dikenal rajin dan cerdas, menghampirinya. Luluk memang sering menjadi pesaing Fery dalam hal rangking kelas, meski tetap berada di posisi kedua. "Kamu enggak ke kantin, Fer?" tanya Luluk sambil membawa kotak makan kecil. Fery mengangkat wajah, sedikit terkejut. "Enggak, aku mau selesain tugas IPA." Luluk menatapnya sejenak, lalu membuka kotak makanannya dan menyodorkan sepotong risoles. "Ini, buat kamu. Aku bawa dua, kok." Fery tersenyum tipis namun menggeleng halus. "Terima kasih ya, Luk. Tapi kamu makan aja, aku enggak lapar kok," ujarnya sopan. Luluk tak memaksa. Ia duduk di bangku sebelah Fery, lalu mulai membuka bukunya sendiri. Mungkin ia mengerti, kadang memberi teman bukan hanya soal makanan, tapi juga tentang menemani diam-diam. Dalam kesunyian itu, dua anak dari dunia berbeda duduk berdampingan—dalam senyap yang penuh makna. Tanpa banyak bicara, mereka sama-sama tahu: hidup bukan tentang siapa yang paling kaya, tapi siapa yang paling kuat bertahan. Saat suasana kelas mulai tenang, tiba-tiba suara langkah kaki kasar terdengar mendekat. Wahyu datang bersama gerombolannya—Adi, Yunus, dan Irul—wajah mereka penuh amarah. Tanpa banyak bicara, Wahyu langsung menghampiri Fery dan dengan kasar menggebrak mejanya hingga buku-buku Fery terlempar jatuh. BRAK! Fery terlonjak kaget, jantungnya berdebar. Ia mendongak, menatap Wahyu yang berdiri di hadapannya dengan mata menyala-nyala. "Kamu udah keterlaluan, Fer!" bentak Wahyu. "Karena kamu, aku dihukum Bu Guru! Ayo, kita selesaikan sekarang! Berani enggak kamu lawan aku?" Fery menarik napas dalam. "Itu salahmu sendiri, bukan salahku," jawabnya tenang, berusaha menahan emosi. "Sekarang tolong, jangan ganggu aku. Aku mau belajar." Tapi Wahyu tidak menggubris. Dengan gerakan kasar, ia merampas buku Fery, lalu melemparkannya ke lantai. Salah satu buku itu robek, sampulnya terlepas dan terinjak kotor. Itulah titik batas kesabaran Fery. Selama ini ia hanya diam saat dihina, diremehkan, bahkan dipanggil anak pemulung. Tapi saat buku miliknya—buku yang ibunya beli dengan susah payah, dari hasil memulung di bawah terik matahari—dilempar dan diinjak, Fery tak bisa lagi tinggal diam. Tanpa pikir panjang, Fery langsung berdiri dan memukul wajah Wahyu dengan keras. BRUK! "Kalian pikir aku diam karena takut?" teriak Fery, matanya berair. "Itu buku ibu aku! Dia kerja siang malam buat beliin itu! Kalian seenaknya lempar, hina, injak!" Pukulan itu membuat Wahyu terjatuh, hidungnya mengeluarkan darah. Tapi gerombolannya langsung bergerak. Adi dan Yunus memegangi tangan Fery dari dua sisi, sementara Irul menghajarnya dari depan. Tubuh kecil Fery tak sebanding dengan kekuatan mereka. Namun Fery bukan anak yang mudah menyerah. Dengan sisa tenaga, ia menendang lutut Adi dan meloloskan diri. Ia melompat ke depan kelas, mengambil sapu kayu yang tergeletak di pojok. Dengan mata penuh amarah dan luka di sudut bibir, ia memutar sapu itu lalu menghantam Yunus dan Irul berturut-turut. BRAK! DUK! Keduanya jatuh tersungkur, mengaduh. Suasana kelas mendadak kacau. Beberapa anak berteriak, beberapa lainnya lari memanggil guru. Napas Fery terengah. Bajunya kusut, wajahnya memar. Tapi sorot matanya tak gentar. Ia berdiri di tengah kelas, memeluk buku sobeknya dengan erat, seolah melindungi harga diri dan kasih sayang ibunya yang tertanam di dalamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN