Mimpi Buruk Berlanjut

1633 Kata
Eva melantai dengan gerakan yang sangat lincah, dia memang suka dunia gemerlap, apalagi mendapat minuman gratis ditambah rekeningnya membuncit karena Manda telah mentransfer sejumlah uang. Manda hanya duduk manis sambil memperhatikan Eva, gadis itu tidak cantik, tapi sangat energik. Manda mulai lelah, dia mengajak Eva pulang. Tanpa membantah Eva setuju untuk menginap dengan Manda. Mereka menuju sebuah rumah dengan halaman yang sangat luas. Di sekelilingnya membentang pagar tembok yang panjang, Eva merinding melihat rumah itu saat mereka memasuki halaman yang sangat luas. Samar-samar Eva mencium bau aneh, tapi dia tidak bisa menjelaskan bau tersebut. Rumah itu cukup mewah dan sangat besar. Hanya saja, aura yang terpancar membuat bulu kuduk Eva meremang. "Ini rumahmu? Kok seram?" Eva tanpa sadar bertanya sambil mengusap kedua lengannya dengan kedua tangannya kiri dan kanan, untuk meredakan rasa merindingnya. "Luarnya iya, agak seram, mungkin karena halamannya terlalu luas." Manda memarkirkan mobilnya masuk ke dalam garasi. Tapi Eva makin merinding saat telah berada di dalam garasi. Bukan karena halaman yang luas. Eva merasakan sesuatu yang lain. Manda turun dari mobil, Eva segera mengikuti manda, perasaannya sangat tidak enak dan ketakutan. Mereka sampai di dalam rumah melalui pintu yang menghubungkan bagian tengah dari rumah tersebut. Ruang tengah itu nyaris kosong, hanya ada satu set kursi sofa yang terletak di tengah-tengah ruangan. Eva semakin heran. "Rumah ini selalu kosong ya?" Kalimat Eva menggema di ruangan yang luas itu. Manda hanya mengiyakan, sementara Eva tidak berani bicara apa-apa lagi di ruang tengah itu. Dia hanya mengekor Manda dengan tergesa-gesa dan jantungnya berdebar-debar. Mereka telah sampai ke sebuah pintu yang merupakan kamar yang akan dipakai oleh Manda bersama Eva. Untuk sampai di sana, mereka harus menyeberangi ruangan tengah. Eva menoleh ke belakangnya, ingin melihat seberapa jauh mereka telah berjalan dari garasi menuju kamar itu. Tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan yang melesat cepat melewatinya. Hawa dingin terasa menyapu tubuhnya. Eva berteriak tanpa sadar, menempelkan punggungnya pada pintu yang sedang di buka kuncinya oleh Manda. "Kamu penakut amat sih, Di sini tidak ada apa-apa. Masuk." Manda mendorong Eva masuk ke dalam kamar yang gelap. Tidak lama ruangan menjadi terang benderang setelah Manda memencet sebuah tombol di dinding. Pintu ditutup dan dikunci kembali. Eva mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kamar itu. Perabotannya sudah tua semua, namun tertata dengan rapi, hanya saja banyak debu di mana-mana. Manda mengambil satu set bed cover dari dalam lemari, lalu memasangkanya di kasur. Sementara Eva masih terpaku di tempat dia berdiri. "Kamu tidak mau ke kamar mandi? Ganti baju? Ambillah baju tidur di lemari yang itu." Manda mengarahkan telunjuknya ke lemari di sebelah kanannya. Eva melangkah menuju lemari yang di tunjuk oleh Manda, dia memilih satu stel baju tidur yang celana panjang berbahan halus dan dingin. Dia kembali terpaku, tidak berani ke kamar mandi sendirian. "Ke kamar mandinya bareng kamu aja ya Manda?" Eva masih syok karena melihat bayangan yang melintas tadi di depan pintu kamar. "Ya." Manda menyahut pendek. Eva menunggu Manda selesai mengganti sprei. Ruang kamar itu tidak semenakutkan ruangan tengah tadi, meskipun seluruh perabotan di kamar itu umurnya sudah puluhan tahun. "Ayo ...." Manda ingin segera membasuh diri. Mereka menuju kamar mandi berbarengan. Kamar mandi itu seperti kamar mandi jaman dulu, dingin dan kaku. Di situ, Eva kembali merasakan sesuatu yang sulit dia jabarkan. Rumah itu hanya terlihat mewah bagian luarnya saja. Dalamnya sangat kuno menurut Eva. Eva membasuh diri cepat-cepat. Manda terus memandanginya sambil menggosok gigi dan mencuci muka. Dia cukup heran dengan penakutnya Eva. Setelah selesai dengan urusannya di kamar mandi, mereka keluar kamar mandi pun kembali berbarengan. Keduanya merebahkan diri di atas bantal masing-masing, Eva menarik selimut, sementara Manda masih menatap langit-langit kamar. "Eva, aku butuh pelepasan. Kamu tolong jilatin aku?" Manda menoleh menatap Eva yang tidak mengerti. "Maksudmu?" Tanya Eva. "Ini." Manda menunjuk ke bagian bawah tubuhnya. Seketika Eva memekik kecil. "Ha? Mana bisa aku begitu? Kenapa kamu gak booking cowo aja sih tadi? Aku gak mau ah ... hiii ...." Eva bergidik antara geli dan jijik. "Coba dulu." Tangan Manda meraih kepala Eva. Eva berontak sekuat tenaga. Dia benar-benar menolak. Manda merasa kecewa dan sangat kesal. Tapi tetap dia mencoba membujuk Eva. "Aku tambahin uangnya sepuluh juta lagi." Manda memulai negosiasi. "Tidak mau, please. Aku gak bisa." Ujar Eva sambil meringis. "Jangan sampai aku paksa loh Eva." Manda meraih lengan Eva yang langsung berdiri untuk menghindar. Kesabaran Manda habis sudah. Dia ikut berdiri turun dari kasur. Manda berjongkok meraih sesuatu dari kolong sebelah pinggir. Dia mengambil sebuah tongkat kayu sepanjang satu meter, lalu mengayunkan kayu tersebut ke arah Eva yang langsung terjerembab ke lantai sambil mengaduh kesakitan. Tanpa ampun, Manda terus memukulkan kayu tersebut ke tubuh Eva sampai kulitnya pecah-pecah dan darah menyemprot sana sini. Eva tidak sadarkan diri. Manda menyeret tubuh Eva pada bagian lenganya, memutari kasur dan membuka kunci sebuah pintu, lalu menekuk tubuh Eva, di dorongnya melalui pintu itu. Terdengar suara benda berat menggelinding ke bawah sesekali terdengar pula tubuh terantuk sisi kiri kanan tangga. Eva dibuang begitu saja ke dalam ruang bawah tanah yang gelap, lembab dan samar-samar tercium bau bangkai. Setelah menutup kembali pintu dan menguncinya. Manda menepis sesuatu yang terasa kotor dari telapak tangannya. Dia akan mengurus Eva pagi harinya. Sekarang dia hanya ingin tidur karena capek. Tapi sebelumnya, dia harus membersihkan darah Eva yang bercecer di lantai. .◇◇◇ Isabel terbangun dari mimpinya lewat tengah malam hari itu. Membuat Viona ikut terbangun karena kaget ada pergerakan tiba-tiba di sampingnya. "Ibel, kamu mimpi buruk lagi?" Viona bertanya sambil meraih kepala Isabel, menariknya ke dalam pelukannya. "Ada apa sayang?" Viona ingin tahu. "Mami yang satunya, jahat." Isabel merengut. Viona tidak mengerti maksud Isabel dengan 'Mami yang satunya lagi' Dia bertanya. "Mamimu kan cuma Miranda, maksud kamu, maminya satu lagi itu siapa?" Viona heran. Setahunya, Miranda tidak menikah, sementara Isabel adalah anak yang lahir di luar pernikahan. "Mamiku ada dua. Satu namanya Miranda, dia sangat baik. Satunya lagi namanya Manda, dia jahat." Sahut Isabel menjelaskan. Viona semakin kebingungan. "Manda ini tinggalnya sama mamimu?" Tanya Viona yang tidak pernah tahu masalah ini. "Iya, Manda itu ya mami." Tandas Isabel. Viona terpana. "Miranda seorang lesbian? Pantas saja dia mengirim anaknya ke Jepang." Pikir Viona. "Kamu mimpi apa sih? Kok mimpi buruk terus?" Viona merebahkan Isabel pelan-pelan. "Manda itu memukul orang trus menguncinya di ruang gelap. Sekarang dia masih hidup. Tapi ... Mungkin dia meninggal sebentar lagi." Isabel mengatakannya dengan nada datar. Seolah itu hal yang biasa. Viona bergidik ngeri dengan pemikiran Isabel yang masih kanak-kanak itu. Terutama, Isabel mengatakannya dengan tanpa ekspresi untuk menceritakan sesuatu yang mengerikan. "Ssstt ... jangan bicara yang aneh-aneh Ibel ... tidak ada yang seperti itu. Bobo lagi yuk masih malam ini." Viona membetulkan selimut Isabel. Viona merasakan kesulitan yang di alami oleh Miranda, Permasalahan itu menjadi rumit karena keanehan yang di derita oleh Isabel. Dia menarik nafas panjang. Sementara dia sendiri mempunyai masalah berat karena secara tiba-tiba harus menjalani hidup sendiri tanpa Arata. Viona dan Isabel masih berada di Tokyo, karena Hatsuka meminta Isabel untuk kembali melakukan pemeriksaan keesokan harinya setelah dia membatalkan sesi sore. Paginya, Viona mengajak Isabel untuk sarapan dalam perjalanan menuju tempat praktek Dr. Hatsuka. Seseorang memanggil Viona saat mereka tengah menikmati sarapan. "Viona?" Seorang wanita semampai menghampiri mereka. "Gladys?" Viona berdiri saat mengenali siapa yang memanggilnya. Gladys teman kuliahnya dulu adalah anak orang kaya yang sangat royal kepada teman-temannya. "Siapa ini, anakmu?" Gladys menatap Isabel sambil tersenyum. Mereka berpelukan. Bertahun-tahun tidak bertemu, tidak membuat mereka menjadi canggung satu sama lain. bagaimana pun mereka adalah teman dekat. "Kenalkan, keponakanku, Isabel." Viona memperkenalkan keduanya. "Isabel, ini temen dekat tante waktu kuliah dulu. Tante Gladys." Isabel tersenyum dan bersalaman. Pelayan datang menghampiri Gladys membawa bungkusan makanan yang di pesannya. "Viona, aku harus pergi buru-buru. Sebenarnya kebetulan aku ketemu kamu. kalau kamu tidak bekerja, tolong kontak aku, aku butuh orang di sini untuk mengelola butikku. Telepon aku ya, please." Gladys menyerahkan kartu namanya. "Ok, I will contact you." Sahut Viona cepat, tidak ingin membuat Gladys terlambat. "See You Vio, see you Isabel." Gladys berlalu dengan terburu-buru. Viona merasa surprised, dia kelihatan senang bertemu teman lamanya di kota asing ini. Apalagi, Gladys menawarkan sebuah pekerjaan sebagai pengelola di butiknya. Isabel melanjutkan makannya dan dia ikut senang, akhirnya Viona mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang besar, walaupun belum ada informasi apa-apa, tapi Isabel mengetahuinya. Viona memasukkan kartu nama itu ke dompetnya, sebelumnya dia sempat mancatatkan nomor telepon Gladys ke telepon genggamnya. "Ayo, Ibel, kita berangkat, takut telat." Ajak Viona. Tepat pukul delapan pagi ketika mereka sampai di tempat praktek Dr. Hatsuka. Isabel telah di tunggu. Dia persilakan langsung ke ruang Hatsuka untuk menjalani sesi kedua. Viona mengirim pesan singkat kepada Miranda, "Hubungi aku, penting." Viona tidak berani langsung telepon karena di sana masih pukul enam pagi. Tiga puluh menit kemudian, telepon genggam Viona berdering. Tertulis; Miranda. Viona segera mengangkat telepon. "Halo Mira?" "Ya." Suara di ujung telepon terdengar. "Ini masalah Isabel, Mira. Semalam dia mimpi buruk lagi, mengatakan sesuatu mengenai Manda. Manda itu siapa?" Tanya Viona. Hening sesaat di seberang sana. "Apa katanya?" Nada suaranya terdengar asing di telinga Viona. "Katanya dia mimpi melihat Manda memukuli orang, orangnya di masukin ke ruangan gelap dan akan meninggal." Jawab Viona. "Dia mengatakan kalau Manda itu ibunya satu lagi. Mira, apa kamu berhubungan dengan seseorang bernama Manda?" Lanjut Viona. Kembali hening, kali ini Viona merasa heran. "Kalian sekarang di mana?" Suara dengan nada asing itu bertanya. "Kami di Tokyo sedang berobat ke Dr. Hatsuka. Dia Psikiatri terkenal di sini." Jawab Viona. "Ya, tunggu di sana. Aku akan ambil penerbangan hari ini." Telepon di matikan. "Tapi, tunggu ... halo ... halo, halo?" Viona merutuk. "Kebiasaan." Gumamnya sambil menekan tombol untuk menelepon balik. Namun telepon tidak bisa di hubungi. "Habis batterei kayanya." Kembali Viona bergumam. Viona Termenung. Merasa tidak mengerti sesungguhnya mengenai kondisi yang meliputi Miranda dan Isabel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN