Chapter 4

1054 Kata
   Tak dapat dipungkiri jika seharian ini Arslan terus saja memikirkan wanita yang dilihatnya siang tadi. Sumpah, wanita itu sangat cantik. Namun ada satu yang membuat Arslan bingung. "Dia sangat cantik, tapi..." "Siapa yang sangat cantik hem? Dan ini perlu disampaikan kepada bibi Aretha, jika putranya ini baru saja memuji seorang wanita." celetuk Stevano, membuat Arslan langsung menatapnya dengan tatapan mengajak ribut. "Ck, pergi sana kau, jangan disini. Kau tahu aku tadi bertemu wanita cantik, tapi gara-gara map mu yang tertinggal di resepsionis membuat aku kehilangan jejak wanita itu." gerutu Arslan meluapkan kekesalannya. Sedangkan Stevano yang mendengar, langsung terkekeh sangat keras. "Oh ya? Berarti kau belum beruntung dude, hahahaha." Arslan memutar bola matanya jengah, ia sungguh kesal dengan Stevano. Tapi, entah kenapa juga ia kesal hanya karena kehilangan jejak wanita itu, ini bukan seperti Arslan Aderxio saja. Dimana Arslan yang cuek dengan para wanita? Dimana Asrlan yang masa bodoh? Oh damn, wanita itu berhasil mengendalikan pikiran seorang Arslan. "Tapi, tumben kau begitu tertarik dengan wanita? Secantik apa dia di matamu?" tanya Stevano mencoba serius. Arslan menoleh menatap wajah Stevano yang sudah mulai serius, "Cantik, dia sangat cantik. Tapi, bukan cantiknya itu yang membuat aku tertarik, tapi apa yang aku lihat di wajahnya." "Maksud mu? Dan apa yang kau lihat di wajahnya?" "Kau tahu wa--" "Ya jelas aku tidak tahu, kan kau belum bilang bodoh." potong Stevano cepat. Dan hal itu membuat kepala Stevano mendapat timpukan tangan dari Arslan. "Lain kali kalau aku bicara jangan pernah memotongnya." "Hahaha iya, iya. Omong-omong kau lihat apa di wajahnya?" "Wajahnya terdapat luka. Sudut bibirnya berdarah dan sepertinya pipi nya memerah. Meskipun dari jauh aku melihatnya, aku yakin jika benar ada luka di wajahnya." "Terus?" "Terus, aku sampai sekarang kepikiran wanita itu terus. Besok, antar aku berkeliling Santorini, siapa tahu aku kembali bertemu dengan dia." ucap Arslan mantap. "Ha--" "Jangan menolak!" °•°•°•°•°•° Tak pernah terpikirkan oleh Rexia, untuk mencintai pria lain. Baginya, Robert adalah cinta sejatinya dan akan kembali padanya suatu saat nanti. Rexia bukanlah wanita yang mudah mencintai, dia adalah orang yang keras serta jarang berdekatan dengan para pria. Dia juga tak mudah terbawa perasaan. Tapi, sekarang ada seorang pria yang sudah menempati hati Rexia, yaitu Robert. Bagi Rexia, sifat Robert saat ini hanyalah sifat sementara, Rexia yakin Robert akan menjadi seperti Robert yang pertama kali di kenalnya. "Sudah lah Rexia sayang. Sudah berapa kali mommy bilang, Robert itu tak akan pernah berubah. Stop mencintai dia." nasihat Fawnia untuk sekian kalinya. Tapi, Rexia terdiam tak menjawab. Wanita cantik itu malah merebahkan dirinya dirajang dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. "Rexia, sampai kapan kau berharap Robert akan kembali pada mu? Sampai kapan?" Diam Hening, tapi selanjutnya terdengar isakan kecil dari balik selimut. Fawnia yang mendengarnya hanya menghela nafas panjang. Ya beginilah jika Rexia bertemu kembali dengan Robert. Setahun lamanya di Santorini ternyata tak membuat Rexia berhenti mencintai Robert. Malah sekarang, cinta nya semakin bertambah kala pertemuannya tadi siang. Fawnia terkadang bingung dengan pola pikir Rexia. Bagaimana bisa wanita itu tetap mencintai pria yang sudah memukulinya. Tidak ada otaknya. "Mommy kembali ke kamar. Jika kau memerlukan sesuatu, panggil mommy." Setelah mengatakan itu, Fawnia keluar dari kamar Rexia dan memasuki kamarnya. Ia cukup lelah untuk memberitahu dan memberi pengertian Rexia. Andai saja, dia yang di masa lalu datang, pasti tidak akan sesulit ini. "Andai kau yang menasehati nya, aku jamin dia akan mengerti." monolog Fawnia. °•°•°•°•°•° "Iya bibi, aku tidak bohong. Putra mu itu memuji seorang wanita, katanya sangat cantik. Katanya juga besok aku harus menemaninya keliling Santorini agar bertemu wanita itu. Dan kau tahu bibi? Dia ingin menjadikannya kekasihnya." ucap Stevano pada seseorang di sebrang telfon. Tentunya itu adalah Aretha--ibu Arslan. Dan untuk kalimat yang terakhir, jelas Stevano mengarang. "Ah kau serius? Putra ku itu memuji seorang wanita? Ya Tuhan aku kira dia sudah tidak tertarik dengan kaum hawa. Ternyata, putra ku masih normal." pekik Aretha. "Hahahah bibi, putra workaholic mu itu memuji wanita. Itu langkah bibi, bahkan bisa jadi yang pertama." "No, no, no. Bukan yang pertama, dia juga pernah memuji sahabatnya cantik." "Oh ya? Waw, berarti ini pujian keduanya untuk wanita?" "Sepertinya tepat." bukan suara Aretha lagi, namun suara bariton seorang pria, siapa lagi jika bukan tuan besar--David Aderxio. "Hai paman, apa kabar?" "Kabar baik nak, dimana sekarang Arslan?" "Biasa lah paman, dia sedang memadu kasih dengan laptop dan tumpukan berkas." "Hahahah kau ini, bisa berikan ponsel nya ke dia? Paman ingin bicara dengan dia." "Oh baiklah paman." Stevano segara masuk kedalam hotel dan langsung menyerahkan ponselnya pada Arslan. "Ayah mu." ucap Stevano memberitahu. "Iya ayah, kenapa menelfon di ponsel Stevano?" tanya Arslan dengan menjauhi Stevano. Jika ayahnya ingin bicara, itu pasti pembicaraan serius. Terdengar helaan nafas panjang dari sebrang sana, bahkan suara Aretha sudah tidak terdengar lagi. "Setelah kau pulang dari Santorini, datang lah ke mansion. Nasehati adik mu yang satu itu, jika tidak seharusnya dia memiliki perasaan dengan Ayesha. Bagimanapun juga mereka saudara satu ibu." Hah, topik pembicaraan ini lagi. Sudah cukup muak Arslan mengenai topik ini. Ingin rasanya ia menyadarkan sang adik dengan k*******n, tapi apa daya David selalu melarangnya. "Ayah, sudah pernah aku bilang bukan sebelumnya. Dia itu sulit di beri pengertian, dia keras kepala. Jika ingin dia sadar, pakailah cara kekerasan." "Tidak, k*******n tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada hanya menambah masalah, lagi pula kau itu yang tertua, wajibnya memberi nasihat dengan cara yang bijak." "Apa yang sudah dia lakukan kepada Ayesha, selama aku pergi?" "Mencium, iya hanya mencium. Semalam, lebih tepatnya tengah malam Ayesha menggedor pintu kamar ayah, dan langsung berhambur ke pelukan ayah. Dia menangis, tentu itu membuat mama mu khawatir, dan langsung memaksa Ayesha bercerita. Setelah bercerita, mama mu marah. Dan tanpa ayah bisa cegah dia keluar menuju kamar adik mu. Ayah berusaha mengejar, tapi terlambat. Mama mu sudah menampar dia dua kali." "Oh s**t. Dasar b******n k*****t, bisa-bisanya dia mencium Ayesha." umpat Arslan. "Lalu apa lagi yang dilakukannya?" "Kau tahu apa yang dilakukan pasangan sebelum b******a? Itu juga dilakukan adik mu kepada Ayesha." Hening, Arslan tidak bersuara. Ia sibuk mengontrol emosinya. "Mama mu tidak tahu soal itu karena ayah sendiri yang memergokinya." "Apa aku pulang saja sekarang ini?" "Tidak, nikmati masa liburan mu. Ayah akan selalu mengawasi adik mu. Sudah ya, ayah masih banyak pekerjaan. Bye." Sambungan telfon terputus, membuat Arslan menggeram marah. Ia sudah tidak mentoleransi perbuatan adiknya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN