2 (Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad)

1824 Kata
Aku berjalan menuju kamar Mas Zaidan yang terletak di lantai dua. Rumah ini mempunyai empat kamar tidur dengan ukuran yang cukup luas. Dua kamar terletak di lantai atas dan dua kamar terletak di lantai bawah. Dua kamar di atas adalah kamar Qia dan Mas Zaidan. Si kecil Attar masih tidur bersama Mas Zaidan. Sedangkan dua kamar di bawah digunakan untuk ruang kerja Mas Zaidan dan kamar tamu. Ketika aku membuka kamar Mas Zaidan aku melihat desain interior yang begitu elegan dengan dominan warna hijau tua. Tentu saja desainnya elegan, mengingat Mas Zaidan adalah seorang arsitek sekaligus desain interior, benar-benar hebat suamiku itu. Ia memang lulusan teknik sipil tapi ia juga memiliki keterampilan untuk mendesain dalam bangunannya menurut info yang kudapat dari Pak Raihan. Dia tidak hanya bisa membangun sebuah bangunan, tapi juga bisa mendesain dengan bagus isi bangunannya. Eh, bolehkah aku menganggap dia suamiku sekarang? Kamar ini memiliki sebuah tempat tidur king size, tempat tidur boks bayi, sebuah lemari, meja rias, sofa dan juga kamar mandi dalam. Diatas kepala ranjang  masih terpajang foto pernikahan Mas Zaidan dengan Mbak Risa. Senyum kedua pengantin itu terlihat sangat bahagia dan siapa pun yang melihatnya pasti bisa berkata bahwa dua sejoli itu saling mencintai. Ah, saat mereka tertawa karena bisa bersama, saat yang sama pula aku sedang meratapi kesedihanku. Ah sudahlah Ela, lupakan hal itu! Itu hanya masa lalu menyakitkan yang tidak perlu kamu ingat lagi! Batinku mengingatkan. Selain itu, juga terdapat beberapa foto kebersamaan mereka dengan Qia, terlihat sangat natural dan bahagia. Apa aku bisa menjadi bagian dari keluarga ini? Aku hanya bisa mendesah pelan, lalu  melangkahkan kaki menuju boks bayi. Attar tidur didalam boks bayi yang berwarna putih itu, sangat menggemaskan khas bayi. Awalnya aku ingin menggendongnya. Namun aku khawatir sentuhanku akan membangunkannya, maka aku urungkan niatku itu. Aku hanya mengelus pipi gembulnya dan berdoa semoga anak ini bisa menerimaku sebagai mamanya. Aamiin. Aku pun langsung membuka koper dan membuka lemari dengan pelan berusaha untuk tidak berisik, takut mengganggu tidur Attar.  Tunggu dulu. Lemari ini penuh. Masih ada baju-baju almarhummah Mbak Risa disini. Lalu di mana aku harus menyimpan baju-bajuku ini? Aku berpikir sambil menggaruk kepalaku yang masih tertutup hijab. Ketika sedang bingung memikirkan solusinya, pintu kamar terbuka, aku pun menoleh. Ternyata Mas Zaidan yang masuk. Aku pun membuka obrolan untuk menghilangkan kecanggungan ini. “Qia sudah tidur, Mas?” tanyaku hati-hati. “Sudah,” jawabnya singkat lalu duduk di sofa kamar. “Ingat ya La, kamu jangan memaksakan diri dengan anak-anak. Kalo memang mereka tidak mau memanggil kamu mama, biarkan saja. Toh kamu hanya mama pengganti bagi mereka.” Deg! Ucapan Mas Zaidan bagaikan pedang yang menghujam tajam ke arah hati. Perih. Ya memang benar aku mama pengganti mereka. Tapi, apa tidak ada kemungkinankah sedikit pun mereka akan menyayangiku dengan tulus seperti menyayangi mama kandungnya sendiri? “Baik, Mas,” ucapku sambil tersenyum getir. “Oh iya saya lupa ngasih tau kamu ... “ Aku yang tadinya menatap ke arah lain memberanikan diri untuk menatap wajah tampannya. “Apa, Mas?” tanyaku penasaran. Mas Zaidan bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arahku, lalu berkata, “ ... tolong jangan ubah apapun letak yang ada di kamar atau rumah ini. Ini semua saya desain atas kemauan Risa. Baju-baju kamu bisa taruh di lemari kamar tamu aja. Jangan sentuh barang Risa sedikitpun ya, Ela,” ujar Mas Zaidan memperingatkan. “Tapi Mas, kalo bajuku disimpan di kamar tamu nanti aku kesulitan bolak-balik naik turun untuk mengambil bajuku.” “Terserah itu bukan urusan saya. Atau kalau ingin tetap simpan di koper juga gak masalah,” ujar Zaidan sambil berlalu dari hadapanku menuju lemari. Ia mengambil baju bersih dan melangkah menuju kamar mandi. Tak lama terdengar suara gemericik air. Ya Allah, aku harus gimana? Aku pun melihat kembali isi lemari. Ternyata masih bisa untuk menyimpan beberapa baju rumahan. Baju-baju yang tidak sering aku pakai akan aku simpan di kamar bawah saja. Setelah menyimpan baju di kamar bawah, aku pun kembali ke kamar dan mendapati Mas Zaidan telah tidur di kasur. Aku pun bergegas untuk mandi dan sholat, setelah itu aku mencium Attar dan bergabung dengan Mas Zaidan di tempat tidur. Sebelum tidur aku sempat menatap punggungnya. Dulu, aku memimpikan bisa menikah dengan orang yang kucintai dan juga mencintaiku. Kami bisa mengadakan resepsi sederhana dan kami bisa melaksanakan shalat sunah dua rakaat sebagai pengantin baru. Tetapi, mimpiku itu tidak terwujud. Aku dan Mas Zaidan tidak saling mencintai.  Tadinya jika ia belum tidur aku ingin mengajaknya salat sunnah dua raka'at. Ah, sudahlah. Akhirnya aku membaringkan tubuhku tepat di sebelahnya dan mulai memejamkan mata. Kami tidur dalam posisi saling memunggungi. === Lima belas menit sebelum adzan subuh berkumandang, aku telah terbangun. Refleks, aku menuju boks bayi melihat si kecil Attar, tidurnya masih pulas. Malam pun dia tidak terbangun menangis. Anak yang pintar, pikirku. Aku bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu dan memakai mukena. Setelah itu aku membangunkan Mas Zaidan. “Mas ayo bangun, sudah mau subuh,” ucapku sambil menyentuh pundaknya. “Engggghh ... jam berapa sekarang?” tanyanya sambil menggeliatkan tubuhnya dan menguap. “Jam setengah lima, sepuluh menit lagi subuh. Mas mau sholat di rumah atau di mesjid?” tanyaku. “Saya salat di mesjid saja,” ujarnya dingin lalu bergegas masuk ke kamar mandi. Aku segera menuju lemari untuk mencari sebuah baju koko dan kain sarung untuk dikenakannya. Setelah aku menemukannya, aku menyimpannya di atas ranjang lalu aku duduk di atas sajadah, beristighfar sambil menunggu azan subuh. Begitu adzan subuh berkumandang aku pun segera menunaikan shalat subuh dan tak lupa berdoa agar Allah mau membukakan hati suami dan anak-anakku juga berdoa untuk keberkahan rumah tanggaku dunia akhirat. Aamiin. Beres sholat aku merapikan tempat tidur, lalu mendapati si kecil Attar menangis. Aku pun langsung menggendongnya. Sepertinya Attar haus, karena popoknya masih kering. “Cup ... cup ... cup, Sayang, anak mama jangan nangis. Haus ya? Attar haus? Kita bikin s**u dulu ya di dapur,” ucapku berbicara pada Attar seakan-akan bayi berumur enam bulan itu mengerti ucapanku. Aku pun menuju dapur untuk membuatkan s**u. Saat tiba di dapur, aku menemukan sudah ada Bi Marni yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan. “Assalamu’alaikum, Bi,” ucapku sambil tersenyum. “Wa’alaikumussalam, eh Ibu. Den Attar nangis ya? Ini saya baru mau ke atas ngasih botol s**u. Kebiasaan Den Attar memang begitu Bu, setiap bangun pagi pasti langsung nyari s**u,” jelas Bi Marni sambil menunjukkan botol s**u Attar yang masih ia kocok. “Oh gitu Bi, sini biar saya yang kasih susunya,” ucapku sambil meraih botol s**u dari Bi Marni. Tak lama tangis Attar pun reda. Benar rupanya bayi ini kehausan. Ia menyedot botol s**u dengan kuat, membuat pipinya yang gembil jadi terlihat lucu dan menggemaskan. “Duh, anak mama haus, iya, Nak? Kasihan, mimi yang banyak ya, Sayang,” ucapku menatap Attar sambil memegangi botol susunya. Bayi itu tersenyum masiih sambil menghisap dot. “Oh iya Bu, kenalkan ini Bi Eti yang bantu masak sama beberes rumah. Kalo Bi Eti pulang pergi Bu, karena rumahnya ada di kampung belakang komplek ini,” ujar Bi Marni. “Oh iya, salam kenal, Bi,” ucapku sambil tersenyum. Ketika kami sedang berbincang di meja makan, Mas Zaidan pulang dari masjid. Ia menyapa kami sebentar dan langsung naik ke kamar atas membangunkan Qia. Aku pun langsung menuju ke atas sambil menggendong Attar. Aku kembali meletakkan Attar di boks, kemudian menyiapkan pakaian kerja untuk Mas Zaidan. Semoga ia mau memakainya. Aku pun memutuskan untuk mengelap badan Attar, mengganti popok dan bajunya. Tadi, Bi Marni sudah memberitahu beberapa kegiatan rutin yang dijalankan oleh keluarga ini setiap harinya. Aku pun tersenyum senang sambil mencium Attar yang wangi khas bayi, minyak telon bercampur bedak. Tak lama Mas Zaidan masuk ke kamar. “Mas, aku mau ke bawah sarapan ya sama Attar. Pakaian kerjanya udah aku siapin.” “Hmm.” Ia hanya menjawab dengan gumaman. Sebelum turun ke meja makan. Aku mendatangi kamar Qia. Namun kamar itu sudah kosong. Anak itu sudah di meja makan sepertinya. Aku langsung menuruni anak tangga sambil menggendong Attar. Tepat sekali seperti dugaanku, gadis kecil itu sedang sarapan sereal gandum cokelat ditemani Bi Marni. “Assalamu’alaikum Qia,” ucapku sambil menarik kursi di sebelahnya untuk tempatku duduk. Namun ia hanya diam, asyik dengan sarapannya dan tidak menjawab salamku. “Eh non Qia, dijawab dong salam ibunya. Dosa loh gak jawab salam,” ujar Bi Marni. “Waalaikumussalam,” ucapnya ketus. Aku pun hanya bisa tersenyum miris melihat tingkah lakunya. Aku berusaha tak memasukkan perlakuan Qia dalam hati, namanya juga masih anak-anak. Aku pikir, Qia masih harus beradaptasi dengan kehilangan mamanya, lalu tiba-tiiba aku datang di kehidupannya menggantikan peran Mbak Risa sebagai mamanya. Aku paham. Mungkin Qia butuh waktu untuk menerima ini semua. Aku pun segera menyuapi Attar dengan pure yang sudah disiapkan. Tak lama kemudian, Mas Zaidan menghampiri kami ke meja makan. Aku kecewa melihat pakiannya, berbeda dengan yang sudah aku siapkan tadi. Ah, yasudahlah. Mungkin saat ini hanya Attar yang bisa menerimaku. Itu pun karena dia masih bayi dan belum mengerti apa-apa. Apa kalo dia sudah sebesar kakaknya akan juga menerimaku? Entahlah. Selesai sarapan, Mas Zaidan mengantar Qia ke sekolah. Aku meminta tangannya sebagai tanda baktiku sebagai istri. Untung saja ia tidak menolak, aku pun mencium tangannya dengan takzim, kedua kali setelah akad nikah. “Ayo Qia salam dulu sama Tante Ela.”ucap Mas Zaidan. “Gak mau, Yah.” “Eh, anak ayah yang cantik gak boleh gitu, Sayang. Ayo cepat salam dulu.” Dengan terpaksa Qia menuruti perintah ayahnya. Aku pun dengan senang hati menyambut tangan Qia sambil tersenyum senang. “Hati-hati ya di sekolah. Belajar yang rajin ya, Sayang,” ucapku sambil mengelus kepalanya. Akhirnya mereka berdua pun masuk mobil dan pergi meninggalkan rumah. Ya Allah,kuatkan aku meski mendapat banyak penolakan dari ayah dan anak itu. === Aku sedang melipat baju-baju Attar yang sudah diangkat oleh Bi Marni dari jemuran. Tadinya Bi Marni melarangku karena ini pekerjaannya. Tetapi aku terus memaksanya hingga akhirnya ia pun mengalah. Sekarang aku sedang melipat baju Attar di atas ranjang bersama dengan Attar yang sedang memainkan mainannya. Tiba-tiba teerdengar dering suara ponselku. Aku tersenyum melihat siapa yang menelepon. Tante Hani. “Assalamu’alaikum,” sapaku. “Wa’alaikumussalam, Ela gimana kabar kamu, Nak?” tanya Tante Hani. “Alhamdulillah baik, Tante. Tante baik juga kan?” “Iya, alhamdulillah tante juga baik. Eh, kamu lagi apa, La?” “Oh, aku lagi nemenin Attar main, Tante sambil lipetin bajunya,” ucapku sambil melirik ke arah Attar. “Wah, lagi main sama Attar ya. Ah tante tutup dulu ya, biar ganti jadi video call.” Tante Hani menutup panggilannya dan tak lama video call dari beliau pun masuk. “Eh, mana coba, tante mau lihat cucu tante dong, Ela.” “Iya sebentar, Tante.” Aku mengarahkan ponselku pada Attar. “Attar, Sayang. Lihat itu ada nenek, Nak.” Attar pun hanya berceloteh khas bayi sambil tersenyum. Meski begitu Tante Hani heboh sendiri melihat bayi gembul Attar. Tante Hani terlihat  sangat antusias dan menyayangi Attar meski bayi ini bukan cucu kandungnya. Setelah puas melihat Attar, Tante Hani kembali berbicara denganku. “Zaidan dan Qia bagaimana Ela? Apa mereka bersikap baik sama kamu?” Terlihat seraut kekhawatiran di wajah Tante Hani. Aku memasang senyum termanis, tidak ingin membuat  beliau khawatir dengan keadaanku sekarang. “Alhamdulillah baik, Tante. Cuma si sulung Qia masih butuh waktu aja untuk nerima aku. Gak apa-apa lah, Tante gak perlu khawatirin Ela. Insya Allah nanti Qia juga akan terbiasa dengan kehadiran Ela di rumah ini.” “Hmm ... begitu. Baiklah, tapi, kamu kalau ada masalah cerita ya ke om dan tante, jangan dipendam sendiri.” “Iya, Tante. Tante tenang aja.” “Ya sudah, tante tutup ya. Wassalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Ya Allah maafkan aku yang telah berbohong pada Tante Hani. Aku hanya tidak ingin mereka tambah mengkhawatirkanku. Sudah terlalu banyak aku membuat mereka khawatir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN