Kening Rick masih berkerut memandangi halaman pertama buku- buku yang bertebaran di depan matanya. Ia masih menimbang- nimbang apakah akan bertanya langsung pada Algie atau tidak. Banyak yang belum ia mengerti, dan tuntutan si Miss Brain juga perlu ia lakukan.
Penyelesaian misi.
Pintu ruang pustaka yang berkeriet berat membuat Rick menengadah. Algie baru saja memasuki ruangan itu, membuat Rick –entah kenapa –sumringah.
“Oh, kau!” seru Rick senang. “Aku baru saja hendak menanyakan—“
Namun Algie mengabaikan pertanyaan itu. Ia berjalan cepat ke arah Rick dengan wajah tanpa ekspresi. Barulah ketika pria pirang berkacamata itu berjarak tiga meter darinya, Rick menyadari bahwa Algie menyembunyikan sesuatu di belakang punggung.
“Ada apa Algie?”
Si pirang tidak menyahut melainkan terus berjalan cepat ke arah Rick Baker. Tepat ketika si pirang itu mendekat, Rick merasakan perutnya yang terisi penuh oleh makan malam dihantam secara hebat oleh sesuatu. Ia terbungkuk.
“Aaakhhh!”
Rick benar- benar ingin muntah. Kepalanya pusing sedikit, dan matanya hanya dapat memandang Algie –penuh pertanyaan. Namun sebelum mampu menyeimbangkan tubuhnya kembali, Rick melihat ke arah perutnya.
Sebuah pisau baru saja dihujámkan oleh Algie.
Tapi aneh. Pisau itu seakan menumpul dan tak mampu menembus kulit perutnya. Bahkan kulit arinya pun tak terkelupas sedikitpun.
“Wah, wah, wah,” ujar Algie dengan nada angkuhnya yang jelas- jelas terpesona. Ia menarik pisau itu, membuat Rick yang terbungkuk mampu menegakkan tubuhnya kembali. Namun tetap saja hantaman pisau itu membuat perut Rick ngilu saat ia berdiri tegak.
“Ternyata memang benar,” sambung si pirang, “Kau memang tahan tusukan, Leonard.”
Apa?
Mata Rick membulat. Jadi pemuda pirang yang sombong ini hanya datang ke ruang pustaka untuk mengetes ketahanan tubuhnya?
Dalam keheranan yang belum selesai, Rick memperhatikan Algie yang mematut- matut pisaunya tadi. Pisau dapur itu mengilap memantulkan cahaya lampu. Algie menyentuhkan tangan pada ujungnya.
“Ah!” erang Algie. Ia mengumpat- umpat.
Telunjuknya berdarah.
“Kau— kau tidak apa- apa?” Rick bertanya dengan bingung. Ia ingin marah pada si pirang berkacamata itu karena dengan sengaja menusuknya hanya demi mengetahui apakah yang telah ia katakan adalah kebohongan atau tidak, tapi bagaimanapun ia cemas juga melihat telunjuk Algie menitikkan darah yang cukup banyak ke lantai.
“Tidak usah mencemaskanku,” Algie mengibas- ngibas telunjuk itu –seakan dengan mengibasnya maka darah itu berhenti mengalir. “Aku tak bisa mempercayai perkataanmu tanpa mencari tahu kebenarannya, bukan? Nah, sekarang kau kuterima untuk menjadi partner kerjasama. Kau sedang belajar? Bagus. Teruskan. Aku akan mengecekmu setiap beberapa kali.”
Algie berbalik, membiarkan Rick dalam kebingungan.
“Tapi—“ seru Rick keras- keras saat si pirang sudah mendekati pintu, “Apakah kau tahu nama Toronto?”
Algie memutar tubuhnya, mengernyitkan alis.
Rick berkata lagi, “Kau sudah membaca semua bukumu, bukan? Kau pasti ingat Toronto itu apa!”
Keangkuhan yang datar kembali menyelimuti wajah Algie. “Memangnya itu apa?”
“Itu nama kota!” teriak Rick tak percaya. Ia berjalan ke arah Algie sambil membawa salah satu dari banyak buku yang bertebaran tadi.
“Ini!” tunjuk Rick pada buku yang halaman pertamanya bertuliskan ‘Toronto, 1997’.
“Ini ada di buku- bukumu. Bagaimana kau bisa lupa?”
Rupanya pertanyaan Rick yang penuh desakan membuat Algie mendengus kesal.
“Memangnya kenapa bila di seluruh bukuku tertulis ‘Toronto’? Apakah itu semua berguna bagiku?”
“Eh—“
“Itulah yang membuat otakmu semakin lamban, Rick. Kau memasukkan hal- hal yang tak berguna ke dalam kepalamu. Bukannya isi buku itu, namun kau malah meributkan nama- nama aneh di sana.”
“Tapi bagaimana dengan Singapore? New York?” protes Rick putus asa. “Apa kau tak pernah ingin tahu nama kota di manakah itu?”
“Tidak,” sahut Algie tanpa basa- basi. “Kalau kau masih punya pertanyaan lain, aku akan ada di sini menunggunya. Asalkan pertanyaanmu cukup cerdas di telingaku dan layak kujawab.”
Rick tertegun. Ia seharusnya sudah menyadari sejak awal, bahwa Algie bukanlah orang yang ramah dan mudah diajak berteman. Rick juga belum yakin dengan maksud kerjasama yang dikatakan si pirang itu.
Tapi aneh, perasaan itu tak pernah benar- benar membuat gentar. Malah sebaliknya.
“Ada pertanyaan atau tidak??” bentak Algie. Suara kerasnya menggema ke sudut- sudut ruang pustaka.
“Oh? Maaf! Ya, aku masih ingin menanyaimu beberapa hal,” tukas Rick cepat- cepat. “Berapa lama kau menguasai semua buku di sini?”
“Empat bulan,” Algie menyahut. “Tapi untuk kapasitas belajarmu, kau akan butuh dua tahun.”
“Dua tahun?” ulang Rick terkejut. “Tapi itu lama sekali! Bahkan empat bulan saja sudah sangat lama!”
Kening si pirang berkacamata mengernyit. “Memangnya kenapa? Empat bulan adalah waktu tercepat yang bisa dilakukan orang jenius. Seperti aku.”
“Kau kira aku ingin terperangkap di sini selama empat bulan? Atau bahkan dua tahun?”
“Terperangkap?” ulang Algie hati- hati. “Bisa kau jelaskan apa maksudmu dengan kata ‘terperangkap’, Leonard Baker?”
Rick menggeleng cepat. Ia tidak seharusnya membocorkan apa yang terjadi padanya pada si pirang licin ini.
“Tidak, bukan apa- apa. Bisa aku menanyakan hal yang lain?”
“Say it.”
“Sebenarnya, siapa musuh yang paling ditakuti oleh Red Seal saat ini?”
Bibir Algie melengkung, mencemooh. “Bukankah aku sudah bilang padamu bahwa Red Seal hanya memiliki saingan- saingan kecil? Red Seal adalah satu- satunya organisasi terkuat di sini, dan bahkan seganas apapun Five Mercury, Matteo sang pemilik belum bisa mencengkeram seluruh The Misk dengan tangannya.” Algie tersenyum menyeringai, “Tangannya masih terlalu lemah dibandingkan Don. Tapi kurasa dalam waktu dekat ini kita akan dapat melihat, siapa yang paling bernafsú mengalahkan d******i Don Boschzitto di The Misk.”
Rick berpikir keras seraya memandang lantai, sebelum mengajukan pertanyaan lain.
“Lalu sebenarnya, organisasi macam apa Red Seal itu? Bergerak di bidang apa?”
Sekali lagi Algie mendengus. Ia mendorong kacamatanya ke puncak batang hidung dengan tangan kanan yang masih memegang pisau.
“Kau akan segera tahu. Baiklah, aku akan pergi dulu. Sebaiknya kau bawa buku- buku di atas meja itu ke kamarmu. Pelajari di sana. Aku akan meminta pelayanku untuk membersihkan tetesan darah dari lukaku. Tak akan nyaman bila kau belajar di ruangan berceceran darah seperti lokasi pembunúhan.”
“Kau mau kemana?”
“Menemui B-125, tentu saja,” Algie menyahut dengan nada ironis. “Kau masih ingat, bukan, bahwa aku harus melaporkan tentang keberadaanmu di sini? Kuharap aku bisa menemuinya secara langsung –bukan melalui asisten. Sebab kehadiranmu secara mendadak di sini adalah sesuatu yang sangat…” Algie berhenti sejenak sambil menilai Rick dari ujung rambut hingga ujung kaki, “…asing dan serius.”
Jantung Rick berdentum lebih keras. Sebuah naluri mengatakan bahwa nyawanya bisa terancam kapanpun.
“Kau mengatakan kalau kau akan mempertahankan keberadaanku di sini?”
Si pirang berkamacata mengangkat bahu. “Ya, akan kucoba. Kita lihat saja nanti.”
Kini ia benar- benar berbalik, meninggalkan Rick dengan perasaan kosong yang aneh.
Kemana permainan ini akan membawanya pergi?
***
Bangunan- bangunan tinggi yang lusuh itu dibangun bersisian di pinggir jalan raya yang ramai dan terang –membentuk gang- gang sempit di antaranya. Semua gang itu saling berhubungan satu sama lain di sepanjang blok itu –sebagian berujung di jalan raya, sebagian lainnya berakhir di pintu- pintu rumah. Tak banyak yang melewati gang sempit itu.
Selain orang yang berkepentingan belaka.
Sesosok manusia dengan pakaian yang nyata bersihnya tiba- tiba muncul di salah satu mulut gang, lalu berbelok ke gang lain yang tampak seperti labirin. Ia menaikkan kacamatanya sesekali dengan telunjuk kiri yang sudah diperban. Langkah- langkah kakinya yang tenang tanpa kehilangan arah membawanya berbelok beberapa kali –melintasi comberan kumuh –sebelum akhirnya berhenti di salah satu pintu berpemberat besi.
Algernon mengetukkan pemberat besi itu beberapa kali.
Dalam dua detik bersih, pintu itu dibukakan oleh seorang pelayan berjas lengkap. Ia merentangkan lengan –mengisyaratkan agar Algie segera masuk –sebab si pelayan sudah sangat mengenali tamu itu. Algie melenggang santai ke dalam ruang tamu dan mendudukkan bokongnya, sementara si pelayan tadi menutup dan mengunci pintu, lalu masuk ke dalam untuk memanggilkan si pemilik rumah.
Hanya butuh waktu satu menit hingga seseorang berkemeja putih gading yang necis muncul dari dalam rumah.
“Oh, sahabat mudaku!” seru pria itu pada Algie, seraya merentangkan lengannya sebagaimana sambutan si pelayan tadi. “Apa kabarmu?”
Algie menepis sambutan itu hanya dengan menganggukkan kepala acuh tak acuh. Ia bahkan tak berniat untuk berdiri sama sekali dari sofa.
“Aku tak pernah ingin bertemu denganmu, Gross. Mana B-125?”
Gross lalu bergerak luwes menyisir rambut pirangnya –untuk menutupi sambutan tak berbalas tadi. Dan gerakan mendadak itu sama sekali tak terlihat ganjil. Melainkan anggun.
“Kau ingin sekali bertemu dengannya. Kenapa?”
“Karena dia pemilik rumah ini dan dialah yang inign kujumpai. Bukan asistennya, “Algie menjawab dingin.
Gross ikut duduk di sofa, berhadap- hadapan dengan Algie. Ia memandang penuh kegelian pada pemuda pirang di depannya –seakan Algernon adalah bayi besar berkepala batu yang sedang merajuk.
“Tapi, sebagaimana biasa, kau dapat menyampaikan semua urusanmu padaku. Itulah gunanya asisten, Nak.”
“Kau jangan bertingkah seakan- akan aku ini bocah ingusan.”
“Bagiku, ya,” Gross bersandar di sofa sembari menyilangkan tangan. “Kau tidak terlihat seperti pemuda, meskipun aku hanya beberapa tahun lebih tua darimu.”
Algie sama sekali tidak ambil pusing dengan kritikan itu. “Mana B-125?”
Begitu pertanyaan itu diulang lagi di telinganya, Gross hanya terkekeh. “Kau tahu ‘kan, Nak, bahwa tidak semua orang yang menemui beliau?”
“Ya,” sahut Algie. “Dan aku tahu betul bahwa yang akan kusampaikan akan sangat menarik bagi B-125. Dan katakan pula padanya, bila ia tak ingin mengambil resiko, ia sebaiknya mendengarkan ini langsung dari mulutku.”
“Resiko apa?”
Algie dan Gross terkejut.
Dua kata barusan bukanlah respon Gross, melainkan dari suara tenang dan dalam yang berjalan menuju ruang tamu.