A Guy Named Algernon

1739 Kata
Rick sama sekali tidak berharap dia akan menangkap seruan ‘Jumanji!’ begitu mendengar dentuman musik yang memekakkan telinga itu, tapi yang dirasakannya sekarang juga sama sekali bukan yang ia harapkan. Tiba- tiba ia bisa merasakan perubahan suhu yang sangat cepat di sekitar tubuhnya –dari suhu rumah sakit yang agak dingin dan kering menjadi panas membakar, lalu beralih ke sedingin es. Ia berada dalam kegelapan sesaat sebelum akhirnya ada sesuatu yang memukul kepalanya dari belakang. Dan untuk kedua kalinya dalam dua hari ini, ia kembali pingsan. Begitu ia siuman, Rick memperhatikan sekitarnya sesaat. Dimana? Dia berusaha kembali mengumpulkan ingatannya bahwa ia seharusnya ada di atas kasur tidurnya yang empuk di rumah sakit. Tapi bagaimana bisa ia kini berada di ruangan asing? Apa ini memang ada hubungannya dengan game yang ia mainkan barusan? Rick mencubit lengannya. Ia mengerang sakit. Dia bingung apakah kini ia benar- benar berada di tempat lain atau tidak. Tapi ia ingat perkataan Danish, bahwa sensor permainan itu dibuat sepeka mungkin sehingga ia merasa seakan berada di dunia nyata. Bukan seperti virtual reality biasa. Rick berdiri mengamat- amati. Ruangan itu disesaki rak berjejer setinggi loteng, sarat dengan buku- buku berdebu. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah meja yang sangat besar dan panjang, dan di salah satu sudut yang tidak ditutupi rak, ada sebentuk pintu terbuka yang terbuat dari kayu berat berukir halus. Rick berniat mendekati pintu itu, namun sebelum ia melangkah, seseorang sudah masuk ke ruangan melalui pintu. Seorang pria pirang berkacamata, yang menunduk mengamati kertas- kertas yang berada di tangannya tanpa menyadari bahwa ada seseorang yang lain di ruangannya itu. Pria pirang itu duduk di salah satu kursi di meja besar, dan begitu Rick menggeser keluar kursi lainnya, barulah pria itu tersadar. “Hei!” teriaknya dengan mata melotot marah, “Siapa kau?” “Eh… aku, aku…” “Pergi, kubilang!” Rick berusaha berpikir cepat. Tapi dia harus memastikan beberapa hal dulu. “Dimana aku sekarang? Apa ini masih dekat rumah sakit kota? Atau aku dalam permainan? Apa kau salah satu karakternya?” Pertanyaan bertubi- tubi itu jelas membuat pria itu kesal. Wajah putihnya memerah, seperti baru saja terbakar sinar matahari. Giginya bergemeletuk jengkel karena ada orang asing yang mengganggu ketenangannya. “Omong kosong apa ini? Apa yang kau bicarakan?” “Tidak, aku tidak… jawab dulu pert—“ Pria pirang itu enggan mendengarkan. Ia cepat- cepat berdiri dan mengangkat kursi yang baru didudukinya, mengarahkannya pada Rick. “Pergi kau! Atau kau akan kulempar dengan kursi ini!” Rick terkejut. Pria pirang itu memang gempal dan lebih berotot, jika dibandingkan dirinya yang kerempeng. Tapi bagaimana mungkin dia akan dipukuli dengan kursi hanya karena berada di ruangan itu? “Tunggu, tunggu dulu! Aku ke sini bukan untuk merampok, atau mencuri apapun darimu! Aku bukan penjahat!” “Penjahat?” ulang pria pirang itu sembari tersenyum menyeringai. “Apa yang kau tahu tentang penjahat?” Rick menggeleng. “Aku tersesat!” teriaknya. “Sungguh! Aku hanya berniat memainkan sebuah game dan memilih Red Seal, tapi tahu- tahu aku berada di sini!” Si pirang itu mengernyit mendengar penjelasan Rick yang terdengar aneh baginya, tapi ada dua kata yang ia tangkap. Seketika amarahnya menurun. “Kau bilang tadi … Red Seal?” “Ya,” sahut Rick. Ia menangkap perubahan emosi itu. Setidaknya si pirang di depannya mau mendengar terlebih dahulu. Ia menurunkan kursi itu lagi ke lantai dan mendudukinya, berpikir. “Apa kau tahu banyak tentang … nama itu?” tanya Rick mencoba- coba. “Kukira itu sebuah organisasi?” “Memang,” sahut si pirang. “Aku bekerjasama dengan mereka.” “B-bekerjasama?” ulang Rick. Matanya melotot begitu mendengar fakta ini. “Kau juga, ‘kan?” tanya si pirang. “Duduklah.” Rick segera mengambil tempat di seberang si pria. Namun ketika ia baru duduk, tiba- tiba ia dikejutkan sebuah suara wanita yang dalam dan tenang dari dalam kepalanya –persis seperti suara wanita yang sering memberi pengumuman di bandara- bandara. Rick spontan terlompat. “Ada apa?” tanya pria itu mengernyitkan kening. “Ada sesuatu di kursi?” “Oh, bukan apa- apa,” kata Rick kembali duduk. Ia baru sadar bahwa suara wanita barusan hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri, dan tidak oleh si pirang. Suara yang baru saja mengatakan : “Manfaatkan kesempatan kerjasamanya itu untuk menyelesaikan level ini.” “Baiklah,” lanjut si pirang itu dengan datar, “Kita belum pernah mengenal satu sama lain, dan kukira kita perlu saling kenal. Aku biasa dipanggil Algernon, atau Algie. Aku menyarankan agar kau memanggilku Algie saja, supaya lebih akrab.” Rick tersenyum dengan pikiran masih pada suara wanita tadi, walau Algie sama sekali tidak membalas senyumnya. “Aku… Leonard Baker, dan kau juga bisa memanggilku Leonard.” Rick sengaja menyamarkan nama depannya, sebab ia belum bisa menduga apa yang akan terjadi. Algie memandang Rick lekat- lekat. Wajahnya mengesankan rasa curiga. “Baker? Aku belum pernah mendengar nama keluarga semisal itu di kota ini.” “Benarkah?” seru Rick. “Kurasa nama keluargaku cukup umum, sama halnya dengan namaku sendiri dan namamu.” “Umum bagimu, tapi tidak di kota ini,” ujar Algie lagi bersikeras. “’Kan sudah kubilang tadi. Sepertinya kau bukan orang asli sini. Kau datang dari jauh?” Rick terheran- heran. “Dari jauh bagaimana maksudmu?” Algie mendecakkan lidah. “Kau sepertinya pemikir lambat, ya? Atau kau memang bukan dari kota ini?” “Tentu saja aku dari kota ini,” protes Rick. “Aku lahir dan dibesarkan di sini.” Algie memiringkan kepalanya dengan angkuh. “Kalau begitu kenapa kau selalu bertanya seakan- akan tak tahu apa- apa begitu? Apa buktinya kalau kau memang dari The Misk?” “Tentu saja aku punya! Aku memang lahir dan di …. Tunggu. Dimana katamu tadi? The… Must?” “The Misk,” Algie membetulkan. “Astaga, Leonard, aku baru saja berpikir kita bisa saling bertukar informasi untuk membantu Red Seal, tapi kau kelihatannya seperti bukan penduduk sini sama sekali. Aku harus membawamu pada B-125.” Rick memucat. Apa itu artinya ia akan kalah di permainan ini? “Apa? B-125? Apa itu?” Algie tidak menjawab, namun berputar  mengelilingi meja dan berjalan mendekati Rick. Sementara Rick masih bingung dengan apa yang harus ia lakukan, ia kembali mendengar suara wanita di dalam kepalanya. “Kau adalah pemeran utama. Kelebihanmu adalah: tahan tembakan dan tusukan, tidak dapat lelah dan tidak butuh tidur. Namun sayangnya, kau sangat lemah dengan darah. Kau melihat darah dan mulai merasa pusing, artinya kau game over.” Rick agak jengkel dengan suara yang tiba- tiba itu, tetapi dia lega begitu mengetahui bahwa suara itu merupakan petunjuk awal yang diinstruksikan oleh game yang ia mainkan. Dan suara itu juga memberinya ide, begitu melihat Algie terus mendekat dan mulai mencengkeram lengannya dengan kuat. “Bawa saja aku pada B-125 atau apalah itu,” teriak Rick. “Tapi asal kau tahu saja, aku memiliki beberapa hal yang tidak dimiliki siapapun di sini, baik itu kau atau orang lain.” Seketika Algie berhenti. “Aku yakin kau hanya mengecohku.” “Mengecoh?” ulang Rick dengan gaya meyakinkan, “Kau sama sekali belum mengenalku, ‘kan? Kau hanya tahu namaku dan begitupula aku. Jadi tuduhanmu barusan sama sekali tidak bisa kau buktikan.” Perlahan, Algie mengendorkan pegangannya, mempertimbangkan. Sepertinya penjelasan Rick barusan bisa diterima kepalanya. “Kelebihan apa yang kau punya?” Rick tersenyum menyeringai, persis meniru lagak Algie tadi. “Aku tak akan pernah memberitahumu atau pun mau bekerjasama denganmu sampai kau menceritakan tentang The Misk dan Red Seal padaku. Selengkap- lengkapnya.” *** Danish Durrant baru saja menghenyakkan punggungnya di sofa. Tangannya mengganti- ganti saluran tivi di ruang keluarga yang berperabotan berlebihan itu. Tak ada siaran yang cukup menarik, sehingga ia bertahan pada berita politik yang membosankan. Tiba- tiba ponselnya berdering. Danish segera mengambilnya, dan melihat nama ‘Daphne Faltzog’ di situ. “Halo Miss Faltzog?” “Selamat siang, Mr. Durrant. Maaf saya tiba- tiba menghubungi Anda, tapi sejak tadi saya berusaha menghubungi kakek Anda namun beliau tidak mengangkat telepon,” kata wanita itu dengan nada bersalah. “Tak apa. Ada masalah, Miss Faltzog?” “Masalah penting dan mendesak, Mr. Durrant, “ kata wanita itu lagi. Sekarang jelas terdengar kecemasan dalam suaranya. “Jika Anda bisa, maukah Anda datang ke laboratorium hari ini?” “Tentu, tentu saja. Tapi ini berkaitan dengan apa?” “Prototipe gawai yang baru Anda bawa pulang hari ini, Mr. Durrant. Anda belum menggunakannya, saya harap?” Jantung Danish berhenti berdetak semili detik. Pikirannya langsung melayang pada sahabatnya, Rick. “Kenapa? Ada apa dengan gawai itu?” Sesaat Daphne Faltzog diam. “Anda harus ke sini secepatnya, Mr. Durrant. Ini sangat mendesak, tapi saya juga tidak bisa menceritakan semuanya lewat telepon. Bahaya disadap.” “Baiklah, baiklah,” Danish mengiyakan dengan tergesa- gesa. Tanpa menunggu, ia langsung bersiap- siap dan bergegas menuju mobilnya. Hanya butuh waktu kurang dari setengah jam bagi Danish untuk memacu mobilnya agar sampai di lokasi. Danish memarkir mobil dengan sigap, lalu buru- buru keluar. Di depannya terdapat gedung raksasa dengan arsitektur post-modern. Gedung milik kakeknya itu terpisah dari keramaian kota, dengan halaman sangat luas membentang. Di dinding luarnya terdapat huruf besar- besar bertuliskan ‘Durrant Technology’. Di depan pintu, Miss Faltzog sudah menunggunya. “Mr. Durrant!” serunya tanpa ekspresi. “Jelaskan apa yang terjadi!” “Saya akan menceritakannya sepanjang perjalanan kita menuju lab,” kata Daphne Faltzog. Ia memberi isyarat pada Danish, dan Danish mengikutinya. “Anda tentu sudah tahu bahwa kakek Anda membuat sebuah proyek permainan yang melebihi virtual reality sebagai proyek sampingan?” “Ya,” sahut Danish. “Dan saya sudah membawa prototipenya hari ini. Ada apa?” Daphne Faltzog mengabaikan pertanyaan itu. Ia masih berjalan cepat, memimpin Danish di belakangnya. “Jadi?” tanya Danish tidak sabar. “Berikan aku garis besarnya.” Daphne Faltzog masih berjalan cepat dan tidak menoleh pada Danish. Danish Durrant mengira gadis itu telah menghinanya untuk kedua kali dengan mengabaikan kata- katanya, tapi sebelum kemarahannya muncul, gadis itu pun berbalik menghadap Danish. “Kita sudah sampai di lab, Mr. Danish Durrant. Tapi tentu saja saya akan menjawab pertanyaan Anda dulu, sekaligus memberi garis besarnya. Ada hal yang sama sekali tidak pernah kami prediksikan terjadi pada gawai itu, dan itu murni bukan kesalahan. Ada seseorang yang mengganti sistemnya dan menggabungkan beberapa hal sehingga kemungkinan ada dimensi lain yang masuk ke situ.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN