BAB 2 – Belum Memudar

1818 Kata
Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Sore ini, sinar jingga memancar dengan begitu indahnya. Aulia Azzahra, yang sudah mengukir banyak prestasi, kembali duduk termenung di taman belakang rumahnya. Ya, bagian belakang rumah Soni, sudah di sulap oleh pria itu menjadi taman yang sangat cantik dan asri. Beberapa buah-buahan dengan pohon yang tidak terlalu tinggi, tumbuh di sana. Jeruk dan Mangga mulai berbuah ranum. “Aulia, ada apa, Nak? Tumben Aulia termenung di sini?” Azizah yang merupakan ibu sambung Aulia, menghampiri gadis itu. “Entah mengapa, Aulia tiba-tiba sangat merindukan mama. Aulia merasakan jika mama tengah berbahagia saat ini, Bu.” Netra itu kembali berpaling ke arah sinar Jingga, setelah Aulia menatap ibunya. “Aamiin ... percayalah, Sayang. Mama Aulia juga pasti tengah merindukan Aulia.” “Bu, enam tahun itu lama ya? Aulia sudah tidak sabar menunggu enam tahun lagi. Aulia ingin segera menyusul mama ke Bandung.” “Sabar, Sayang ... ibu percaya jika Aulia adalah anak yang kuat. Enam tahun itu tidak akan terasa lama jika Aulia melaluinya dengan ikhlas. Percayalah, Sayang ... suatu saat nanti, Allah pasti akan mempertemukan Aulia dengan mama.” “Iya ... Aulia percaya dengan itu. Enam tahun lagi, tabungan Aulia akan sangat banyak. Aulia akan beli tiket pesawat itu sendiri, hehehe.” “Semangat ya Sayang ... ibu hanya bisa bantu doa. Semoga semua yang Aulia cita-citakan tercapai segera.” Azizah mengecup lembut puncak kepala putri sambungnya. Mereka bersama-bersama menikmati senja, hingga jingga itu menghilang dan berganti dengan awan hitam. - - - - - Di tempat yang berbeda, seorang wanita juga tengah menatap jingga yang sama. Di balik kaca tebal kamar mewahnya, Andhini menatap pantulan sinar jingga yang menerpa kaca dan kolam renang yang ada di bagian luar kamar itu. Ia tercenung, seakan juga merasakan sepasang mata yang lain juga tengah menatap jingga yang sama. “Sayang ....” Reinald seketika mendekap tubuh langsing istrinya dengan hangat dari belakang. “Mas ....” Andhini berbalik, “Aku merindukan Aulia.” Reinald mengusap pelan wajah Andhini seraya menyelipkan rambut samping Andhini ke balik telinga, “Mas juga merindukan Aulia, Sayang ... tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa sebab kita sama sekali tidak tahu keberadaan mereka di mana?” Andhini memeluk suaminya dengan sangat erat. Tidak ada tempat ternyaman bagi wanita itu selain pelukan suaminya. Reinald selalu menguatkannya, Reinald selalu memberikan rasa aman dan nyaman kepada Andhini. “Kita jalan-jalan yuks ....” Reinald tiba-tiba melepaskan rangkulan itu. “Jalan-jalan ke mana? Hanya berdua?” “Hhmm ... mas mau ajak Dhini ke suatu tempat yang indah. Semoga saja wajah muram ini bisa berubah menjadi sumringah kembali.” Reinald mencubit hidung bangir milik istrinya. “Jangan-jangan ke kafe yang redup-redup waktu itu lagi ya? Aku nggak mau!” Andhini kembali membenamkan wajahnya dalam d**a bidang Reinald. “Memangnya kenapa, Sayang ... bukankah tempat itu menyenangkan?” Kali ini, Reinald tidak ingin melepaskan pelukan itu, ia hanya membelai kepala Andhini dengan sayang. “Menyenangkan apanya? Aku tidak mau ke sana.” “Hehehe ... iya, baiklah. Mas tidak akan membawa Andhini ke sana. Mas mau membawa Andhini ke suatu tempat yang lebih indah lagi.” “Memangnya ada lagi tempat terindah yang aku tidak ketahui di Bandung ini?” “Tentu saja ada.” “Di mana?” “Di sini ....” Reinald seketika mengangkat tubuh Andhini dan membawa tubuh itu ke atas ranjang. Sesampainya di atas ranjang, Reinald mengecup lembut bibir istrinya. “Bukankah ini tempat terindah bagi kita?” Reinald membisikkan kalimat itu pelan, tepat di depan daun telinga Andhini. “Mas ....” Andhini mulai memicingkan matanya, berharap Reinald akan meneruskan kecupan yang tadi sempat terhenti. Baru saja bibir mereka bertemu, Reinald malah menggelitik bagian pinggang istrinya. Andhini seketika tergelak sekaligus kesal. “Mas Rei ....” Andhini menghujani pria itu dengan pukulan bantal secara bertubi-tubi. “Ampun, Sayang ... ampun ....” Andhini kembali bisa tersenyum bahagia. Reinald Anggara, cinta pertama Andhini yang bisa ia rengkuh di usia yang sudah tidak lagi muda. - - - Meja makan persegi berbahan kayu jati asli, sudah di duduki oleh anggota keluarga itu. Asri dan Andre duduk bersebelahan. Jihan yang masih setia menjadi pengasuh Andre, duduk di sebelah Andre. Bi Titin duduk di bagian ujung. Wanita senja yang sudah mengabdi selama puluhan tahun di keluarga Reinald, kini tidak perlu lagi mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Wanita senja itu sudah dianggap Reinald orang tuanya sendiri. Bi Titin tinggal menikmati masa senjanya dengan damai di rumah mewah milik Andhini dan Reinald. Beberapa menu sudah terhidang. Andhini  sendiri yang memasak semua masakan itu untuk suami dan keluarganya. “Waw ... rendang ini mama juga yang masak?” Asri segera menyambar satu potong daging rendang dan memasukkannya ke dalam piringnya. “Kalau yang itu, tante Haniva yang membuatnya. Mama masih belum bisa masak rendang khas Sumatera Barat, gini.” “Bikinnya lama ya ma, berjam-jam. Udah kayak bikin dodol aja, hehehe.” “Iya, Sayang. Bikin rendang itu memang lama. Ya sudah, Asri makan dulu ya ... nanti kita lanjutkan mengobrolnya.” Asri mengangguk, gadis itu melanjutkan makan malamnya dengan nikmat. - - - - - Minggu yang cerah, secerah hati Andhini yang selalu mendapatkan cinta dan kasih dari orang-orang terdekatnya. “Sayang ... pagi ini mas mau memeriksa kondisi restoran kita. Manajer sudah mengangkat beberapa koki dan karyawan baru. Jadi ini pertama kalinya mas mengadakan briefing untuk mereka semua. Kamu mau ikut?” “Aku juga rencana mau mengontrol butik, Mas. Semalam, Asri katanya minta ikut. Putri kita itu sepertinya mulai menunjukkan bakat terpendamnya. Ia menyukai dunia fashion dan desain.” “Oiya? Baguslah ... dukung terus bakatnya, Sayang ... kapan perlu aku akan sekolahkan ia nanti ke Paris, agar ia menjadi desainer ternama.” “Jangan, ah!” Andhini mencebik seraya melingkarkan ke dua lengannya di leher Reinald. “Memangnya kenapa, Sayang?” “Aku tidak ingin anak-anak kita sekolah sejauh itu. Kamu tahu, Mas. Sakit sekali rasanya berpisah jauh dari orang tersayang. Aku masih belum bisa menerima kepergian Aulia.” “Tapi inikan beda, Sayang ... Asri ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Kita masih bisa menghubunginya setiap saat. Kita juga bisa mengunjunginya.” “Tetap saja, itu jauh, aku tidak mau!” “Ya sudah, terserah kamu saja. Mas tidak suka melihat wajah cantik ini tiba-tiba menjadi cemberut. Mas harus berangkat ke restoran sekarang. Nanti sekitar jam sepuluh pagi, ada investor yang ingin bertemu. Mas  berencana ingin membuka cabang baru.” Reinald melepaskan tangan Andhini dari lehernya. “Kamu memang hebat dalam berbisnis, Mas. Aku salut.” “Kamu juga, Sayang ... kamu yang lebih hebat. Tidak hanya hebat berbisnis, tapi juga pintar masak, dan pintar melayani suami.” Reinald seketika menyambar bibir istrinya. Mengecupnya sesaat lalu pergi dari hadapan Andhini seraya tersenyum. Andhini memegang bibirnya yang terasa manis setelah dikecup lembut oleh suaminya. “Aku mencintaimu, Mas,” gumam Andhini, pelan. Baru saja Reinald hendak melangkah ke luar rumah, Andre seketika mengejarnya. “Papa ....” Andre memeluk erat kaki kanan Reinald. “Hei, jagoan papa. Sudah bangun sepagi ini?” Reinald langsung menggendong putra kesayangannya. “Ae cudah (Andre sudah) mandi ... tuch wangi’kan? Papa mau kemana?” “Papa mau kerja, mau memeriksa restoran kita. Papa rencananya mau bikin restoran baru untuk Andre, hehehe.” Reinald menciumi pipi gembul Andre. “Ae itut?” “Jangan, Sayang ... Insyaa Allah nanti kalau urusan papa cepat selesai, papa akan bawa Andre, mama dan kak Asri jalan-jalan, bagaimana?” “Papa janji ya?” Bocah dua setengah tahun itu memberikan kelingking kanannya. “Iya, papa janji.” “Tulun ....” Andre minta turun dari gendongan Reinald. Reinald menurunkan putranya. Mereka pun akhirnya berpisah setelah Reinald memainkan puncak hidung bangirnya ke puncak hidung Andre. Mereka benar-benar sangat mirip. Netra sedikit sipit, kulit putih bersih dengan wajah oriental khas asia. Alis tebal yang sudah diukir alami dan sempurna oleh sang pencipta. Hidung mancung dan bibir merah merekah. Mereka berdua lebih mirip artis Thailand dari pada Indonesia. Reinald dengan gagah, mulai masuk ke dalam mobil pajero sport berwarna putih, miliknya. Pria itu mengendarai mobilnya sendiri. Mobil Reinald yang berkilauan, mulai meninggalkan pekarangan rumahnya menuju “G Resto & Cafe”. Dua puluh lima menit berlalu, akhirnya pria itu sampai di restoran miliknya. Ia memarkirkan mobilnya di tempat yang sudah di sediakan. Reinald pun turun dari mobilnya. Pesona pria empat puluh dua tahun itu masih saja belum memudar walau sedikit pun. Mengenakan celana slim fit warna hitam dari bahan berkualitas tinggi. Sepatu kulit asli yang ia pesan khusus ke pengrajin tradisional Indonesia. Bagian atas, Reinald mengenakan kemeja lengan panjang warna hijau army tua. Reinald benar-benar tampak sangat muda dan segar. Ia bahkan terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya. Sebuah kesempurnaan ciptaan Tuhan untuk seorang Reinald Anggara. “Pagi, Pak.” Satpam restoran menyapa bos besarnya dengan ramah. “Pagi ... bagaimana restoran, aman?” “Aman, Pak. Insyaa Allah ....” “Baguslah ... saya ke atas dulu ya.” Reinald terseyum hangat seraya memukul pelan bahu bawahannya. “Iya, Pak. Silahkan.” Reinald pun masuk ke restorannya. Beberapa pengunjung sudah berdatangan untuk menikmati sarapan dengan cita rasa khas nusantara dari restoran Reinald. Banyak mata yang menatap bos besar restoran yang tengah mereka kunjungi itu. Reinald menyapa mereka semua dengan menebar senyum tampan dan ramah. Eh ... itu siapa sich? Kok ganteng banget? Nggak tahu, mungkin manajer. Mungkin juga bosnya, aku lihat tadi satpam sangat hormat kepadanya. Aku mau dong jadi selingkuhannya? Eh, kamu apaa sich? Reinald gemas mendengarkan suara-suara sumbang dari beberapa gadis remaja yang tengah menikmati sarapan di restorannya. Reinald pun menghampiri mereka. “Selamat pagi nona-nona cantik, ada yang bisa kami bantu?” Reinald berlagak seperti pelayan. “He—eh, Hhmm ... kamu kok ganteng banget sich? kamu manjer ya di sini?” salah seorang di antara mereka dengan berani memuji Reinald. “Maaf nona, saya di sini hanya pelayan saja. Kebetulan tadi saya izin datang terlambat, sebab anak saya sedang sakit.” Reinald mencebik, ia berbohong. “Owh ... hanya pelayan ya?” Gadis itu tiba-tiba kehilangan rasa kagumnya. Ia tersenyum kecut. “Iya, Nona. Saya hanya seorang pelayan, memangnya kenapa? Ada yang salah dengan pekerjaan saya?” “Nggak salah sich, tapi kayaknya kamu terlalu ganteng untuk jadi seorang pelayan.” Gadis yang lain menimpali. “Nona-nona cantik, tidak ada yang salah dengan profesi seorang pelayan, toh ia juga bekerja dan mencari uang yang halal untuk anak dan istrinya. Benar’kan?” “I—iya ... benar.” Gadis yang lain turut menjawab. “Baiklah, nona-nona, silahkan nikmati sarapan kalian dengan nyaman. Jika butuh sesuatu, jangan sungkan untuk memanggil pelayan.” Gadis itu mengangguk. Reinald pun berlalu meninggalkan empat orang gadis remaja yang masih saja menatap dirinya dari belakang, menuju ruang rapat yang ada di lantai dua. Tanpa diketahui oleh Reinald, sepasang mata menatapnya dari kejauhan. Mata cantik dengan bulu mata lentik dari seorang wanita muda. Ia menatap kagum seorang Reinald Anggara. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN