Baik, Kita Akan Menikah

3385 Kata
Bramantyo tercenung lama, memandangi potongan slide CCTV yang mengejutkannya. Terdengar suara ketukan pintu. “Masuk.” Bramantyo menjawab. Pintu dibuka, Anastasya melenggang anggun menghampiri putranya. “Lho, Mom, kok gak bilang dulu mau kesini.” Bramantyo bangkit menyambut Anastasya. “Memangnya kamu bisa dihubungi?”. Jawab Anastasya. “Kamu gak kerja-kerja lho.” Tegur Anastasya. “Semua beres dong mom..” Bramantyo tidak mengelak. “Baiklah, kunci pintunya. Mommy punya sesuatu untuk kamu.” Anastasya memerintah Bramantyo. “Ada apa sih mom?” Bramantyo bertanya setelah mengunci pintu. Anastasya tidak menjawab. Dia menghampiri Komputer disamping laptop Bramantyo, lalu memasukan semacam flash disk yang berbentuk seperti lipstik mini. “Lihatlah..” Anastasya tidak menjawab pertanyaan Bramantyo Di layar komputer tampak Jafar memasuki kondominium milik Bramantyo. Masuk ke dalam kamar lalu menerjang Sisca yang sedang tergolek dengan ganas. Mata Bramantyo nanar melihat adegan demi adegan. Bramantyo mempercepat tayangan. Dia merasa mual tiba-tiba. Musuhnya sedang bercinta di rumahnya dengan perempuan yang telah dia anggap adiknya sendiri. “See? Jafar tahu kamu yang selamatkan Alisha.” Kata Anastasya. “Sejak kapan mommy memasang kamera di rumahku?”. Tanya Bramantyo. “Sejak Sisca ketahuan suka masukin lelaki ke situ.” Jawab Anastasya. “Berapa laki-laki?”. Bramantyo kembali bertanya. “Sampai saat ini baru dua orang dengan Jafar. Satu lagi adalah model dan artis sinetron yang sudah redup popularitasnya. Sisca yang membiayai hidupnya.” Jelas Anastasya. “Serem banget mom.” Ujar Bramantyo. Bramantyo sangat terkejut, dia sama sekali tidak menyangka bahwa Sisca Wardoyo punya kehidupan liar seperti itu. Tetapi yang lebih mengejutkan adalah hubungan Sisca dengan Jafar. Lalu asisten utama Sisca yang terekam CCTV di sebuah Bank, menjadi pertanyaan serius bagi Bramantyo. Sisca dibalik pembunuhan Ibu Hamidah? Atau Jafar? Satu-satunya cara adalah menemukan pria bernama Hilman. Pria yang menyuntikan racun pada selang infus Ibu Hamidah. Pintu kamar diketuk, lalu terdengar suara bik Siti, “Den, makan siang..” “Ya.” Bramantyo menyahut. Bramantyo dan Anastasya bersamaan keluar kamar menuju ruang makan. Anastasya melihat Alisha yang begitu cantik dengan penampilan yang sangat modis. Pembawaan Alisha yang anggun dan berkelas, tidak akan ada yang mengira bahwa gadis itu tumbuh dan berkembang di daerah Petinggi, tempat paling kumuh di negara ini. “Halo Alisha, apa kabar?”. Sapa Anastasya ramah. Alisha sedikit kaget ada yang menyapa dengan ramah, senyum merekah di bibir Alisha, “Baik, tante.. emh, tante siapa ya?” Tanya Alisha sambil menghampiri Anastasya dan menyalaminya dengan hormat. “Anastasya, mommynya Bramantyo.” Anastasya memperkenalkan diri. “Oh, maaf tante, maaf saya ada disini.” Alisha merasa kikuk dan sungkan. Rasanya tidak enak hati seorang gadis berada di rumah seorang lelaki. Apalagi menginap seperti dirinya. “Tidak apa, jangan sungkan. Justru di sini aman buat kamu.” Jawab Anastasya sambil mengelus pundak Alisha. “Terimakasih tante.” Kata Alisha sambil menunduk. “Eh, ayo kita makan, udah lapar nih.. ayo mom, Alisha.” Ajak Bramantyo. “Ayo ayo.” Sahut Anastasya sambil menarik kursi. “Waah ini ada masakan apa?”. Seru Anastasya yang merasa heran. Ada sebuah hidangan yang tidak cocok dengan menu dimeja. “Oh, itu Alisha yang masak tante, Nenek suka masakin Alisha ikan pindang.” Kata Alisha dengan raut muka sedih. “Waahh, istimewa dong, tante boleh coba ya?”. Anastasya menghibur Alisha setelah melihat raut wajah Alisha yang bersedih. “Boleh tante, tapi maaf kalau gak enak.” Alisha ragu dengan hasil masakannya. Anastasya memotong ikan dengan sendoknya, lalu mencicipi, “Emh, mmh. Bram, kamu harus coba, ini enak banget.” Anastasya bersemangat. “Mmmh.. Enak mom, Bram mau makan ini saja.” Sahut Bramantyo Alisha tertunduk malu, senang dan tak percaya, benarkah masakannya enak? Mereka menikmati makan pagi tanpa kekakuan. Anastasya pembawa keceriaan, Alisha merasakan kenyamanan. ..... Hari terasa begitu berat untuk Sisca Wardoyo. Dia dalam perjalanan menuju Bandara. Tujuannya hanya satu; Bramantyo Laksono. Sisca meninggalkan Kondominium saat Jafar masih tidur di kasurnya. Dia tidak perduli. Karena fokus utamanya adalah Bramantyo yang menurut Jafar telah menculik Alisha dari tangannya. Dia hanya ingin mengalihkan perhatian Bramantyo dari Alisha dan mencari tahu keberadaan Alisha untuk segera menyingkirkannya. Sementara itu, Jafar telah bangun dan mendapati dirinya di Kondominium Sisca tapi ruangan kosong tidak nampak Sisca dimanapun. Jafar tersenyum sinis. “Dasar jalang, beraninya pergi tanpa pamit.” Bathin Jafar. Dia meraih handphone dan mendapati beberapa pesan, salah satunya membuat jantung Jafar hampir terlepas. “Merpati datang ke makam Ibu Hamidah. Dikawal ketat, ini poto-potonya, bos.” Tulisan di kotak pesan Jafar. Beberapa poto hanya memperlihatkan punggung-punggung para pengawal, dalam satu poto tampak setengah badan perempuan diantara bahu para pengawal. Perempuan itu setengah menunduk, sedang melangkah, memakai pakaian berwarna putih dan membentuk silhuet yang sangat indah. Jantung Jafar berdebar, entah kenapa dia merasa menjadi b***k cinta hanya oleh Alisha Diandre. Terasa tidak masuk akal tapi nyata. Poto berikut, meski tampak dari antara dua bahu pengawal, Jafar mengenal jelas wajah itu. Bramantyo Laksono. “Shiitt.. “ Jafar meninju tembok. Dengan tergesa-gesa Jafar masuk kamar mandi, lalu berpakaian dan pergi dari tempat tersebut. Setelah di dalam mobil yang diarahkan ke desa Wahana, Jafar mengirim pesan pada Sisca Wardoyo, “Apapun rencana kamu, lakukan sekarang. Bramantyo dan Alisha ada di desa Wahana.” ...... Sisca membaca pesan yang dikirim Jafar tepat ketika dia sedang antri untuk memasuki pintu pesawat. Langkah Sisca terhenti. Dia merasa bimbang. Bramantyo semalam mengirim bukti keberadaannya disebuah hotel di Hongkong. Tapi bisa saja malam itu juga menggunakan pesawat pribadinya kembali ke sini karena dapat kabar tentang Alisha dari anak buahnya. Seketika Sisca membalikkan badannya. Berlari menjauh dari pesawat yang akan ditumpanginya. Sisca menelepon supirnya, kembali ke counter maskapai untuk melaporkan gagal berangkat lalu menuju titik penjemputan. Sisca membuka maps dalam handphonenya. Dia melihat peta desa Wahana dan terhenyak. Desa Wahana ternyata berbatasan dengan kebun Teh milik keluarga Bramantyo yang disana ada Vila megah berdiri. Sisca pernah beberapa kali datang ke Vila tersebut dengan keluarganya untuk memenuhi undangan pesta keluarga Bramantyo. Sisca yakin Alisha berada di Vila tersebut. “Bang, kemungkinan Alisha di Vila Mas Bram.” Pesan terkirim kepada Jafar. Lalu Sisca mengirim screen shot peta yang berisi kebun teh, vila dan tulisan desa Wahana. “Noted.” Jafar mengirim pesan balik. ..... Bramantyo baru saja sampai di kantor pusat. Hari ini ada meeting penting tentang project kerjasama dengan Pemerintah. Meeting yang tidak bisa dibatalkan begitu saja. Bramantyo merasa kesal, karena mendapat laporan kalau Sisca sedang mengarah ke Vila begitupun Jafar yang telah terlebih dahulu dalam perjalanan ke desa. Bramantyo memerintahkan penjagaan ditingkatkan seputar dalam dan luar Vila. Kekhawatiran akan keselamatan Alisha mengganggu pikirannya. Terlebih, dia tidak bisa berada disana untuk melindungi Alisha. Bramantyo memutuskan untuk memberitahu Alisha, supaya Alisha bisa waspada. Bramantyo menelepon bibi Siti. Deringan pertama diangkat oleh bibi Siti. “Ya den.” Siti menjawab. “Bik, tolong saya mau bicara dengan Alisha.” Ujar Bramantyo “Baik den.” Bibi Siti melangkah ke kamar dimana ada Alisha dan mengetuk pintu. “Non, ada telepone dari Den Bram.” Ujarnya. Alisha membuka pintu dan memandang bibi Siti, yang menyodorkan handphone kepadanya. Alisha menerima handphone dari bibi Siti. Sambil mengucapkan terimakasih. “Halo.” Alisha menjawab ragu-ragu. Bramantyo tersenyum mendengar suara Alisha yang menurutnya menggemaskan dan lucu. “Alisha, jangan panik ya. Jafar sedang dalam perjalanan menuju desa. Sepertinya dia tahu kalau kamu bersamaku. Tapi penjagaan sudah di perketat. Jafar tidak mungkin bisa masuk ke Vila.” “Meskipun begitu, kamu tetap harus waspada. Mohon maaf aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan saat ini. Tapi setelah makan siang, aku langsung menemuimu disana.” Ucap Bramantyo panjang lebar. “Bagaimana bang Jafar bisa tahu aku ada disini?”. Tanya Alisha. “Kemungkinan anak buahnya melihat kamu waktu ke makam nenek.” Jawab Bramantyo dengan tepat. Karena hanya itulah satu-satunya yang mungkin terjadi. “Emh.. berarti bang Jafar juga melihat Meilani dan Fado. Bagaimana dengan mereka?”. Kembali Alisha bertanya. “Meilani sedang dijemput, kamu tunggu dia sampai ya, lebih aman Meilani bersamamu. Fado akan diantar ke kota dan ada dua pengawal yang mengawasi sampai situasi aman, apa cukup buatmu?”. Bramantyo khawatir Alisha merasa pengamanan untuk Fado kurang. “Cukup. Terimakasih.” Jawab Alisha mantap. “Baiklah, sampai jumpa. Teleponenya aku matiin ya.” Kata Bramantyo. “Baik.” Jawab Alisha pendek. Tiba-tiba sebuah ide melintas di benak Alisha. Dia segera memanggil bibi Siti. “Bik, apa boleh telepone pak Bram?”. Alisha bertanya. “Oh boleh non. Sebentar..” Jawab bibi Siti sambil men-dial nomor Bramantyo, yang langsung diangkat pada deringan pertama. “Ya bik?” Suara Btamantyo terdengar. “Halo den, ini non Alisha mau bicara.” Kata bibi Siti sambil menyodorkan handphone pada Alisha. Alisha menerima handphone dari bibi Siti dan langsung bicara, “Halo pak,” Alisha menyapa Bramantyo sambil menjauh dari bibi Siti dan masuk ke kamarnya. “Ini mengenai bang Jafar pak, kaitannya dengan utang nenek, dulu bang Jafar pernah bilang, bayar utangnya atau aku mau jadi istrinya.” Alisha terdiam sejenak. “Maksud Alisha, kalau Alisha bayar utang nenek, bang Jafar gak akan kejar Alisha lagi kan pak?”. Tanya Alisha penuh harap. Bramantyo tertegun. Betapa polosnya Alisha. Bagaimana caranya agar Alisha mengerti bahwa permasalahan Jafar bukan sekadar ada utang atau tidak. Seorang lelaki yang berniat mengawini seorang perempuan, itu menyangkut kehormatan dirinya, selain ego dan nafsunya. “Ya itu boleh di coba ya.” Bramantyo memberikan jawaban yang aman. “Kalau begitu, aku nanti bicarakan dengan Meilani. Terimakasih pak.” Alisha menutup telepone. Bramantyo menggelengkan kepalanya. Tapi dia tidak ingin mengecewakan Alisha. ...... Jafar tiba di rumah penyekapan. Mengumpulkan anak buahnya untuk memberikan laporan langsung dengan jelas. Rencana disusun dengan sangat rapi dan hati-hati. Melihat penjagaan yang begitu ketat di seputar Vila keluarga Bramantyo, maka Jafar memutuskan untuk menunggu. Menunggu sang merpati mengepakkan sayapnya di alam liar. Saat itulah Jafar sudah siap dengan perangkapnya. ..... “Bos, satu kilometer lagi Sisca sampai gerbang Vila. Meilani sudah sampai di pav. Fado langsung diantar ke kota. Belum ada pergerakan dari rumah penyekapan.” Praja melapor pada Bramantyo. Tidak ada jawaban dari Bramantyo. Seseorang menembakan paku pada ban mobil yang dikendarai Sisca Wardoyo. Sekaligus dua ban. Suara roda beralas ban terdengar oleh supir Sisca, mobilpun terasa bagai berjalan diatas bebatuan. “Ban kempes bu, saya minggir dulu.” Kata Supir kepada Sisca, sambil mengarahkan mobilnya ke pinggir jalan. “Kok bisa? Ampun deh, kan udah dekat. Jadi harus gimana?”. Tanya Sisca dengan nada kesal. “Saya ganti ban dulu sebentar.” Supirnya berkata. Dia turun dari mobil setelah parkir dengan benar dan memeriksa kondisi ban lalu dia kembali ke mobil. “Bu, ban belakang dua-duanya bocor. Sementara ban serep Cuma ada satu. Di sekitar sini tukang tambal ban darurat tidak ada.” Supir memberitahu Sisca. “Telepone dealer terdekat. Carikan saya mobil segera.” Perintah Sisca tegas. “Baik bu.” Jawab Supirnya. Sepuluh menit kemudian, sebuah mobil Inova keluaran terbaru menghampiri mereka. Sisca menaikinya. Di dalam mobil, perasaan Sisca tidak enak. Entah kenapa sebuah kesadaran timbul bahwa ban mobilnya kempes adalah suatu kesengajaan. Sisca gelisah. Dia memerintahkan supir untuk balik arah kembali ke kota. Supir melihat Sisca dari kaca spion Dengan tatapan yang membuat Sisca merinding. Dia mengangguk lalu berkata, “Baik bu, kita putar arah di depan.” Sahutnya. Mobil memasuki pelataran parkir sebuah minimarket untuk berputar arah. Disana telah menunggu satu orang lelaki yang langsung membuka pintu mobil dengan cepat. Sisca terlonjak kaget. Sedetik kemudian Sisca tidak sadarkan diri setelah orang tersebut membekapnya dengan sapu tangan. “Langsung diikat saja. Tutup mulutnya.” Supir memerintah kepada lelaki yang membekap Sisca. Lelaki itu merebahkan sandaran kursi mobil, meletakkan Sisca pada kursi itu. Kaki dan tangan Sisca diikat dengan seutas tali kain yang telah disiapkan di kursi belakang. Mulutnya di tempeli lakban tebal yang merekat kuat pada kulit. ....... Bramantyo memacu mobilnya dengan kecepatan penuh dijalan tol. Dia tidak bersama supir karena sudah tidak sabar untuk segera sampai di Vila. Sesampainya di Vila bagian paviliun, Bramatyo tergesa-gesa menemui Alisha yang sedang berbincang-bincang dengan Meilani. “Oh pak Bram sudah sampai.” Meilani menyapa Bram. Sementara Alisha diam saja. “Saya ingin bicara dengan kalian berdua. Bisa ikut ke ruangan atas?”. Bramantyo berkata sambil menatap Alisha. Alisha mengangguk, begitupun Meilani. Setelah mereka duduk di sofa di sebuah ruang tempat tidur yang disulap menjadi seperti ruang kerja, Bramantyo memulai ucapannya, “Jafar akan terus mengejar Alisha bukan karena urusan utang. Tapi niatnya adalah ingin menikahi Alisha.” Bramantyo membuka sebuah rekaman dari alat perekam kecil dari saku jasnya. “Alishaaa tidak peduli kamu dimana, aku akan menemukanmu. Kali ini kamu tidak bisa lari dari ketentuan bahwa kamu adalah jodohku. Titik.” Terdengar suara Jafar dari rekaman itu. Alisha bergidik ngeri. Tentu dia paham statement dari ucapan Jafar. Bahwa Jafar akan mengejarnya sampai dapat. “Jafar mempunyai kekuatan keuangan maupun sumber daya manusia. Bukan hal sulit baginya untuk menemukan kamu Alisha.” Bramantyo menatap lekat Alisha. “Lalu aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku sembunyi terus?”. Alisha bertanya. “Kenyataannya setelah kamu bersama Jafar, kamu akan disembunyikan olehnya.” Bramantyo berkata dengan nada yang datar. Alisha ingat di hari penyekapan dirinya dan bergidik ngeri. “Lalu bagaimana solusinya?”. Meilani bertanya kepada Bramantyo. “Satu-satunya jalan adalah kita menikah Alisha.”. Bramantyo menjawab pertanyaan Meilani melalui Alisha. “Apa.?!”. Alisha dan Meilani sama-sama terlonjak. “Tidak mungkin. Aku tidak akan pernah menikah dengan siapapun kapanpun juga.” Balas Alisha setengah teriak. “Kenapa solusinya menikah sih? Kenapa tidak lapor polisi saja. Penculikan.” Tanya Meilani. Bramantyo tersenyum pada Meilani. “Jafar tidak akan pernah bisa diadili. Dia sangat licin seperti belut.” “Menikahi Alisha saat ini adalah demi keselamatannya. Saya akan bebas membawa Alisha kemanapun dalam setiap kegiatan saya. Alisha tidak perlu kehilangan kebebasan karena saya akan menjadi pelindung Alisha siang malam.” “Lagipula, Jafar pasti mundur ketika dia tahu bahwa Alisha telah menikah.” Bramantyo menjelaskan. “Masuk akal.” Ucap Meilani, yang langsung mendapat cubitan keras dipahanya. “Aaw.. Sakiiit.” Teriak Meilani sambil melotot pada Alisha. “Tidak. Tidak perlu menikah. Aku bisa sembunyi beberapa waktu. Tidak masalah.” Ujar Alisha yakin. Bramantyo kembali memperdengarkan sebuah rekaman percakapan. Lebih tepatnya adalah rencana penculikan Alisha. “Penjagaan terlalu kokoh bos. Kita tidak bisa menerobos tanpa ketahuan. Apalagi turun dari helikopter. Sniper bersiaga di setiap sudut.” Terdengar suara seseorang. “Tidak masalah, kita bisa sabar menunggu.” Terdengar suara Jafar yang dikenali oleh Alisha. “Plan A, tunggu sampai merpatiku keluar dari Vila. Kita lebih leluasa menyergapnya di luar. Kalau perlu di keramaian.” Lanjut Jafar. “Plan B, kalau tidak keluar dalam jangka waktu tiga hari, hari ke-empat siapkan orang-orang yang berani mati untuk mengerahkan massa, mengepung vila secara terus menerus. Buat kebakaran dibagian depan dan belakang.” Kembali suara Jafar terdengar. “Merpatinya bisa celaka bos?” Salah satu anak buahnya bersuara. “Tidak peduli. Dia memilih untuk kabur, menolak dikawinin maka dia berhak untuk mati.” Ucap Jafar. “Buat langkah-langkahnya segera laporkan.” Jafar mengakhiri diskusi. Meilani memekik sambil mulut ternganga. Alisha merasa linglung. “Alisha, kamu menikah dengan pak Bram, itu solusi satu-satunya.” Meilani setengah memohon. “Tidak. Pasti ada jalan lain.” Tolak Alisha. “Ya jalan lain setelah merugikan orang lain? setelah ada korban orang celaka bahkan meninggal? Setelah Vila ini dibakar habis? Begitu maksudmu?”. Cecar Meilani. “Ti.. Ti.. Tidak. Bukan begitu maksudku mey.” Alisha terbata kaget dengan tuduhan Meilani. “Alisha, dengan menikah kamu akan punya kekuatan hukum. Jafar tidak bisa mendekatimu lagi.” Meilani tetap ngotot. “Menikah itu apa sih Mey? Tidur bareng kaya kamu dan Fado? Tinggal serumah? Kemana-mana berdua? Itu semua butuh modal cinta Mey. Bagaimana mungkin aku bisa mencintai orang lain selain diriku dan nenek?”. Alisha berteriak kepada Meilani. “Aku tidak meminta tidur berdua sama kamu, tapi kemana-mana bersama iya. Tinggal satu atap iya. Sebab dengan cara itu aku bisa melindungi kamu duapuluh empat jam sehari.” Potong Bramantyo. “Lalu buat apa Anda repot-repot menikahiku?”. Tanya Alisha tajam. “Karena saya mencintaimu, karena saya tidak ingin lagi kehilangan kamu seperti delapan belas tahun yang lalu.” Jawab Bramantyo mengejutkan Alisha dan Meilani. “I knew it.” Seru Meilani. Yang langsung mendapat tatapan tajam dari Alisha. Alisha yang tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Bramantyo hanya berucap dengan ketus, “Anda salah orang pak Bram.” Alisha bangkit berdiri dari tempat duduknya, meninggalkan Bramantyo dan Meilani yang bengong melihat sikap Alisha. “Uuh.. itu.. biar saya ngomong dulu sama Alisha ya pak.” Meilani dengan gugup minta persetujuan Bramantyo. Yang dibalas anggukan oleh Bramantyo. Meilani menyusul Alisha. “Lisa, tunggu.” Seru Meilani. Alisha pura-pura tidak mendengar, tanpa bergeming, Alisha menuruni tangga dengan langkah cepat dan segera masuk ke kamarnya. Alisha membantingkan tubuhnya pada kasur yang empuk dan nyaman. “Menikah, menikah. Apa bagusnya menikah. Haruskah menikah? Untuk apa menikah?” Alisha menggerutu. “Manusia itu diciptakan berpasang-pasangan dan menikah itu adalah ibadah yang artinya adalah sesuatu yang sangat baik untuk dilakukan.” Meilani seperti biasa, nyerocos. Alisha tidak memperdulikan Meilani. “Hei, gimana kalau kamu nikah kontrak aja, sampai situasi kamu benar-benar aman, terus cerai deh.” Seru Meilani senang seakan idenya adalah ide yang brillian. “Ngaco. Kalau pernikahan itu sesuatu yang baik menurut kamu, kenapa harus dibuat mainan?”. Alisha tidak tahan untuk menanggapi. “Lisa, tujuan pak Bram baik, demi untuk melindungi kamu. Coba ingat bagaimana caranya kamu diculik dari rumah sakit terus di sekap di sebuah rumah.” Kata Meilani. “Menikah itu tercatat di negara dan terlindungi oleh hukum perkawinan.” Lanjut Meilani. “Tolong pikirkan cara lain. Setahuku, menikah itu adalah cara mengikatkan diri kita pada orang lain, ya dengan hukum itu sendiri. Aku tidak sudi terikat dengan siapapun. Titik.” Jawab Alisha dengan nada tinggi. “Ok, kamu pikirkan saja dulu dalam satu hari ini ya, timbang-timbang baik dan buruknya.” Meilani berkata sambil melangkah ke luar kamar. Alisha tercenung sendirian. Flashback kehidupannya dari sejak kecil yang penuh dengan kehangatan kasih sayang ibunya. Samar-samar dalam ingatan Alisha, terbayang wajah ibunya yang selalu tersenyum. Wangi harum tubuh ibunya melekat kuat dalam ingatan Alisha. Sebuah rumah kecil yang asri, di kelilingi perkebunan teh, adalah tempat tinggal Alisha di masa kecil. Waktu itu, ayahnya Alisha seorang mandor bagian timur dari perkebunan teh tersebut. Udara sejuknya pegunungan sangat dicintai oleh Alisha. Gadis kecil itu mengenakan kemeja rajut berwarna pink tangan panjang dengan hiasan bunga rose di d**a kanannya. memakai rok selutut yang mengembang dan selalu memakai kaus kaki panjang hampir menyentuh lutut. Rambut panjangnya yang lurus dan tebal, dibiarkan terurai dengan poni sedikit menutupi alisnya. Sangat lucu dan menggemaskan. Alisha tengah berlari menuju rumahnya membawa seikat bunga liar yang dia petik untuk dihadiahkan kepada ibunya. Tiba-tiba suara-suara langkah kaki yang banyak terdengar disertai teriakan-teriakan dan erangan kesakitan. Gadis kecil itu melihat ayahnya sedang di seret beberapa orang, keluar melalui celah-celah pohon teh tempat dia bermain petak umpet dengan teman-teman di kampungnya. Alisha ingin menjerit memanggil ayah dan ibunya, tapi suaranya tidak keluar. Alisha sangat ketakutan dan gemetar. Terpaku ditempat berpayung pucuk-pucuk teh. Tidak lama Alisha melihat ibunya keluar dari rumah dan ikut diseret oleh beberapa orang. Ada yang menarik tangannya, ada yang menarik rambutnya. Masih terngiang di telinga Alisha jerit tangis ibunya yang memohon ampun meminta dilepaskan. Alisha semakin tidak bisa bergerak. Rasa terkejut campur rasa takut yang tidak terkirakan, tidak bisa terhapus sampai dewasa. Pencariannya untuk jawaban atas apa yang telah terjadi pada ayah dan ibunya, sama sekali belum pernah dilakukannya. Terkendala oleh kehidupan pahit yang dijalaninya bersama neneknya. Neneknya membuang diri demi menyelamatkan nyawa Alisha yang ikut terancam. Terancam dari apa, Alisha masih belum bisa menemukan jawabannya. kini, neneknya sudah meninggal. Masalah baru muncul begitu saja di hadapan Alisha. Yaitu Jafar dan ajakan nikah Bramantyo. Alisha menekan-nekan keningnya. Rasa sakit dikepalanya akibat pikiran yang berat sangat menyiksanya. Alisha menolak untuk terganggu oleh Jafar. Tanpa bantuan Bramantyo, hari ini dia mestinya sudah menjadi istri Jafar dengan sangat terpaksa dan itu sangat menyakitkan bagi hati dan jiwanya. Tanpa Bramantyo, mungkin dia sudah bukan penghuni dunia ini lagi atau menjadi cacat permanen. Ya, saat ini hanya Bramantyo yang bisa membantunya. "Sementara menjadi istrinya, aku bisa leluasa mencari tahu tentang ayah dan ibuku, apa yang telah terjadi pada mereka." Bathin Alisha. "Baiklah, kita akan menikah." Gumam Alisha dengan tatapan mata kosong.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN