Bab II

847 Kata
Besoknya, saat Farhan pulang sekolah sekitar jam dua siang, rumahnya sepi. Sepeda kayuh Kakung yang biasa dipakai berboncengan dengan Eyang tak terlihat di teras. Jam segini, tentu saja Ibunya tak akan berada di rumah. Marsih jarang sekali mengambil libur. Dalam sebulan, paling hanya sekali dua kali saja, itupun jika ada hal mendesak. Atau malah dia mengambil libur untuk mengerjakan pekerjaan borongan lain dengan upah yang lebih banyak. Farhan tak tahu harus merasa bagaimana. Dua tau ibunya bekerja untuknya. Demi mencukupi kebutuhannya. Meskipun sekolah di SMP Negeri yang katanya gratis, tapi banyak sekali iuran dan buku yang harus dibeli. Ini saja Farhan sudah membawa surat berisi tagihan tunggakan iuran dan buku apa yang harus dibelinya untuk sekolah bulan ini dan bulan depan. Dia sering sekali menunda - nunda memberitahu Ibunya tentang iuran sekolah. Akibatnya, dia sering mendapatkan surat saat pulang sekolah begini. Dia tahu Ibunya bekerja untuknya, tapi dia juga ingin agar Ibunya menghabiskan banyak waktu dengannya. Hanya bersantai di sore hari sambil jalan - jalan di bantaran kali code yang tak jauh dari rumahnya juga tak apa. Farhan bersedia membonceng ibunya sampai sana. Dia kuat. Dia anak laki - laki yang kuat. "Han, jangan lupa! Nanti malam jam delapan, yo!" Itu Panji, biasa dipanggil Panjul. Pemuda yang lebih tua lima tahun darinya, lulus sekolah menengah tahun ini, tapi karena keterbatasan biaya, dia tak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Sekarang dia bekerja bersama bapaknya yang membuka bengkel kecil isi angin dan tambal ban di unung lorong. "Yo, Mas!" Serunya balik pada pemuda yang melaju dengan sepeda ontanya itu. Setelah meletakkan sepedanya di teras, dia menyibak tanaman anturium di terasnya untuk mengambil kunci rumah. Membuka kuncinya dan masuk ke dalam rumah yang gelap karena semua pintu dan tirai tertutup. Dia segera berjalan menuju kipas angin di sudut ruangan dan menyalakannya untuk mengusir pengap. Siang hari di Jogja sungguhlah tak berbeda dengan musim panas di luar negeri. Panas dan lembab, membuat gerah dan gelisah. Setelahnya, dia menuju kamar. Menaruh tas dan mengganti bajunya dengan baju yang lebih nyaman dan menuju dapur. Lapar! Semalam memang Ibu memintanya menyusul ke sana jika lapar sepulang sekolah. Tapi rasanya sungkan datang hanya untuk makan. Dia memeriksa panci di atas kompor dan juga mangkuk yang tertutup tudung saji di atas meja makan reyotnya. Mencari sisa sarapan paginya tadi. Berharap Kakung dan Eyang menyisakan untuknya dan tak membawa semuanya ke sawah. Dia bukan anak yang pemilih soal makanan. Apapun dia lahap dan makan. Daripada kelaparan. Dia beruntung, di dalam panci di atas kompor masih tersisa beberapa butir bakso sisa semalam yang dibawa ibunya dan sedikit kuah. Dengan cekatan dia memanasinya agar lebih sedap dan beranjak untuk mengambil piring dan nasi. Nasi bakso, menu makan siangnya. Sedikit bergizi, tak sehat, tak apa, yang penting mengenyangkan. *** Setelah makan tadi siang dia mengerjakan PR sambil menonton TV. Kebiasaan. Kemudian dia mandi. Dia mengelap sepedanya yang setia menemaninya mencari ilmu selama ini. Dia ingat, dia merengek pada Ibunya untuk dibelikan sepeda model seperti ini agar sama seperti teman - temannya. Dia tak tahu kalau harga sepeda yang dimintanya mencapai jutaan rupiah. Ibunya terus memutar otak dan menjanjikannya sepeda setiap kali Farhan merengek kapan sepeda barunya sampai. Akhirnya, Ibunya menemukan sepeda yang cocok di pasar loak. Dengan harga yang masih agak tinggi untuk dia beli, tapi dia tetap membelinya untuk Farhan. Farhan ingat dia amat senang saat itu sampai tiba saatnya dia pergi ke sekolah keesokan harinya. Teman - temannya mengejeknya karena sepeda yang katanya baru ternyata hanyalah sepeda bekas. Merk nya pun bukan asli. Itu membuat Farhan sempat mengambil dan tak mau pergi ke sekolah selama beberapa hari. "Mau pergi, tho, Le?" Eyang yang baru pulang beberapa saat lalu bertanya saat melihat Farhan sibuk mengelap sepedanya. Karena pernah terpeleset dan jatuh beberapa kali di tegalan sawah, sekarang cara jalan Eyangnya jadi agak aneh. Sedikit pincang dan bungkuk. Padahal, Eyang dan kakungnya belum begitu tua. Umurnya baru menginjak enam puluh tahun. Mereka orang yang bugar, tapi kondisi fisiknya seperti sepuluh tahun jauh lebih renta dari usia yang sebenarnya. Bekerja keras berjibaku dengan alam membuat kulim mereka gosong dan keriput. Rambut mereka pun semua sudah memutih karena uban. Yang ditanya hanya mengangguk, sambil terus mengelap sepedanya dengan lap basah bekas bajunya yang sudah robek tak tertolong, tak mungkin untuk ditambal lagi. "Nanti habis isya, Yang. Mau ketemu temen. Eyang ndak mandi?" "Masih dipake kakung kamar mandinya. Ati - ati lho, keluar malam. Klitih  di daerah kota sedang banyak lagi." Tangan Farhan terhenti mengelap sepedanya. Hanya sebentar, sebelum kemudian melanjutkan kesibukannya lagi. Eyang pun sepertinya tak menyadarinya. Farhan mengangguki wejangan Eyangnya. Memang benar apa yang dikatakan Eyangnya itu. Klitih sudah menadi terror yang tak kasat mata dan tembus hukum. Hampir semua pelakunya malah tidak ditindak secara tegas oleh penegak hukum dengan berbagai alasan yang menurut masyarakat tak jelas. "Nanti rame - rame kok, Yang." Farhan menjawab meyakinkan Eyangnya. "Yo wis, Eyang masuk dulu. Buruan masuk. Ndak ilok (pamalinya orang jawa) surup - surup di luar. Nanti kena Sandikolo (Raja setan yang bersemayam di ufuk barat, menurut kepercayaan jawa kuno). Pintunya ditutup ya, Le kalo masuk.” “Nggih, Yang.” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN