Perjodohan

1026 Kata
Jakarta. Kota yang tak pernah luput dari kemacetan. Kemanapun kau pergi ia akan setia menemani, sulit rasanya untuk tidak terjebak di antara banyaknya kendaraan. Cora menatap kesal motor-motor yang menguasai trotoar yang kehilangan fungsi sebagai tempat pejalan kaki. Suara ponsel berdering, membuat Cora menyalakan headset bluetooth miliknya saat melihat caller ID yang terpampang di sana. “Iya, Ma … Cora ingat. Ini lagi otewe ke restoran.” Cora memutus panggilan, tak ingin mendengarkan ibunya yang semakin semangat saat memberinya beberapa perintah tentang apa yang harus dan tidak ia lakukan saat tiba di sana. Cora mengeratkan genggaman pada kemudi dan mendengkus kesal. Entah sudah berapa banyak perjodohan yang telah dihadirinya. Charista, ibu Cora, seakan tak mengenal kata menyerah dan terus mencarikan lelaki terbaik untuk menjadi pasangannya. Saat pertama kali Charista menjodohkan Cora, ia menerimanya karena tidak ingin Sang ibu murka karena penolakan. Ia tidak ingin disebut anak durhaka. Akan tetapi, semua rutinitas ini membuatnya jenuh dan juga kesal. Dirinya merasa tertekan. Seorang pria kaya nan tampan bernama Robert adalah lelaki pertama yang menjadi kandidat ibunya. Seorang pengusaha mobil import yang memiliki beberapa showroom besar di seluruh Indonesia. Anak dari Andien, teman arisan Charista. Menyusul Robert, ada beberapa lelaki lain yang sudah Cora temui dalam acara perjodohan. Baik dari keluarga kaya maupun biasa saja. Cora bahkan tak bisa mengingat lagi nama para lelaki itu. Perjodohan adalah hal yang biasa baginya dan hampir setiap bulan ia harus bertemu dengan lelaki pilihan ibunya. Mengenaskan. Dari sekian banyaknya kandidat pilihan, Cora hanya mengingat satu lelaki bernama Robert. Hingga saat ini pun mereka masih sering bertemu. Keduanya sepaham tentang perjodohan dan merasa hubungan mereka tidak akan lebih dari pertemanan. Robert merasa nyaman berteman dengan Cora, begitu pun sebaliknya. Robert pun seakan pasrah saat harus menjadi pelampiasan kekesalan Cora tentang hobby aneh Sang ibu. Pertengkaran kerap mewarnai hubungan Cora dan ibunya yang semula tak bermasalah. Usia yang tak lagi muda menambah beban tersendiri untuk Cora dan Charista. Demi Tuhan, Cora tak masalah dengan dirinya yang belum menikah. Apa salahnya wanita berumur tiga puluh tahun dan belum menikah? She is single and happy, itu yang terpenting! Untuk apa memiliki pasangan, jika kau tak ‘kan bahagia? Namun Cora tak selamanya bisa menolak kemauan Charista karna ia tahu dirinya lah penyebab semua ini. Putri yang selalu disebut oleh teman-teman ibunya sebagai perawan tua, membuatnya mengalah pada Charista. z z z Cora tiba di restoran Perancis yang terletak di kawasan Senopati, Jakarta Selatan. Dari luar, tempat itu terlihat seperti rumah tinggal, tetapi begitu masuk, pengunjung akan langsung disambut oleh kemewahan yang elegan, khas restoran Perancis di tarafnya. Apalagi ditambah dengan sofa yang sangat nyaman, cocok untuk duduk-duduk sambil menyecap wine. Dari segi perpaduan dekorasi dan desain arsitekturnya, restoran yang bernama Te’Aime itu bahkan digadang-gadang sebagai salah satu restoran Perancis tercantik yang ada di Jakarta saat ini. Pelayanan di restoran begitu ramah, seorang pelayan menyambut Cora dan menanyakan kepadanya “Apakah Ibu sudah membuat reservasi di sini?” Cora menjawab, “Sudah, atas nama Anthony Eul Collin”. Ia menyebutkan nama lelaki yang diberitahukan ibunya. Pelayan itu mengangguk pelan dan mengantarnya menuju meja yang sudah ditempati oleh seorang lelaki. Mata Cora bertemu dengan tatapan tajam dibalik kacamata bening milik lelaki itu. Lelaki tampan berwajah bule, membuatnya yakin bahwa dialah lelaki yang dimaksudkan oleh ibunya. Tubuh lelaki itu terlihat tegap walau dalam posisi duduk. Cora menatap intens dan meneliti wajah lelaki yang menatapnya datar. Lelaki itu memiliki rahang kokoh, mata biru safir, kulit sawo matang, dan rambut coklat yang terlihat sangat rapi. ‘Bule?’ Cora bertanya dalam hatinya dan menghela napas panjang. Lelaki pilihan ibunya memang tidak pernah mengecewakan. Kebanyakan dari mereka memiliki ketampanan di atas rata-rata. Sayangnya, tidak ada satu pun yang dapat meluluhkan hati dinginnya. Ia tidak butuh lelaki tampan dan tidak peduli dengan penampilan luar seseorang. Ia hanya ingin seorang lelaki yang dapat membuat jantungnya berdebar kencang. “Anthony Eul Collin?” “Iya … Anda, Cora Dianthe? Cukup panggil Saya Tony.” Tony berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Cora, Cora menyambut tangan lelaki itu dan tersenyum tipis. Karena kekakuan mereka , keduanya lebih terlihat seperti rekan bisnis, daripada dua orang yang dijodohkan. Bahkan rekan bisnis bisa terlihat lebih santai daripada mereka. Bule ini bisa bahasa Indonesia? Baru kali ini Charista menjodohkannya dengan lelaki berparas asing. Yang ia tahu, Sang ibu menyukai produk lokal dan pemuja abadi ketampanan para pria Asia. Mungkin selera Mama udah berubah. “Silahkan duduk. Anda mau pesan apa?” Cora merasa dirinya sedang berbicara dengan atasan yang selalu menggunakan sebutan ‘saya dan anda’. Ia yang tidak bisa berinteraksi dengan lelaki merasa semakin canggung karena gaya bahasa mereka yang terlalu formal. “Apa saja yang menurutmu enak.” Cora menggendikkan bahu tak acuh, ia hanya ingin segera menyelesaikan acara perjodohan yang membosankan itu. “Baiklah … saya pesankan untuk anda.” Tony tersenyum percaya diri, ia membolak-balik buku menu di hadapannya dan memanggil pelayan untuk memesan makanan. Tony terlihat sangat mengerti dengan makanan Perancis, seakan semua menu yang ada di sana adalah makanan sehari-harinya. Masakan Perancis adalah makanan kesukaan Cora selama ini, tetapi ia tak memiliki selera makan. Pikirannya terlalu sibuk mencari cara untuk segera kabur. “Kamu bukan orang Indonesia?” Cora memberanikan diri bertanya dan entah kenapa malah pertanyaan konyol yang keluar dari mulutnya. Nggak ada pertanyaan yang lebih berkualitaskah, Cora? Rutuknya dalam hati. “Ayahku Inggris dan Ibuku Manado.” Tony tersenyum tipis, sedang Cora mengangguk pelan. Blasteran, mata biru itu pasti dari Ayahnya. Menit demi menit telah berlalu, keduanya terjebak dalam keheningan. Cora tidak mengerti apa yang harus dibicarakan pada pertemuan pertama antara dua orang asing yang tidak saling mengenal. Biasanya lelaki yang dijodohkan ibunya terbilang cerewet, selalu memulai percakapan dan tidak pernah bisa berhenti bicara. Tetapi lelaki yang ada di hadapannya ini sama kakunya dengan dirinya. Cora memandang sekeliling, tiba-tiba merasa iri dengan beberapa pengunjung yang ada di sana. Tidak ada keheningan di meja mereka. Restoran yang hangat, tak terasa begitu baginya. Ia merasa seakan ada sebongkah batu es besar di meja, membuat rasa dingin menjalar, dan membekukan moment canggung itu. Betapa ia berharap memiliki situasi yang sama dengan orang-orang yang ada di sana, tampak bahagia menikmati perbincangan dan makanan yang tersaji. “Hmm … apa Anda sudah siap menikah?” Tony mencairkan keheningan di antara mereka, pertanyaan Tony membuat Cora terkejut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN