Awan melihat Bu Adel naik ke mobil merah menyala yang terparkir di depan kafe. Mobil itu keluar dari pelataran parkir dan melaju menuju jalan. Untuk menghentikannya, Awan refleks melompat ke jalur mobil itu, mempertaruhkan nyawanya.
Mobil merah di depannya seketika berhenti, belum sempat menyentuhnya, tapi Awan menjatuhkan diri ke depan, menabrak bemper depan mobil itu dengan kepalanya yang sialnya, sangat sakit, lalu pura-pura jatuh pingsan di sana. Awan menutup matanya rapat-rapat ketika terjadi keributan di sekitarnya.
Ia mendengar seseorang meminta yang lain menghubungi ambulans. Lalu, ia merasakan tangan tak dikenalnya, entah tangan siapa, mengangkat tangannya dan menyentuh pergelangan tangannya. Lalu, tangan yang sama menyentuh lehernya. Awan nyaris berjengit karena sentuhan tiba-tiba di sana.
Namun, ia kemudian mendengar suara Bu Adel berbicara, “Bawa dia masuk ke dalam. Ke ruangan manajer.”
Awan merasakan beberapa orang mengangkat tubuhnya. Ia nyaris memaki ketika salah seorang menghantam aset bagian bawah tubuhnya dengan tinju walau sepertinya tak sengaja. Meski dalam hati, ia sudah melontarkan serapahan paling kasar yang ia tahu.
Ketika akhirnya tubuh Awan mendarat di sesuatu yang empuk dan nyaman, sepertinya sofa, Awan dalam hati mendesah lega. Ia bisa tidur dengan nyenyak di sini selama beberapa saat, lalu ketika bangun, ia akan menuntut wanita galak itu. Namun, kemudian didengarnya Bu Adel berbicara,
“Kalian semua silakan keluar dari ruangan ini. Saya yang akan tetap di sini untuk memeriksanya.”
Apa? Awan tidak salah dengar, kan? Kenapa dia menyuruh semua orang keluar dari ruangan ini? Apa katanya tadi? Memeriksa Awan? Dia? Bisa apa dia? Yang ada malah mungkin dia mau membunuh Awan di sini.
Awan mendengar langkah-langkah berderap pergi. Lalu, pintu tertutup dan … dikunci. s**l. Mau dia apakan Awan? Dimutilasi?
“Bangun!” sentak wanita galak itu. “Aku tahu kamu nggak pingsan. Detak jantungmu normal dan kelopak matamu gerak-gerak tadi.”
Awan mengumpat dalam hati. Sekarang bagaimana? Tidak. Ia akan berpura-pura pingsan saja. Ia tidak akan kalah dengan wanita galak ini.
Namun, detik berikutnya, Awan merasakan benda keras mendarat di bagian asetnya. Double kill. Awan seketika memekik kesakitan dan membuka mata. Tangannya refleks turun ke bawah, memegangi asetnya yang terasa sakit. Ia menunduk ke bawah dan melihat tas tangan wanita yang jatuh di bawah sofa. Awan mengerang kesakitan sembari menatap wanita galak itu penuh dendam.
Wanita iblis itu dengan santai duduk di sofa di depan Awan. Dia menyilangkan kaki. Sayang sekali, dia mengenakan celana panjang. Jika tidak, Awan pasti sudah mendapat pemandangan indah tadi.
“Apa yang kamu lihat?” Suara tajam itu menyadarkan Awan.
“Apa?” Awan balas nyolot. Pokoknya, walau salah, yang penting nyolot dulu. Itu moto hidupnya.
Saat itulah, Awan mendengar panggilan ketiga sahabatnya, penyelamatnya, sembari menggedor pintu ruangan itu.
“Wan, lo nggak pa-pa? Lo nggak dibunuh, kan?” Nugie memang akhlaknya suka ditinggal sembarangan.
“Wan, kenapa lo teriak-teriak? Lo diapain?” Si w****k ikut-ikutan.
“Gue panggilin polisi ya, Bro!” seru Ramli dari luar. “Sekalian gue panggil sopir-sopirnya Babeh.” Blo’on memang jalan ninjanya Ramli.
Di depan Awan, Bu Adel yang super galak itu memutar mata, lalu berdiri dan pergi ke pintu, membuka kuncinya, lalu membuka pintu sembari bergeser, membuat ketiga teman Awan tersungkur dengan sukses di depannya.
Mereka kompak mengaduh dalam posisi tumpang tindih. Awan bergegas menghampiri mereka dan membantu mereka berdiri.
“Lo nggak pa-pa, Bro?” tanya Nugie sembari memegangi lengan Awan, mukanya, kakinya, pantatnya. s**l memang si Nugie.
“Tangan lo nggak berakhlak banget, Gie,” kesal Awan sembari memukul tangan Nugie. “Yang sakit yang depan.”
Ketika ketiga temannya mengulurkan tangan, Awan refleks mundur dan menutup asetnya dari jamahan tangan nista mereka. Mereka menatap Awan.
“Itu lo … kenapa? Hilang?” Wiki bertanya takut-takut.
“Gue blender juga mulut lo, w****k,” sebal Awan.
Ketika terdengar suara pintu tertutup dan terkunci, Awan dan ketiga temannya langsung berdiri berjejer dan menghadap ke arah yang sama, ke arah pintu. Jika biasanya, satu wanita melawan empat pria adalah wanitanya yang ketakutan, kali ini situasinya terbalik. Keempat pria dewasa, termasuk Awan, berdiri berdempetan ketika wanita iblis itu berjalan menghampiri mereka.
“Duduk,” kata wanita iblis itu sembari mengedik ke sofa.
Herannya, ketiga teman Awan langsung menurut dan duduk di satu sofa panjang tempat Awan berbaring tadi.
“Kamu juga,” kata wanita itu pada Awan.
Awan mendengus, tapi menurut dan pergi ke sofa, menggeser Wiki. Meski ia hanya kebagian tempat yang super sempit.
“Bro, tas lo?” Ramli mengangkat tas laknat yang menghantam asetnya tadi.
“Itu yang ngehajar aset gue,” desis Awan sembari menyambar tas itu, lalu melemparnya ke meja di antara dia dan wanita iblis itu. Wanita iblis itu mengambil tasnya, lalu duduk.
“Siapa nama kalian?” tanya wanita itu.
“Ramli Saputra, Bu,” jawab Ramli manut.
“Wiki Indrawan,” sambung Wiki.
“Saya Nugie Prasetya.”
Tatapan wanita itu berhenti pada Awan. “Kamu?”
Awan tak mau menjawab, tapi ketiga temannya menjawab bersamaan, “Awan Cakrawala.”
Awan mendesis kesal pada ketiga temannya.
“Daripada kita mati dibantai di sini, Bro,” bisik Wiki yang duduk di sebelahnya sambil membenahi kacamatanya.
“Kamu sendiri siapa? Kenapa bersikap seenaknya mecat orang gitu? Kamu yang punya kafe ini emangnya?” sinis Awan pada Bu Adel.
Bu Adel mengangguk, lalu mengambil sesuatu dari tasnya. Ketiga teman Awan sudah mengkeret, khawatir akan s*****a apa yang akan muncul, tapi wanita itu hanya mengeluarkan sebuah kartu nama dan memberikannya pada Awan.
Awan baru akan membaca tapi kepalanya didorong kepala Wiki yang melongok ingin ikut membaca. Awan yang kesal memukul kepala Wiki.
“Sabar, gue dulu, ntar gue kasih ke elo,” jengkel Awan.
Wiki manggut-manggut dan mengalah, membiarkan Awan membaca lebih dulu.
Adelia Wiratmadja. CEO A Café. Alias pemilik kafe tempat Awan berada sekarang.
Awan menggeser kartu nama itu ke arah Wiki yang langsung menyambarnya. Awan lalu menatap Adelia, Adel panggilannya, kalau berdasar cara Nugie si Manajer memanggil tadi. Awan memasang pose terkerennya.
“Jadi, kamu mau bayar ganti rugi berapa karena udah nabrak saya?” tuntut Awan.
Mengejutkan Awan, Adel mendengus. “Bisa dicek dari black box mobil saya, kalau kamu yang tadi menabrak mobil saya. Kayaknya tadi mobil saya ada yang lecet. Harusnya saya yang menuntut kamu.”
“Jangan sembarangan, Bu!” seru Wiki sembari berdiri.
Awan sudah senang karena ada yang membelanya, sampai Wiki melanjutkan,
“Sahabat saya ini makan aja ngutang atau nebeng pacarnya. Uang dari mana dia bayar ganti rugi?!”
Awan yang kesal menarik Wiki untuk duduk, tapi Wiki malah duduk di pahanya. Awan yang kesal akhirnya mendorong Wiki hingga Wiki duduk di lantai. Pintar-pintar suka tidak dipakai otaknya itu. Kan sebal.
“Lo duduk di situ aja,” kata Awan. Ia lalu menatap Adel. “Saya nggak nabrak mobil kamu. Saya tadi shock karena kamu hampir nabrak saya dan pingsan.”
“Kamu nggak pingsan,” sahut Adel.
“Saya pingsan, tapi langsung sadar gara-gara kamu mukul ‘anu’ saya!” sembur Awan.
“Apa itu ‘anu’?” dengus Adel meremehkan. “Penting?”
Wah … mulut pedas wanita itu … belum pernah dicium Awan memang.
“Nggak cuma ngerusak mobil saya, kamu juga mau nipu saya? Kamu pura-pura pingsan dan mau minta ganti rugi.” Adel mengangkat ponselnya. “Biar saya telepon pengacara saya, nanti kamu bicara sama dia aja. Saya sibuk.”
“Bu, tunggu, Bu!” seru Ramli yang sudah berdiri. Biasanya kalau si Blo’on beraksi, masalah jadi semakin rumit.
“Tolong kasihani teman saya, Bu. Dia beneran nggak punya uang, Bu. Bayar kos sama makan aja masih saya utangi. Itu pun nggak pernah dibayar. Belum lagi, dia baru kehilangan mata pencahariannya. Dia baru diputusin pacarnya, jadi mulai besok nggak ada yang ngasih dia makan, Bu,” lanjut Ramli.
Awan menghela napas. Benar, kan? Kenapa ia punya teman modelnya begini semua? Kenapa mereka harus menistakan Awan, itu pun di depan wanita iblis sombong ini?
Mata Adel menyipit menatap Awan. “Jadi, kamu pengangguran, nggak punya uang, hidup bergantung utang dan kekasihmu?”
Awan tentu tak mau mengakui itu, tapi s**l ketiga sahabatnya yang terkutuk itu. Mereka kompak menjawab, “Iya, Bu!”
“Nggak usah dijawab terus kalau dia nanya! Emangnya dia guru kalian?!” sembur Awan kesal.
“Ya, daripada elo dipenjara, Bro,” balas Nugie.
“Oke. Kalian boleh pergi,” kata Adel seraya berdiri.
Awan melongo. Serius? Boleh pergi begitu saja?
Adel menatap Awan. “Simpan nomor saya di kartu nama itu. Nanti saya akan menghubungi kamu.”
“Ha? Menghubungi saya kenapa? Buat apa?” kaget Awan.
Namun, Adel tak menjawab dan berbalik, lalu pergi dari ruangan itu. Awan menatap ketiga temannya bingung.
“Bro, gimana sekarang?” panik Wiki yang masih duduk di lantai.
Awan mengacak rambutnya dan mengerang kesal. Ia sendiri juga tidak tahu.
***
Adel sudah akan pulang ketika Siska masuk ke ruangannya sore itu. Siska adalah sekretaris sekaligus orang kepercayaannya. Bahkan Adel seringnya menyerahkan pengecekan ke cabang-cabang kafenya di luat kota dan luar pulau pada Siska.
“Saya sudah mendapat informasi tentang orang yang Ibu minta,” Siska berkata.
Adel yang sudah berdiri, kembali duduk dan memberi isyarat agar Siska menyampaikan informasi yang dia punya.
“Namanya Awan Cakrawala,” Siska memulai.
Jadi, namanya asli? Bukan nama yang biasa.
“Umur 26 tahun, pengangguran. Kos di dekat kafe pusat. Keluarganya tinggal di kota ini juga, ada ayahnya, pemilik bisnis kecil yang cukup sukses, dan seorang adik perempuan yang sudah menikah dan punya seorang bayi perempuan.” Siska berhenti.
Adel mengerutkan kening. “Udah? Itu aja?”
Siska meringis sungkan. “Tentang keluarganya itu saja, Bu. Tapi, tentang pendidikannya, dia sebenarnya cukup cerdas. Saya juga nggak tahu kenapa dia masih saja jadi pengangguran setelah empat tahun lebih lulus kuliah.”
Adel berpikir sejenak. Setidaknya, pria itu tidak bodoh. “Kalau dia punya keluarga di sini, kenapa dia tinggal di kos dengan menyedihkan gitu?”
Siska menggeleng. “Apa saya perlu mencari tahu tentang itu, Bu?”
Adel menggeleng. “Nggak penting. Satu hal yang penting, dia butuh uang dan dia akan ngelakuin apa pun demi uang.”
“Sepertinya … begitu, Bu,” Siska menyetujui. “Oh iya, untuk informasi seperti nomor telepon dan alamat kosnya ada di laporan ini.”
Adel mengangguk. “Oke, kamu tinggal berkas itu di sini dan kamu boleh pergi. Kamu langsung pulang aja. Aku juga langsung pulang habis ini.”
Siska mengangguk dan meletakkan berkasnya di meja Adel, lalu pamit pergi. Sepeninggal Siska, Adel membuka berkas di mejanya tentang Awan.
Adel menatap foto pria itu dan menelengkan kepala. Di foto itu, rambut hitam ikalnya sangat berantakan, senyum lebarnya membuatnya tampak seperti i***t, sementara pakaian yang dikenakannya, kaus belel dan jeans usang yang robek bagian lututnya. Penampilannya di kafe tadi lebih rapi dari ini. Namun, tebakan Adel, itu karena dia harus mengemis uang makan pada kekasihnya. Atau mantan kekasihnya, karena dia baru saja putus.
Pria menyedihkan.
***