Chapter : 3

2038 Kata
  Tessa berdiam diri dalam kubangan busa sabun yang menutupi sebagian tubuhnya. Air hangat yang cukup membuat saraf di tubuhnya sedikit lebih tenang dan mengendur. Tessa menyandarkan kepalanya pada kepala bathtub, menatap langit-langit kamar mandi. Hari yang sangat melelahkan dengan perasaan yang tak menentu. Tubuh Tessa seakan tertinju hingga tersungkur. Tawaran dan saran yang diberikan Astrid menggerogoti setengah hari Tessa. Ide untuk berlibur sudah menggerayangi pikiran Tessa sejak pagi hari. Tessa meneguk wine dalam gelas kaca yang ia letakkan di lantai tepat di samping bathtub. Merasakan sensasi yang meletup pada saraf di dalam kepala Tessa. Percikan di sepanjang tenggorokannya menghadirkan sesasi yang Tessa butuhkan. Pernikahan yang menginjak usia dua tahun yang dirasa begitu panjang bagi Tessa, terutama satu tahun terakhir dengan sikap Darek yang perlahan terasa dingin, acuh dan seakan kesibukan telah mengubah dirinya. Tessa berusaha untuk menutup mata dan mengabaikan perasaannya akan apa yang terjadi di hadapannya. “Kau wanita terbaik yang dapat mendampingi putraku, Tes.” Kalimat yang dikatakan oleh Kamala Wagner saat Tessa merasa tak yakin akan pilihannya menerima kencan Darek tiga tahun yang lalu.   Kisah yang kembali bergulir di dalam ingatan Tessa. Bagaimana pertemuannya dengan Darek di sebuah pesta keluarga Wagner. Tessa Madison yang datang untuk menggantikan ayahnya Erlan Madison yang berhalangan hadir pada pesta yang diadakan Kamala Wagner. Di sanalah kisah perjalanan Tessa Medison dan Darek Wagner. Darek pria yang baik dengan pekerjaan yang kian mapan, itu yang dikatakan ayah Tessa. Kencan pertama keduanya terjadi satu minggu usai pesta keluaga Wagner. Darek mengajak Tessa makan di sebuah restoran yang menurut Tessa sangat mewah, itu pemikiran Tessa saat dirinya berdiri memandangi nama restoran yang tertulis besar di hadapannya. Tessa melangkah dengan perasaan yang senang, mendorong pintu restoran dan di sambut oleh seorang pelayan wanita dengan seragam kuning dan sebuah celemek menggantung di pinggang. “Anda memesan tempat atas nama siapa?” tanya pelayan cantik itu. Restoran yang tak pernah sepi dan sejak kepindahannya ke Berlin karena tugas sang ayah, Tessa selalu penasaran untuk merasakan kelebihan yang ditawarkan restoran tersebut dibandingkan restoran sejenis lainnya di Berlin. “Wagner.” Tessa menyebutkan nama Wagner. “Darek Wagner,” imbuh Tessa dan wanita itu langsung mencari dalam deretan nama yang ada padanya. “Kamala Wagner,” kata wanita itu sambil mengangkat wajahnya untuk menatap Tessa. Tessa menatap wanita pelayan itu dengan terkejut. “Silahkan.” Satu kata yang membuat Tessa lepas dari keterkejutannya dan berjalan mengekor di belakang wanita pelayan itu. “Bagaimana mungkin yang memesan tempat ini…” gumam Tessa saat menatap sekelilingnya yang tampak ramai oleh pengunjung. Letak meja yang terasa sempurna di pinggir jendela dengan pemandangan taman yang ada di samping restoran. Kemunculan Darek tiga puluh menit setelah Tessa menghabiskan secangkir latte yang dipesannya. Tessa melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan dengan waktu yang telah berlalu dan latte dalam cangkir yang hanya tinggal sedikit. “Tessa.” Darek yang datang dengan terkejut dengan menemukan Tessa di tempatnya. Wajah Darek dan keterkejutannya membuat Tessa bingung dengan situasi yang ada di sekelilingnya. “Kau ada di sini?” “Bukankah kau yang---” “Tidak, aku rasa terjadi kesalahan,” potong Darek cepat.  Awal yang dirasakan Tessa bagai perjodohan. Kencan yang terasa aneh dan Tessa telah melayangkan protes pada sang ayah sekembali dirinya pulang ke rumah dan mendapati Erlan Madison berbicang dengan seorang tamu yang tak lain Kamala Wagner. “Kau sudah kembali?” tanya Erlan terkejut dengan kemunculan Tessa di ambang pintu teras samping rumahnya. Erlan dan Kamala yang beranjak dari duduk, keduanya tersenyum ke arah Tessa. “Kebetulan sekali aku menemukan kalian di sini. Ada hal yang harus aku tanyakan.” Tessa mengatakannya dengan lugas, menatap Erlan dan Kamala bergantian. “Aku yang akan menjelaskannya padamu, Nak,” ujar Kamala lebih dulu, ia tahu akan kebingungan Tessa. “Aku dan ayahmu yang mengatur pertemuan kalian. Kau dan Darek putraku.” “Jika kalian ingin menjodohkanku dan---” “Darek pria yang pemalu, Tes,” potong Kamala. Kelopak mata Tessa melebar, matanya membulat menatap Kamala yang melirik Erlan. “Ia tak akan memulai jika aku tidak membantunya.” “Apa maksud Anda?” buru Tessa masih penasaran. Kamala menelan ludah dan berjalan satu langkah untuk mendekat ke arah Tessa, menjulurkan tangannya dan meletakkan telapak tangannya di bahu Tessa sambil tersenyum. “Darek tertarik padamu, namun ia tidak tahu cara untuk mendekat padamu,” ucap Kamala yang membuat Tessa terkejut. Alis Tessa naik sebelah bersamaan dengan tepukan telapak tangan Kamala di bahu Tessa sebanyak dua kali sebelum ia menarik tangannya kembali. “Darek pria yang baik, Tes. Aku suka jika---” “Tidak, Dad. Aku tak suka dengan ide perjodo---” “Tidak Tessa, tidak seperti itu.” Kamala memotong kalimat Tessa dengan cepat. “Darek akan mengatakannya padamu. Aku akan---” “Tidak,” tangkis Tessa sebelum dirinya berlalu dari hadapan Erlan dan Kamala dengan perasaan kesal.   Ponsel yang menderu di lantai membuat lamunan Tessa menguap ke udara. Tessa mengangkat kepalanya, menoleh untuk menatap layar ponselnya dan ada nama Astrid muncul. “Hi,” sapa Tessa mengawali percakapan saat ia menerima panggilan telepon Astrid. “Hi, Tes. Aku baru saja mengirimkan beberapa pilihan paket liburan untukmu dan juga Darek. Kau harus memilihnya paling lambat besok,” ucap Astrid tanpa basa-basi dan mengatakannya dengan cepat seakan ia lupa bernapas. Tessa duduk tegak di dalam bathtub dengan terkejut. “Aku, aku belum sempat untuk---” “Kau harus mengatakan rencanamu pada Darek malam ini, Tes.” Astrid memotong kalimat Tessa yang belum selesai ia katakan. Tessa menarik napas pajang sementara telinganya mendengar bunyi jemari Astrid yang bergerak di atas keyboard. “Jangan katakan kau masih berada di kantor, Astrid.” “Tidak. Aku sudah di rumah.” Tessa mengangguk pelan, meraih gelas kaca berisi wine miliknya yang tersisa setengah. “Bagaimana menurutmu?” tanya Astrid bersama dengan keheningan. Astrid menghentikan jarinya untuk mengetik. Tessa terdiam sebelum ia kembali meneguk wine dalam gelasnya dan meletakkannya di pinggiran bathtub. “Baiklah, aku akan berbicara dengannya malam ini.” “Good. Aku menanti kabar darimu. Aku akan mengurus semuanya untukmu.” “Thanks, Astrid.” “Sure, honey.”   Tessa mengikat piyama handuknya sebelum ia berjalan keluar dari dalam kamar mandi. Melayangkan pandangan matanya ke seluruh sudut kamar dan tidak mendapati sosok Darek. “Darek.” Tessa memanggil nama Darek dengan lantang, tak ada sahutan dan ia pun memutuskan untuk keluar dari kamar. “Darek.” Sekali lagi Tessa memanggil dan suaranya bergema di keheningan rumah besar mereka. “Di mana dia?” gumam Tessa seorang diri dengan langkah menelusuri rumah, dapur yang kosong dengan dua buah piring dan dua cangkir kopi kotor yang tergeletak di wastafel dapur. “Darek.” Tak ada jawaban. Tessa kembali melangkah ke ruangan lain. Ruang tengah yang sudah berubah gelap. “Di mana dia?” Tessa menarik napas dan kembali mengedarkan pandangan matanya ke arah lain hingga menangkap cahaya lampu ruang kerja dalam rumah mereka yang masih menyalah. “Aku tidak mungkin meninggalkannya saat ini. Apa alasanku melakukannya?” Suara milik Darek yang terdengar samar di telinga Tessa sebelum ia berjalan mendekat. Tessa berdiri di balik pintu sementara Darek berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. Terdengar dari alas kaki yang menggesek lantai. “Tidak. Aku tidak bisa meninggalkannya. Kau harus tahu jika---” Kalimat Darek berhenti, disusul dengan tarikan napas dan hembusannya yang keras. “…Aku akan memikirkannya,” sambung Darek setelah terdiam. Hening kembali dan Tessa terkejut dengan yang didengarnya. Berbagai pertanyaan mulai menghinggapi isi kepalanya. “Aku tidak mungkin mengatakan kebenarannya jika… tidak. Aku akan mencari cara lain.” Suara Darek kembali terdengar. “Kita akan membicarakannya lagi besok. Aku menunggumu di kantor.” Kalimat terakhir yang di dengar Tessa. “Sial,” maki Darek seorang diri dan Tessa langsung berjalan meninggalkan tempatnya. ***   “Kau pergi dan menerima penugasanmu di Berlin bukan karena patah hati kan, Theo?” goda Sean, temannya di kesatuan polisi negara bagian Florida. “Kau meledekku?” timpal Matheo sebelum ia meneguk cola dalam kaleng yang digenggamnya. Sean, pria yang usianya lebih muda dari Matheo tampak terkekeh di balik kemudi. Keduanya dalam perjalanan menuju bandara untuk kepulangan Matheo ke Berlin. “Aku akan merasa kehilanganmu, Kawan,” ungkap Sean. Matheo hanya meringis. “Kau tak akan kehilangku saat berada di atas tubuh kekasihmu, b******k,” sindir Matheo sambil menoleh untuk menatap sahabatnya yang berada di balik kemudi dan keduanya terkekeh. Keduanya terdiam untuk beberapa detik. “Gadis di Berlin tak kalah cantik,” goda Sean lagi dan Matheo melayangkan pandangan matanya keluar kaca mobil. Deretan mobil yang menembus kemacetan sore kota Florida. “Kau harus menghentikan petualanganmu dengan para wanita. Sudah saatnya kau---” “Jangan menasehatiku,” potong Matheo dengan seringai miring yang tampak dari samping bagi Sean. Cincin bermatakan berlian dalam kotak kecil beludru merah masih berada di saku jaket yag dikenakan Matheo. Cincin yang seharusnya ia sematkan di jari Annabelle usai pagelaran busana beberapa jam lalu. Namun semuanya berubah menjadi akhir tanpa kata-kata. “Kau kurang mengupayakannya, Theo. Dan rasanya kita sudah membicarakan hal ini.” Matheo mengeluarkan kotak kecil dari dalam saku jaket yang dikenakannya. Sean meliriknya dari sudut mata sebelum kembali menatap jaAstridn yang membentang di hadapannya. “Aku sudah melakukan yang harus aku lakukan. Aku berniat untuk---” “Ia masih terlalu muda dan kau tahu jika dia----” “Ya kau benar, dan aku sudah membahas hal ini denganmu, Sean.” Matheo menghela napas dan menatap lurus ke depan. “Aku turut prihatin untukmu, Kawan,” ucap Sean sambil menepuk bahu Matheo dan pria itu tersenyum getir setelahnya.   ***   Tessa sedang menyisir rambutnya saat Darek membuka pintu kamar. Tessa duduk di depan meja rias yang berada di sudut kamar. Tessa menyisir rambutnya yang masih basah. “Kau belum tidur?” tanya Darek dengan suara yang terdengar terkejut. Tessa menatap Darek dari pantulan cermin di hadapannya. Darek yang tampak gugup dan masih berdiri di ambang pintu meski pintu di belakangnya telah menutup. “Aku menunggumu.” Dua kata yang mampu dikatakan Tessa sebelum ia berbalik untuk menghadap ke arah Darek. Keduanya saling bertatapan sebelum Darek berjalan ke arah tempat tidur dan duduk di sana. “Ada hal yang ingin aku katakan padamu.” Tessa melanjutkannya. Tessa meletakkan sisir di tangannya ke atas meja lalu beranjak dari duduk sedangkan Darek telah menaikkan kedua kakinya ke atas tempat tidur dan bersiap menarik selimut. “Bisa kita bicarakan besok?” “Tidak,” sambar Tessa cepat yang membuat Darek mengerutkan dahi. “Aku harus mengkonfirmasinya besok pagi. Tak ada waktu lagi,” imbuh Tessa yang kian membuat Darek bingung. Tessa berjalan mendekat ke arah nakas di samping tempat tidurnya, mencabut kabel charger yang tertancap di ponselnya. “Aku merencanakan liburan untuk kita akhir pekan ini, Darek.” Tessa mengatakannya sambil membuka ponselnya lalu duduk di tepian tempat tidur. “Astrid telah membantuku untuk mempersiapkan segalanya.” Tessa menyodorkan ponselnya pada Darek. Menunjukan salinan brosur yang dikirimkan Astrid melalui email. Tampak Darek terdiam menatap ponsel Tessa. Tessa menanti jawaban dari suaminya yang seolah sedang berpikir sambil menggeser layar ponsel dengan ujung jarinya.   “Bagaimana menurutmu?” tanya Tessa memecah keheningan yang hanya sebentar. Tessa menarik kembali ponselnya. Menatap Darek dengan tatapan menyelidik namun penuh harap. Tessa ingin Darek menyetujui ajakannya. Darek menarik napas, tersenyum ke arah Tessa. “Aku akan menjawabnya besok pagi. Aku harus… melihat jadwalku dan aku meninggalkan ponselku di ruang kerja,” jawab Darek diplomatis disusul dengan senyuman segaris. Tessa membeku bersama dengan tarikan kedua sudut bibirnya. “Waktunya kita tidur, Sayang.” Darek menghempaskan kepalanya di atas bantal, lalu menarik selimut. “Aku ingin kau juga beristirahat. Good night, Baby,” tambah Darek dan ia menutup matanya sebelum membalikkan tubuhnya, berbaring miring memunggungi Tessa yang masih duduk di tepian tempat tidur sambil menatapnya. Kekecewaan yang menghinggapi Tessa meski ia telah siap dengan apa yang akan didengarnya dari Darek. Tessa menarik napas panjang, mengembuskannya dengan napas dengan kesal. Tessa meletakkan ponselnya kembali ke atas nakas, menaikan kedua kakinya untuk masuk ke dalam selimut sebelum membaringkan tubuhnya. Darek yang masih membelakanginya saat Tessa menoleh untuk menatapnya. “Siapa yang berbicara dengannya tadi?” batin Tessa sebelum ia kembali menyambar ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan pada Astrid. Tessa Wagner: Aku akan datang terlambat besok. Tessa menutup ponselnya dan meletakkan benda pipih itu kembali ke tempatnya.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN