2

1337 Kata
"Kamu yakin mau nikah sama om-om begitu, Zi?" tanya Dessy, sepupu dari pihak mami Zia yang lebih tua tujuh tahun darinya. "Memang om-om sih, Kak. Tapi nggak kelihatan tua kok," jawab Zia. Tapi ada sebersit keraguan muncul di hatinya. "Nggak apa-apa Zi, nanti pas dia sudah tua kamu masih tetap cantik. Jadi aman, seumur hidupnya suami kamu nggak bakalan lirik daun-daun muda, toh istrinya masih tetap cantik sepanjang umur dia." Mia, sepupunya yang lain menanggapi. "Tolong ya, Kak Mia, situ memang sudah tua. Jadi wajar saja bisa nerima. Lha ini, si Zizi baru enam belas tahun. Nikah sama cowok yang umurnya dua kali lipat dari usia dia saat ini benar-benar nggak bisa diterima. Kasihan Zizi, nggak bisa nyicipin masa muda." Zia adalah yang paling muda di antara sepupu-sepupunya. Cucu terkecil bagi nenek dan kakek dari pihak maminya. Sementara dari pihak sang papi, Zia malah sama sekali tidak punya sepupu karena papi Zia adalah anak tunggal. "Tapi Zia sendiri bilang nggak kelihatan tua kok. Ya kan, Zi?" Mia melirik Zia yang hanya diam menonton perdebatannya dengan Dessy. "Ganteng banget malah, ya? Aku aja mau." Zia mengangguk. Mia menyeringai senang pada Dessy. "Bang Beni... Bang Beni, Kak Mia kegatelan," ucap Dessy seakan memanggil-manggil suami Mia. "Ih, dasar pengadu. Sudah mau punya anak juga," cibir Mia. "Malu sama yang di perut." Tunjuknya pada perut Dessy yang masih rata. "Kamu tuh juga nikah muda, Des. Jadi nggak usah sok melarang-larang Zia." Dessy melotot. "Aku nikah pas udah lulus kuliah ya, Kak. Memang sih menurut orang ini juga terhitung nikah muda. Tapi tetap di atas dua puluh tahun. Bukan enam belas tahun kayak Zizi ini." "Nggak masalah dong. Lagian ini Zizi nggak langsung tinggal serumah juga sama suaminya. Nikah itu lebih baik, daripada Zizi pacar-pacaran nggak jelas nantinya. Ngurangin dosa," Mia terus membantah. "Ya ampun, cowok itu bahkan bukan pilihan Zizi sendiri," keluh Dessy. Ia memang teramat menyayangi Zia seperti adik sendiri. Karena Dessy adalah anak bungsu dan kebetulan Zia adalah anak tunggal. "Ini kamu kenapa mau-mau aja sih Zi dijodoh-jodohin begitu?" Zia meringis. "Papi sakit, Kak," jawabnya lirih. "Papi bilang, nggak tahu kapan ajal menjemput. Jadi kalau bisa minta, Papi ingin lihat Zi nikah. Nggak langsung minta cucu kok. Tapi setidaknya Papi bisa merasakan menjabat tangan laki-laki yang akan menjadi suami Zi pas akad diucapkan." Dessy terdiam. Ia sama sekali tak menyangka jika itu alasan di balik pernikahan sepupunya yang mendadak ini. "Om Neldy sakit apa Zi? Aku pikir tadi karena orangtua kamu punya hutang atau apa makanya sampai tega jual kamu ke om-om, aww..." Mia mencubit lengan Dessy. Gemas dengan pikiran nyelenehnya. "Jantung," jawab Zia tak bersemangat. Penyakit ini baru diketahui belakangan, dan tanggapan papi Zia langsung seakan hidupnya telah divonis hanya tersisa beberapa bulan. "Tapi kan penyakit itu bisa di—" "Kita memang nggak bisa tahu kapan ajal menjemput, Des," sela Mia. "Jadi sudah, biarkan Zizi mematuhi keinginan orangtuanya. Jangan mendebat lagi." Dessy tahu, seharusnya ia memang sebaiknya diam saja. Zia adalah putri yang sudah cukup lama ditunggu-tunggu. Zia lahir saat papinya sudah berusia empat puluh tiga tahun, sementara sang mami tiga puluh delapan tahun. Usia yang sungguh tidak lagi muda. Jadi wajar saja jika keinginan untuk menikahkan itu muncul dari orangtua Zia. "Tapi kenapa calonnya harus setua itu sih?" cetus Dessy, sulit menahan diri untuk berhenti protes. "Daripada sama yang muda-muda tapi nggak jelas," sahut Mia. "Lagian juga ini calonnya Zizi kan memang sudah dikenal orangtuanya sejak lama. Jadi jelas om Neldy sudah yakin sama pilihannya." Kening Dessy berkerut-kerut. Ia masih saja sulit menerima. Enggan melepas adik kesayangannya pada pria setua itu. "Kamu gimana, Zi? Memang nggak keberatan?" tanyanya. Ini adalah usaha terakhirnya. Apa pun nanti jawaban Zia, ia akan mendukung keputusan gadis itu. Zia mengangguk. "Zi yakin sama pilihan Papi. Dan kalau Papi senang, Zi juga pasti akan senang," jawab Zia mantap. Dessy mengembuskan napas panjang. Membuat Mia yang melihatnya tertawa. "Sudah dengar sendiri, kan? Jadi sudah ya, Des. Jangan berusaha ngehasut Zizi lagi." "Seharusnya dulu aku ajarin kamu jadi anak yang ngebangkang aja ya, Dek," ujar Dessy sambil menatap Zia dengan muka masam. Menyesali sikap sepupunya yang begitu penurut ini. Zia hanya tersenyum. Sejak kecil ia memang dididik untuk patuh dan yakin bahwa membahagiakan orangtua akan mendatangkan kebahagiaan. Lagipula ide menikah itu tidak buruk juga. Nanti setelah lulus sekolah, Zia tidak perlu lagi repot-repot menyeleksi laki-laki untuk menjadi calon suaminya. Zia tersenyum mengingat percakapan dengan dua sepupunya dulu. Ah, belum apa-apa ia sudah merasa rindu dengan mereka. Tersenyum, Zia pun meraih ponsel dan segera menelepon sepupunya. Ia ingin mengabarkan hasil tur singkatnya bersama Zavier tadi di rumah barunya ini. *** "Emm... Zavi," Zia mencoba menarik perhatian pria yang tengah makan di kepala meja, persis di sebelah kirinya. Usaha Zia berhasil. Zavier mengangkat kepala dan menoleh padanya. "Ya?" tanyanya. Tapi belum apa-apa, keinginan bertanya Zia sudah surut karena Zavier yang memandangnya dengan wajah tak berminat. Seolah kata-kata Zia sama sekali tidak penting untuk diucapkan. Tapi Zia segera mengumpulkan kembali keberaniannya, sebelum terlanjur menyusut. "Kamu... biasa sarapan apa?" tanya Zia untuk memulai pembicaraan pada makan malam pertamanya di sini. Keheningan yang terjadi cukup membuat Zia tidak nyaman. "Apa saja." "Ada makanan yang tidak disukai?" tanya Zia lagi. Zavier tampak berpikir sejenak. "Tidak," jawabnya kemudian. "Aku makan apa saja selagi itu enak di lidah." Zia mengangguk paham. Rencananya, besok dia ingin memasak sesuatu untuk sarapan Zavier. Sebagai sebuah langkah awal kehidupan rumah tangganya. Namun, sebelum itu Zia harus tahu lebih dulu makanan yang disukai dan tidak disukai Zavier. Sesuatu yang wajib diketahui istri, kata kak Dessy saat Zia meneleponnya tadi sore. "Biasanya kamu minum apa pagi hari? Kopi, teh, atau s**u?" "Kopi," sahut Zavier yang kembali melanjutkan makan. "Apa selama ini kamu pernah melihatku berminat pada minuman lain?" Zia mengutuk dalam hati. Tentu saja kopi. Pria ini penggila kopi. Setiap Zavier berkunjung ke rumahnya, saat pagi hari, Mami pasti selalu menyeduh kopi untuknya. "Tidak, aku hanya bertanya," balas Zia lesu. Selama dua tahun pernikahan mereka, Zia jarang sekali melihat Zavier tersenyum. Zia bahkan sempat curiga wajah Zavier terbuat dari serat entah apa yang sangat kaku hingga membuat otot-ototnya sulit tertarik membentuk senyuman. Jika sesekali tersenyum, hanya sudut-sudut bibirnya saja yang terangkat. Senyum yang tidak pernah mencapai mata. Namun, Zia cukup kagum karena sampai saat ini Zavier tetap saja tampan dan bebas keriput meskipun miskin senyuman. Harusnya ia tidak heran lagi jika Zavier menanggapi pertanyaannya seperti tadi. Pria ini memang tidak pernah beramah-ramah dan begitu manis padanya. Tetap datar dan apa adanya. "Kamu sendiri?" Zia kaget. Ia tidak menyangka kalau Zavier akan bertanya balik. Ia kemudian berdeham untuk menjawab. "Emm... aku lebih suka minum susu." Zavier mengangguk. "s**u baik untuk masa pertumbuhan." Apa?! Zia melotot. Apa barusan Zavier ingin mengatakan bahwa ia masih anak kecil? Huh, asal Zavier tahu saja, Zia juga bisa minum kopi. Meskipun itu akan membuatnya terjaga sepanjang malam. "Kalau makanan?" tanya Zavier kemudian. Memberi pertanyaan yang sama dengan yang diutarakan Zia sebelumnya. "Sama sepertimu, aku bisa makan apa saja selama itu enak di lidah," jawab Zia. "Eh, terkecuali mungkin kangkung. Karena perutku biasanya terasa nyeri setelah memakannya. Aku tidak tahu mengapa bisa begitu, jadi aku tidak suka kangkung karenanya. Oh mungkin jengkol dan petai juga. Karena selain bau, rasanya membuat lidahku terasa pecah-pec—" Zia menghentikan ucapannya karena menemukan Zavier tengah menatapnya dengan sudut bibir yang sedikit terangkat. Seketika ia dilanda kegugupan. "Kena... pa?" tanya Zia hati-hati. "Aku baru tahu kamu juga bisa mencerocos begitu," jawab Zavier. Ada binar geli di matanya. Zia tampak malu dan seketika salah tingkah. Apa ia terlalu banyak bicara ya tadi? Harusnya ia bisa lebih tenang, seperti perempuan dewasa. Ia pasti terlihat konyol sekarang. Wajar pula tadi Zavier menganggapnya masih anak kecil. Minuman favoritnya bahkan masih saja s**u. "Maaf. Aku kadang memang suka seperti itu." "Tidak apa-apa," sahut Zavier. "Omong-omong, kapan perkuliahanmu dimulai?" "Mungkin masih beberapa minggu lagi," jawab Zia. "Masih ada serangkaian ospek yang harus kulalui lebih dulu." Zavier mengangguk-angguk. Kemudian, ia menatap Zia dengan dahi berkerut. "Kenapa kamu berhenti makan? Apa makanannya tidak enak?" Zia tersentak dan buru-buru menyuap makanannya. "Tidak. Ini enak kok," ucapnya berusaha keras menikmati makanan tersebut. Sebenarnya makanan ini memang enak. Tapi selera makan Zia mendadak bermasalah sejak Zavier menatap geli padanya saat Zia mencerocos tadi. Zavier menatapnya sejenak, lalu setelah tampak percaya dengan ucapan Zia sebelumnya, ia pun kembali melanjutkan makan tanpa bicara apa-apa lagi. Zia mengeluh dalam hati. Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa untuk urusan makan saja bisa jadi serumit ini? Mungkin ini disebabkan karena ia yang belum terbiasa. Ya pasti begitu. Karena selama ini setiap bertemu Zavier, Zia terbiasa menganggapnya sebagai tamu kedua orangtuanya yang berkunjung ke kediaman mereka. Tapi kali ini jelas berbeda, dan Zia hanya perlu membiasakan diri. *** Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN