2. Rumah untuk Pulang

999 Kata
Hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku adalah mengenalmu. *** Genta mendudukkan tubuhnya di sofa tua yang ada di kontrakan barunya. Hanya kontrakan kecil yang berada di sebuah kampung tepat di belakang perumahan tempat tinggalnya dan Elea. Genta hanya bisa mengontrak rumah kecil ini. Ia tidak bisa membelinya karena uang tabungannya tidak cukup. Sebenarnya ia bisa saja membeli rumah ini, tapi jika ia membelinya maka Genta tidak akan ada tabungan untuk satu bulan ke depan bersama Elea. Beruntung rumah kontrakan dengan dua kamar ini sudah diisi oleh beberapa barang seperti perabotan dapur, sofa, kasur dan lemari. Tapi hanya ada satu kasur. Itu artinya Genta harus membeli satu kasur lagi. Tanpa ingin membuang waktu lagi, Genta langsung pergi ke toko untuk membeli kasur, televisi dan kipas angin untuk Elea. Dua jam kemudian semua barang pesanannya telah diantara. Genta memijat pelan bahunya yang terasa sakit. Wajah dan tubuhnya masih sakit karena pukulan brutal papanya dan papa Elea. Genta mulai menata kamar yang akan ditempati Elea. Kasur empuk yang telah diberi seprai dan selimut, lemari, dan kipas angin di samping kasur. Genta berharap Elea menyukai kamar ini. Setidaknya kamar ini jauh lebih baik dari kamar miliknya yang hanya berisikan kasur bawaan yang sudah lusuh dari kontrakan ini dan sebuah lemari. Tabungan yang selama dua tahun terakhir ia kumpulkan hampir habis untuk ini. Hanya tersisa lima juta untuk hidupnya dengan Elea setidaknya satu sampai dua bulan ke depan sampai Genta mendapat pekerjaan. Genta merebahkan tubuhnya di kasur tipis yang ada di kamarnya. Ia memejamkan matanya. Bayangan saat ia bermain dengan Elea berputar dibenaknya. Genta dan Elea sudah berteman sejak lama. Tepat setelah Elea pindah rumah ke depan rumahnya lima tahun yang lalu saat mereka masih duduk di bangku kelas satu SMP. Seiring kebersamaan mereka, Genta jatuh cinta pada Elea tanpa gadis itu tau. Mungkin, Genta terlalu malu untuk mengungkapkan perasaannya, terlalu takut jika Elea menolaknya. Hingga pikiran bodoh itu muncul dan menyuruhnya untuk melakukan hal keji itu pada Elea satu bulan yang lalu. Entah setan jenis apa yang menghasut Genta untuk melakukan itu. Cowok itu mungkin tidak sadar jika perbuatannya bisa membuat Elea membenci dirinya setengah mati. Dan itu terbukti sekarang. Setelah kejadian itu, Elea membencinya setengah mati. Atau mungkin membencinya sampai mati. "Maafin gue, Lea. Gue terlalu cinta sama lo." Sejujurnya Genta menyesal melakukan ini. Seharusnya ia sadar jika Elea akan membencinya, bukan malah balik mencintainya. *** Karena sang papa yang sudah mengusirnya, Elea terpaksa harus ikut dengan si b******n Genta ini. Elea mengikuti Genta dari belakang lalu memasuki kontrakan kecil di pinggir perkampungan padat ini. Genta membawanya memasuki sebuah kamar. "Ini kamar lo. Kalo lo merasa kurang dan butuh yang lain, lo tinggal bilang gue. Kamar gue di samping. Toilet ada di dapur," ujar Genta sambil menaruh koper milik Elea di samping lemari. Elea tidak menjawab. Ia berdiri membelakangi Genta. "Gue keluar sebentar, mau beli makan. Lo mau sesuatu?" tanya Genta. Elea masih diam sampai lima detik berikutnya. Sejujurnya Elea tengah berusaha untuk mengeluarkan suaranya. Menyuarakan keinginannya pada Genta yang sekarang tengah ingin makan bubur kacang hijau. Tapi Elea terlalu gengsi mengatakannya hingga sampai satu menit berikutnya pun Elea tak kunjung bicara. "Yaudah kalo nggak ada. Gue pergi dulu," katanya. Genta lalu keluar dari kamarnya. Setelah Genta pergi, Elea mendudukkan dirinya di kasur single empuk yang berlapis seprai bermotif bunga. Kasur ini terlihat baru karena kepala ranjangnya masih terbungkus plastik. Lalu Elea menoleh, menatap kipas angin yang masih terbungkus plastik juga. Elea membongkar kopernya dan menyimpan baju-baju miliknya kedalam lemari. Mengabaikan ngidam pertamanya yang menginginkan bubur kacang hijau. Elea mencoba untuk menyingkirkan bayang-bayang menjijikan itu dari pikirannya. Namun sekuat apapun ia berusaha, bayangan itu tetap menghantuinya. Elea menangis mengingat kejadian itu. Satu bulan yang lalu hingga saat ini adalah titik terendah dalam hidupnya. Mungkin hidup bersama Genta adalah titik terendah dalam hidupnya, dan ia tidak tau harus sampai kapan ia hidup bersama Genta. Kenyataan papa mengusirnya membuat Elea tidak bisa kembali ke rumahnya. Apalagi saat Henry mengatakan jika Elea bukanlah tanggung jawabnya lagi. Tapi ada satu hal yang dilakukan Henry untuknya sekarang. Yaitu masih membantunya untuk sekolah. Saat mengetahui jika Elea hamil, Henry langsung menyerahkan surat kepindahan sekolah Elea ke sekolah. Ia tidak ingin Elea malu dan mempermalukan keluarganya. Dengan alasan pindah sekolah, itu tidak akan meninggalkan kecurigaan. Sebagai gantinya, Henry akan tetap membiayai Elea sekolah, namun home schooling. Home schooling adalah jalan satu-satunya yang bisa ditempuh jika Elea masih ingin melanjutkan pendidikannya. Elea mengeratkan pelukannya pada sebuah guling. Menenggelamkan wajahnya di sana dan terus menangis. Sempat terbesit dibenaknya untuk menggugurkan kandungannya saat pertama kali ia tau jika ia tengah hamil. Namun belum sempat ia melakukannya, Genta datang ke rumahnya lalu bersimpuh di depan kedua orangtuanya meminta pengampunan atas apa yang dilakukannya. Genta sempat berkata kepadanya saat di jalan tadi. "Jangan sakiti bayi itu, Lea. Jangan pernah berpikir untuk membunuhnya. Dia nggak salah, tapi gue yang salah. Kalo lo benci sama gue dan enggan mengurus bayi itu, setidaknya biarkan dia lahir dan gue akan menyurusnya. Setelah itu, lo boleh melakukan apa pun sesuka lo, termasuk pergi meninggalkan gue dan anak kita." Lalu Elea mengingat pesan Ami sebelum ia pergi tadi. "Genta sekarang adalah suami kamu. Dan bayi itu adalah darah daging kalian. Jika kamu tidak menginginkan bayi itu, maka setidaknya biarkan dia lahir ke dunia ini." Ucapan Ami dan Genta sama. Kedua kata-kata itu terus terngiang di kepalanya tanpa bisa Elea hindari. Apakah Elea sudah jahat karena telah berniat membunuh bayi ini? Tentu saja iya! Elea jahat! Ditengah tangis dan pikirannya yang menjadi satu, suara Genta terdengar dari luar dibarengi dengan ketukan kecil di pintu. "Lea, gue udah beli makan. Gue taruh makanan lo di meja ya. Gue tau lo nggak mau liat gue jadi gue bakalan makan di kamar," ujar Genta dari arah luar. "Tolong dimakan ya, Lea. Inget bayi itu." Elea masih diam dalam posisinya sampai suara Genta sudah tak terdengar lagi. Elea masih tak merubah posisinya. Ia tidak ada niatan untuk memakan apa yang dibawa Genta untuknya. Elea memang lapar. Tapi ia terlalu malas untuk keluar kamar. Tolong dimakan ya, Lea. Inget bayi itu. Inget bayi itu. Inget bayi itu. Inget bayi itu. Saat Elea mencoba memejamkan matanya, suara Genta malah terngiang dikepalanya membuatnya susah terlelap. Bayi ini? Bayi ini memang tidak bersalah. Dia ada karena kesalahan Genta. Dan di sini Genta-lah yang salah. Elea kembali terisak. Maaf, Nak. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN