Chapter 05

2297 Kata
Hingga siang menjelang barulah sampai di lokasi pemotretan. Kedatangannya langsung di serbu pertanyaan dan juga omelan Siena yang tak kunjung henti. Seketika darah Carolina mendidih, tak terelakkan keduanya terjerat dalam silat lidah. Ego tinggi sama-sama mengungkung keduanya dalam amarah memuncak. “Stop! Kalau ada yang harus disalahkan di sini orang tersebut adalah William Darkness!” “William?” Apa hubungannya dengan William? Dasar sukanya melempar kesalahan pada orang lain. Siena yang tak terima dengan alasan tak masuk akal, justru balik menyerbu dengan ribuan pertanyaan membuat kepala Carolina semakin pusing. “Cukup Siena! Jangan merusak mood ku atau ku batalkan saja pemotretan ini?” Ancam Carolina yang membuat Siena diam akan tetapi sesekali masih mengumpat kesal karena sikap tidak professional Carolina yang selalu saja membuatnya dalam masalah besar. “Lebih baik kau keluar dulu Siena. Jangan membuat semuanya makin kacau.” Ucap Brave. Tak terima dengan penuturan Brave langsung melayangkan tatapan tak suka. Karena dalam hal ini seolah-seolah Siena lah yang tak becus menjalankan tugas sebagai seorang manager. “Jangan salah mengartikan ucapanku. Pertikaian kalian berdua ini tak akan ada ujungnya. Tenangkan dirimu dulu Siena.” Lanjut Brave sambil menepuk pelan pundak Siena. Selesai bersiap langsung di bimbing Brave munuju altar pemotretan. Manik biru menelisik ke sekeliling tampak mencari keberadaan Siena. “Mencari Siena?” Tanya Brave. “Hm di mana dia?” “Ke bawah sebentar beli minuman.” Bohong Brave. Karena mood yang terlanjur buruk akibat pertengkaran membuat sesi pemotretan harus di ulang beberapa kali. Tak ayal sang photographer tak dapat menyembunyikan rasa kesal. “Please baby fokus, kita tak punya banyak waktu.” Ucap photographer kesayangan. Percuma saja di paksakan karena mood yang terlanjur buruk tak bisa memperbaiki penampilannya siang ini. Akhirnya meminta break sebentar untuk menenangkan diri. Setelah 30 menit berlalu, Carolina kembali dengan wajah yang lebih fresh. Rasa kecewa semua kru di gantikan dengan hasil pemotretan yang sangat memuaskan. “Thanks cantik. See you tomorrow baby dan jangan membuatku menunggu lagi. Ok?” “Hm.” Jawab Carolina acuh tanpa mau melihat ke arah fotographer kesayangan. “Dari mana saja kau?” Sinis Carolina yang baru saja melihat kedatangan Siena. “Apa harus ku beritahu semua yang ku lakukan?” Bentak Siena. “Iya dan harus!” Penuh penekanan pada setiap kata. “Karena aku membayarmu mahal untuk bekerja bukan untuk bersantai, bodoh! Dasar!” Caci makian yang terlontar telah menguras habis kesabaran Siena yang coba di redam sedari tadi. Biasanya gadis itu tetap sabar apapun perlakuan buruk yang di terimanya namun kali ini tak lagi. Karena sikap tidak professional yang Carolina tunjukkan telah mengungkung Siena dalam masalah besar. Banyak hal yang harus segera di selesaikan sehingga terpicu sedikit saja langsung memancing emosi. “Kenapa diam saja, hah? Apa kau sudah bosan jadi manager ku, hah? Jawab Siena!” “Yeah, kau benar sekali. Bukan hanya bosan tapi aku sudah sangat muak mengurusi model yang tidak bisa bekerja professional sepertimu!” Tatapannya berubah nyalang, dadanya naik turun menahan emosi. “Hei, kenapa kalian masih saja bertengkar. Kalian ini sudah bukan anak kecil lagi. Jangan bersikap memalukan.” Sela Brave. “Diam kau!” Bentak Carolina dan juga Siena secara bersamaan, tak lupa saling melempar tatapan tajam. “Tunggu! Mau kemana kau?” Bentak Carolina mendapati Siena beranjak pergi meninggalkannya. Yang di panggil menghentikan langkah kemudian berbalik mendekat. “Mulai detik ini aku bukan lagi manager mu jadi, cari saja manager lain yang bisa tahan bekerja denganmu Ms. Carolina Keihl.” Sambil melempar dokumen ke d**a Carolina. Setelah itu segera berlalu meninggalkannya bersama Brave. Keduanya menatap kepergian punggung ringkih yang semakin lama semakin hilang dari pandangan. “Meminta maaflah pada Siena, sebelum terlambat.” Nasehat Brave akan tetapi dengan angkuh justru menyungging senyum sinis sembari melempar kata-kata sarkastik bahwa semua akan tetap berjalan sempurna tanpa campur tangan Siena. Akhirnya Brave pun memilih pergi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Baru berjalan satu hari menjalani aktivitas tanpa bantuan Siena membuat kepala cantik Carolina serasa mau meledak. kejadian ini membuat Carolina sadar bahwa pekerjaan Siena selama ini tak mudah, apalagi dirinya selalu bersikap sesuka hati membuat Siena kerepotan. Akhirnya dengan menurunkan ego mendatangi apartement Siena untuk meminta maaf. Tak ayal hal tersebut membuat senyum kemenangan mengukir di bibir Siena kala itu. “Tak masalah kalau kau menginginkanku kembali jadi managermu, tapi dengan satu syarat.” Tanpa menjawab hanya mengangkat sebelah alisnya seolah berkata, katakan saja apa syaratnya. “Bersikaplah professional dalam bekerja.” “Aku janji tak akan membuatmu dalam masalah besar lagi Siena.” Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa namun tetap saja keduanya tak pernah bisa akur meskipun pada kenyataannya saling menyayangi layaknya saudara sendiri. Dalam perjalanan pulang Siena memberitahu bahwa William menghubunginya lagi dan meminta supaya mengatur jadwal pertemuan. Mendengar namanya saja sudah berhasil membuat darah seketika mendidih apalagi sampai harus bertemu, sehingga langsung menghujani Siena dengan tatapan sinis. “Atur saja sesuka hatimu Siena karena aku tidak akan pernah sudi datang.” Meskipun berulang kali Siena memperingatkan supaya jangan bersikap terlalu angkuh akan tetapi sepertinya Carolina sama sekali tak mau mengindahkan. “Ingat Carolina, William bisa melakukan apa saja dengan kekuasaannya. Kau tidak akan lagi bisa menyandang gelar super model yang selalu kau banggakan jika William sudah bertindak.” “Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh pria bodoh seperti dia, hah?” Cemooh Carolina sambil memainkan kuku indahnya. “Kau pikir saja sendiri!” Kau tidak tahu saja Siena rencana apa yang sudah ku persiaapkan untuk membuat si bodoh William menyadari kesalahannya. Carolina yang malas pulang ke apartement meminta Siena membelokkan mobil ke arah café dan memilih duduk di sudut ruangan paling ujung akan tetapi tatapannya langsung meredup ketika menangkap sosok Jake dan juga Maria ada di sana. Seketika matanya terasa panas melihat adegan mesra di depan mata. Rasa sakit yang coba di pendamnya selama ini mencuat kembali ke permukaan. Dengan langkah terburu-buru meninggalkan café dan tanpa sengaja menabrak sesuatu yang sangat keras yang di yakininya bahwa itu adalah d**a bidang seorang pria. Segera mendongak untuk bisa menatap siapa pemilik d**a bidang sekeras batu tersebut dan alangkah terkejutnya ketika manik birunya di manjakan dengan sosok lelaki tampan dengan rahang tegas sedang menatapnya tajam yang tak lain adalah William Darkness, lelaki yang paling di benci sekaligus paling ingin di hindari.  “Apa kau buta, hah! Apa kau tidak bisa melihat aku sedang jalan!” Bentak Carolina. Memicingkan sebelah matanya. “Kau yang salah kau yang marah.” Lalu mendekatkan wajahnya hingga hidungnya nyaris menyentuh permukaan kulit wajah Carolina. “Dengar Nona, apa kau sengaja menabrakkan tubuhmu untuk bisa merasakan kehangatanku, hum?” Bau harum dari jarak yang lebih dekat membuat William hampir hilang akal sehat. Lain halnya dengan Carolina yang merasa di lecehkan membuat dadanya bergemuruh hebat. Tangannya sudah mengayun di udara hendak membelai hangat pipi William akan tetapi pergerakannya terhenti ketika mendengar suara yang sudah sangat tidak asing mengusik pendengarannya. “Hai Lina, kau di sini juga rupanya.” Sapa Maria kemudian tatapannya beralih pada William. “Apa lelaki ini kekasihmu?” Mendapati yang di tanya memilih bungkam, Maria mengulangi pertanyaannya dengan menelisik wajah cantik Carolina. Dasar pelakor bisa-bisanya dia bersikap sok baik padaku. Carolina membatin. Dadanya bergemuruh hebat, ingin rasanya melempar tubuh Maria di antara lalu lalang mobil. Mendapati Carolina masih tetap bungkam, Maria sengaja menjentikkan jarinya di depan wajahnya. Tak ayal tindakannya tersebut membawanya kembali dari pikiran sesaat kemudian menatap William dengan tatapan memuja. Melingkarkan jemarinya di antara jemari kokoh, mengecupnya lembut seolah mengisyaratkan bahwa mereka berdua adalah sepasang kekasih yang sedang di mabuk asmara. Melihat pemandangan di depan mata membuat Maria sangat bahagia karena ternyata saudara sepupunya ini sudah move on dari Jake. Berbeda dengan Jake yang berdiri di samping Maria sama sekali tak berkutik, wajahnya di liputi kesedihan sekaligus rasa penyesalan mendalam. “Aku senang kau sudah bisa move on dari Jake.” Menatap Jake kemudian beralih menatap Carolina dan juga William secara bergantian. “Semoga kalian bahagia, jangan lama-lama, segera kirim undangan.” Lalu mendekatkan wajahnya dan berbisik. “Aku tak sabar melihatmu menikah Lina karena dengan begitu aku baru bisa tenang. Jangan jadi pelakor sayang, ingat Jake sekarang ini milikku dan sebentar lagi kita akan segera bertunangan.” Dasar kurang ajar! Seenaknya saja kau menyebutku pelakor. Kau yang pelakor Maria. Kau yang sudah dengan sengaja merebut Jake dariku. Awas saja kau, akan ku buat setiap senyuman yang terukir di bibirmu tergantikan dengan air mata darah. William dapat merasakan genggaman jemari mungil terasa semakin erat. Segera menundukkan wajah untuk melihat ke dalam wajah cantik yang terlihat mengulas senyum namun sorot matanya menyirat emosi sekaligus luka mendalam. Segera mengulurkan tangan yang langsung di sambut Maria dan juga Jake. “Perkenalkan saya William, calon ayah dari anak Carolina.” Kalimat yang baru saja menggelitik pendengaran memaksa Carolina mendongak menatap William menuntut penjelasan, segera! Namun bukan penjelasan yang di dapat, justru tangan William kini beralih melingkari sepanjang perutnya. Kemesraan yang di pertontonkan semakin menghunjam rasa penyesalan mendalam. Tak ingin lama-lama terbelenggu dalam rasa sakit segera mengajak Maria beranjak pergi dari sana. Sepergian sepasang kekasih tersebut langsung menghujani manik biru dengan tatapan tajam, menuntut penjelasan. “Jadi kau sengaja menjadikan aku ini sebagai kambing hitam di depan mereka, hah?” Kemudian beralih menatap sejoli yang berjalan ke arah parkiran setelah itu kembali menatap tajam Carolina. “Memangnya siapa mereka tadi? Jelaskan!” Balas menatap tajam William dengan wajah menantang. “Aku tidak memiliki kewajiban untuk memberimu penjelasan Mr. William!” Menggenggam erat pergelangan tangan Carolina sampai sang pemilik mengernyit menahan sakit. “Sudah suatu keharusan kau menjelaskannya padaku Carolina, bukankah kau sendiri yang menyeretku masuk ke dalam masalahmu?” “Lepasss, kau menyakitiku!” Dengan kasar menghempas pergelangan tangan Carolina. Menyadari Siena masih berdiri tak jauh dari sana, segera memintanya untuk kembali ke apartement lebih dulu karena William sendiri lah yang akan mengantarkan Carolina pulang karena ada hal lain yang harus di bahas. Meskipun mendapat penolakan akan tetapi sama sekali tak mengacuhkan. “Aku tidak menerima penolakan Carolina!” Sambil memaksa Carolina memasuki mobilnya. William mengancam akan mencari tahu tentang siapa kedua orang tadi dan akan menceritakan kejadian sebenarnya apabila Carolina tidak tunduk pada perintahnya. Dalam kondisi tersudut akhirnya Carolina menyetujui permintaan William terlebih karena ia tidak ingin di tertawakan oleh Maria. “Katakan apa maumu?” “Nanti akan ku pikirkan. Jawab William datar. Dalam hati Carolina mengumpat sumpah serapah sudah melewati hari paling sial sepanjang hidupnya. Menyadari mobil sport tak mengarah ke apartement nya, Carolina segera meminta William memutar balik akan tetapi sama sekali tak mengindahkan permintaannya. “Turun!” Ucap William ketika mobil sport telah berhenti tepat di depan sebuah club ternama. Tanpa membukakan pintu terlebih dulu untuk Carolina, berjalan memasuki club sambil melemparkan kunci mobil ke salah satu bodyguard sementara Carolina masih terpaku di dalam mobil dengan d**a naik turun menahan emosi. “Kurang ajar! Berani sekali dia membawaku ke tempat seperti ini, jangan pikir kau sudah menang dariku William.” Sembari membanting pintu mobil dengan sangat keras. Hampir semua pasang mata tertuju ke arahnya ketika Carolina memasuki club. Kedatangannya di sambut hangat oleh sang waiters tampan yang segera mengantarkannya ke ruang vvip. Di ruangan itu sudah ada William yang sedang duduk dengan angkuhnya sambil menyesap minuman.   Menyedihkan, apa dia pikir aku sudi menemaninya minum? Kita lihat saja, aku akan membuatmu menyesali perbuatanmu sudah membawaku ke tempat ini Mr. William Darkness. Batin Carolina ketika tatapannya menangkap berbagai minuman alkohol dengan merk ternama tersaji di atas meja. Mendengar langkah kaki mendekat, sudut matanya melirik sekilas. “Duduk!” Perintah William tanpa mau melihat ke arah Carolina. Dia tengah asyik menyesap minumannya. Carolina mendudukkan bokongnya di sofa, tak lupa membanting tas kesayangan dengan sangat keras. Seketika bibir William menyungging senyum smirk, dalam hati ia bersorak penuh kemenangan karena pada akhirnya wanita yang menjadi incarannya kini sudah ada dalam genggaman. Sebentar lagi kau akan segera menjadi milikku Carolina, batin William sembari membayangkan bagaimana rasanya menyusuri kulit mulus Carolina. Menyerahkan gelas yang sudah di isi alkohol dan juga obat perangsang. “Untukmu manis, minumlah!” Sembari mengulas senyum meraih gelas dari tangan William. Kemudian mendekatkan wajahnya hingga hidungnya nyaris bersentuhan dengan hidung William. “Terima kasih atas minumannya Mr. William.” Menyentuhkan gelasnya pada gelas William. Ayo cepat minum manis. William membatin dengan tak sabar. Manik biru terus menatap lekat wajah tampan William. Bibirnya mengulas senyum smirk sebelum berucap. “Tapi sayang malam ini aku tidak minum karena besok pagi ada jadwal pemotretan dan aku tidak mau terlambat datang hanya karena minuman sialan ini.” Kemudian menuangkan minuman ke lantai dengan sorot mata tajam mengunci tatapan William yang terlihat terkejut. Apa kau pikir aku sebodoh itu William? Carolina membatin dengan terus menyungging senyum sinis.    Menyadari rencananya tak berjalan mulus, William mengumpat sumpah serapah. Sikap angkuh penuh penolakan yang Carolina tunjukkan benar-benar menguras habis kesabarannya. Meremas dengan sangat kuat gelas dalam genggaman hingga menjadi berkeping-keping. Pecahan gelas yang mengenai tangannya membuat luka hingga tak sedikit darah segar menetes melalui celah. Melihat kejadian tersebut sama sekali tak mengusik simpati Carolina. Meskipun fobia pada darah, Carolina tetap berusaha bersikap tenang kemudian meminta waitress membawakan sesuatu. William yang tidak suka di kasihani apalagi dari seorang wanita, langsung melayangkan tatapan tajam penuh peringatan. Ketika waitress datang membawakan segelas orange juice barulah William sadar, tadinya dia berfikir bahwa Carolina akan meminta waitress membawakan kotak obat tapi nyatanya ... “Malam ini aku hanya minum ini Mr. William.” Sambil mengacungkan ke udara gelas berisikan orange juice setelah itu melirik jam dipergelangan tangan. “Aku hanya bisa sampai jam 00.00 wib, karena besok pemotretan jadi aku harus segera pulang dan beristirahat. Aku sudah menuruti keinginanmu jadi jangan mengangguku lagi karena-” “Tidak ada yang melarangmu untuk pergi dan juga memintamu untuk tetap tinggal disini Ms. Carolina.” Potong William dengan tatapan tak pernah lepas dari Carolina. “Oh good Mr. William, thanks you so much for your attentions.” Sambil mengerlingkan sebelah matanya sebelum meninggalkan ruangan vvip. Setelah kepergian Carolina langsung membanting semua minuman yang tersaji di atas meja. Berkali-kali bibirnya mengumpat sumpah serapah, merutuki kebodohan diri sendiri dan juga kesombongan Carolina. Di lantai bawah ia berpapasan dengan Jerk yang langsung memintanya untuk bergabung. Meskipun dalam hati ingin sekali menerima tawaran rekan kerjanya tersebut akan tetapi segera menolaknya secara halus. Kalau saja William tidak ada di sini pasti dengan senang hati akan tetap tinggal, kehadiran William benar-benar merusak moodnya.  Saat ini Carolina sedang berdiri di luar club sambil menunggu kedatangan taxi yang di pesan lewat aplikasi online. Tiba-tiba ada yang menabrak pundaknya dengan sangat keras hingga hilang keseimbangan. Secepat kilat menoleh untuk mencari tahu sang pelaku, manik biru membelalak tak percaya mendapati William yang berdiri tak jauh darinya. Lelaki itu terus saja melayangkan tatapan pada Carolina meskipun sudah ada wanita cantik yang saat ini berada dalam pelukan. Sampai memasuki mobil sepasang manik dark brown masih saja tak lepas darinya meskipun wanita di sebelahnya mencoba mencuri perhatiannya. Dasar menjijikkan, batin Carolina. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN