“Dari mana kau tahu password apartement ku, hah?”
“Jangankan password apartement mu, bahkan ukuran pakaian dalammu pun aku juga tahu.” Sambil tersenyum licik.
“Pergi dari apartement ku sekarang!” Akan tetapi suara Carolina hanya di anggap sebagai kicauan burung karena William terlihat sibuk menyajikan makanan yang di bawanya dari hotel.
“Apa kau ini tuli, hah?” Meskipun suara caci maki mengusik pendengaran namun William sama sekali tak mengindahkan. Berjalan mendekati Carolina, meraih pergelangan tangan membimbingnya kembali untuk duduk di sofa. “Buka mulutmu!” Sementara Carolina memilih merapatkan bibirnya.
“Aku akan segera pergi setelah kau habiskan makanan ini Carolina.” Mendapati bibir Carolina masih tetap tertutup rapat, segera menyerahkan piring ke tangan Carolina, menyuruhnya segera makan.
“Kalau tak juga mau makan, kau bisa sakit. Perutmu ini dari pagi belum terisi apapun.” Tatapannya begitu dalam membuat Carolina segera memalingkan wajah. Di iringi hembusan nafas berat, merebut kembali piring dari tangan Carolina kemudian ujung jarinya terulur meraih dagu Carolina supaya manik biru mau menatapnya.
“Buka mulut mu Carolina. Makanan ini tidak akan terasa lezat kalau sudah dingin.”
Sebenarnya kau ini siapa William? Bagaimana kau bisa tahu password apartement ku dan juga semua aktifitasku? Batin Carolina, seketika matanya memanas namun air mata yang hampir saja mencuat ke pelupuk coba dia tahan supaya tak sampai tumpah.
Mengusap pipi Carolina lembut. “Jangan banyak berfikir dan cepat selesaikan makanmu!” Karena ingin William segera meninggalkan apartement nya akhirnya dengan terpaksa mau membuka mulutnya.
Suapan pertama terasa sangat lezat memanjakan lidahnya. William tersenyum puas ketika Carolina berhasil menghabiskan makanannya. Mengusap puncak kepala Carolina sembari berkata. “Gadis pintar,” sambil melenggang pergi meninggalkan apartement. Manik biru memandang nanar punggung kekar William yang semakin lama semakin hilang dari pandangan.
Sementara dari balik pintu, William tersenyum penuh kemenangan. “Sebentar lagi kau akan bertekuk lutut memohon cintaku gadis angkuh dan setelah itu aku akan melemparmu ke jalanan supaya kau sadar di mana tempatmu yang seharusnya. Wanita rendahan sepertimu ini tak ada harganya tapi sikapmu terlalu sombong dan juga angkuh.”
--
Pagi-pagi sekali Carolina sangat di kejutkan dengan kehadiran seseorang yang berdiri di depan kamarnya. “Apa yang kau lakukan di sini?” Bentak Carolina.
“Menjemputmu.”
“Pergilah! Aku tak ada waktu meladeni pria gila sepertimu! Aku ada jadwal pemotretan. Pergilah!” Tak menghiraukan ocehan Carolina, segera menggenggam jemari lentik membimbingnya memasuki mobil sport kesayangan bermerk Bugatti Veyron.
Emosi yang coba di tahan dari kemarin meledak sudah. Carolina terlihat murka melampiaskan kekesalannya dengn memukul-mukul d**a bidang William akan tetapi lelaki itu sama sekali tak bergeming. Justru lebih terlihat seperti patung, menatap Carolina dengan ekspresi datar kemudian tangannya terulur memasangkan self belt sebelum melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.
Manik biru membeliak tak percaya, mobil William berhenti tepat di depan lokasi pemotretan. Segera menghujani manik dark brown dengan tatapan penuh pertanyaan, alih-alih mendapat penjelasan justru yang di tatap malah membimbingnya memasuki gedung. “Ayo Carolina! Apa kau mau membuat Siena kerepotan lagi karena sikapmu ini, huh?”
Segera menghentikan langkah, menatap tajam William. “Siapa sebenarnya kau ini?”
“Bukan siapa-siapa Carolina. Ayo!” Kembali mengaitkan jemarinya di antara jemari lentik namun buru-buru di tepis dengan kasar. Sebelum melenggang pergi meninggalkan William, melemparkan tatapan yang sulit di artikan. Sementara William mengekori dari belakang. Melihat kedatangan William bersama Carolina, tak sedikit dari para kru saling berbisik.
Setelah mengantarkan Carolina di lokasi pemotretan, William memutuskan untuk tetap tinggal meskipun sudah di usir berulang kali. Dia tetap bersikeras berada di sana terlebih ingin melihat pemotretan Carolina secara langsung.
“Pergilah William sebelum pemilik perusahaan ini menyeretmu keluar gedung.” Desis Carolina.
“Jadi kau menghawatirkanku, huh?”
“Sama sekali tidak. Justru aku ingin pemilik perusahaan ini melempar tubuhmu dari atas gedung ini.” Sinis Carolina.
Bilang saja kalau kau menghawatirkanku? Dasar angkuh!
Semua tak seperti yang di pikirkan gadis itu karena perusahaan yang menaungi Carolina mengijinkan William tetap berada di sana sampai sessi pemotretan selesai karena William sendirilah pemilik dari perusahaan tersebut. Saat ini Carolina sedang berada di ruang make up dan tentu saja William tidak bisa masuk karena pintunya terkunci dari dalam. Bisa saja ia menghabiskan waktu di dalam ruang pribadinya namun hal tersebut tak di lakukan karena ingin menunggui Carolina sampai selesai bersiap.
Mendapati kedatangan Carolina langsung di sambut Brave. “Duduklah say, tangan ku sudah gatal memoles wajah mu yang cantik bak barbie ini.”
Sementara Siena yang masih berada di luar tak dapat masuk ke dalam. Tumben sekali pintunya di kunci. Siena membatin.
“Carolina.. Carolina!” Panggil Siena berulang kali namun tak ada jawaban kemudian memanggil Brave, tetap tak ada jawaban.
Kemana semua sih? Kenapa juga pintunya harus di kunci? Kesal Siena.
“Hai Ms. Siena.” Suara yang sudah tak asing memaksa Siena memutar tubuh perlahan. “Mr. William? Apa yang Anda lakukan di sini?” Tak terelakkan Siena di buat sangat terkejut dengan kedatangan William.
Perbincangan keduanya terhenti ketika mendapati kemunculan Carolina. Mata William di buat tak berkedip melihat secara langsung kecantikan Carolina ketika sudah di poles make up, meskipun ia bukan tipe lelaki penyuka wanita dengan make up tebal akan tetapi entah kenapa pesona Carolina benar-benar membuat dunianya jungkir balik.
Mendapati William masih menatapnya takjub, Carolina dengan sengaja mendekatkan wajahnya sembari berbisik. “Tutup mulutmu Mr. William, jangan sampai ada lalat masuk.” Sambil mengibaskan rambutnya sampai mengenai wajah tampan William. Bau harum langsung menyeruak, terasa semakin menyiksa sehingga manik dark brown memejam. Tak berselang lama kembali terbuka, seketika di buat tak berkedip ketika tanpa sengaja menangkap leher jenjang Carolina yang seakan menggoda nafsu kelelakiannya.
Menyandarkan tubuhnya pada dinding dengan bersedekap d**a. Tatapannya tak pernah lepas dari Carolina. Entah kenapa rasa tak rela seketika menyergap hingga darahnya berdesir hebat ketika sepasang tangan kekar merengkuh pinggang dengan sangat posesif. Ingin rasanya mematahkan tangan lelaki tersebut.
Seketika rahangnya mengeras, kedua tangan mengepal hingga buku jari memutih, sorot mata berubah nyalang. Siena yang berada di samping William dapat melihat dengan jelas perubahan ekspresinya.
Apa memang benar kalau William menaruh hati pada Carolina, pikir Siena lalu kembali melirik ke arah William yang terlihat marah dan langsung meninggalkan ruang pemotretan. Sementara Carolina malahan tersenyum puas melihat kepergian William.
Akhirnya dia mau pergi juga.
Perkiraan Carolina salah besar karena William masih setia menunggu di luar ruang pemotretan. Lelaki itu duduk dengan angkuhnya sambil menyilangkan sebelah kaki. Terlihat sedang fokus membaca majalah.
Ohh ternyata masih di sini dia, Carolina membatin sambil pura-pura tidak melihat. Terus saja melangkahkan kaki meskipun sesekali ekor matanya melirik ke arah William.
Baguslah, dia tidak melihatku, batin Carolina sambil mengulas senyum puas. Semakin mempercepat langkah kaki menuju parkiran mobil akan tetapi tiba-tiba cekalan kuat pada pergelangan tangan memaksa memutar tubuh untuk melihat siapa gerangan yang sudah lancang menyentuhnya.
“William?” Kedua mata langsung menyipit membuat alisnya hampir menyatu. Sementara lelaki itu hanya mengulas senyum smirk. Tatapannya menajam dan tanpa di duga sebelumnya langsung menyeret paksa tubuh ramping menuju mobil sport kesayangan. Hill tinggi yang membelit kaki jenjang membuat Carolina kesulitan berjalan.
“Leppasss! Kau menyakitiku William!” Bentak Carolina bersamaan dengan suara rintih kesakitan. Arah pandang William mengikuti tatapan sepasang manik biru yang terpaku pada pergelangan kakinya yang terluka. Segera menggendong tubuh ramping, mendudukkannya di sisi kursi kemudi.
“Apa yang mau kau lakukan?” Sikap Carolina penuh antisipasi.
“Diam dan jangan banyak bergerak!” Dengan lembut melepas ikatan tali hill kemudian mendongak menatap Carolina. “Tahan yah, ini akan terasa sedikit perih.” Setelah itu mengoleskan salep di sepanjang kaki yang terluka. Sontak saja membuat Carolina mengernyit merasakan perih menjalari sepanjang pergelangan kakinya.
“Tunggu di sini dan jangan kemana-mana.” Dengan langkah lebar kembali masuk ke dalam gedung. Selang beberapa menit kemudian keluar dengan menenteng sandal trepes. Kembali berjongkok di depan Carolina dengan bertumpukan pada satu kaki. Sontak saja hal tersebut membuat Carolina langsung beringsut menjauh.
“Apa yang mau kau lakukan William?”
“Kemarikan kakimu dan jangan jauh-jauh!” Meraih kedua kaki jenjang lalu tanpa di sangka langsung memakaikan sandal. Sikap yang baru saja William tunjukkan ini terlihat sangat manis, seketika hati Carolina di buat tak karuan. Setelah memakaikan sandal langsung mendongakkan wajah menatap wajah cantik Carolina dalam dan lama. “Lain kali jangan pakai hill kecuali sedang dalam pemotretan.” Nada suaranya terdengar lembut menggelitik pendengaran.
“Semua ini juga karena ulahmu kalau saja kau tak menyeretku, maka kakiku juga tak akan terluka, bodoh!” Tak ingin lepas kendali, manik dark brown memejam sesaat coba meredam amarah yang siap meledak. Sikap angkuh Carolina benar-benar menguras habis kesabarannya. Meski begitu tetap berusaha bersikap lembut. Jemarinya terulur memasangkan self belt kemudian mengusap puncak kepala Carolina. Setelah itu memutari mobil dan mendudukkan bokongnya di kursi kemudi.
Melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, tak memedulikan protes Carolina. “Pejamkan mata saja kalau kau takut.”
“Pelankan mobilnya William! Apa kau sengaja ingin bunuh diri, hah? Kalau mau mati maka mati saja sendiri!”
Semakin Carolina protes semakin kencang pula laju mobil sampai berhenti tepat di apartement Carolina. Membukakan pintu mobil dan ketika mendapati Carolina kesulitan berjalan, segera menggendong tubuh ramping ala bridal style. Banyak pasang mata menatap ke arah mereka, tak sedikit dari para penghuni apartement yang saling berbisik.
“Simpan sendiri kegilaan mu ini William! Memalukan! Turunkan aku!”
“Apa kau tidak lihat kakimu? Kakimu ini sedang terluka Carolina. Kalau ku turunkan di sini lalu bagaimana caranya kau bisa mencapai kamarmu?”
“Turunkan aku atau aku akan berteriak!” Ancam Carolina yang merasa malu karena banyak pasang mata menatap heran ke arahnya. Tak ada pilihan lain sehingga langsung menurukan tubuh ramping hingga kakinya memijak lantai. Karena sebelah kaki yang terluka membuatnya kesulitan berdiri dengan bertumpu pada satu kaki.
Tangan kekar William terulur merengkuh sepanjang perut supaya Carolina bersandar pada d**a bidang. Menyadari keintiman yang terjalin segera beringsut memberi jarak namun yang terjadi justru pelukan tangan kekar terasa semakin erat.
Mendekatkan wajahnya hingga deruan nafas hangat menyapu sepanjang kulit leher. Mendapati wajah cantik mengernyit menahan sakit mencipta rasa hawatir berlebih. “Apa masih sakit?” Tanyanya.
“Luka ini tidak sebanding dengan pelecehan yang kau lakukan padaku!”
“Pelecehan apa? Aku hanya berbaik hati membantumu dan kalau menurutmu yang ku lakukan ini sebuah pelecehan, okay aku minta maaf.” Memutar tubuh supaya bisa menatap wajah tampan William, mengunci tatapan manik dark brown. “Mungkin kau sudah lupa tapi aku masih mengingatnya dengan sangat jelas William Darkness!”
Otak William langsung di putar ke belakang, teringat kembali dengan kejadian beberapa hari lalu di kantornya. “Aku minta maaf untuk itu Carolina!” Ucap William tulus.
Tersenyum sinis. “Maaf saja tidak cukup!”
“Lalu kau mau apa?” Carolina tampak sedang berfikir. “Apa Carolina? Katakan!”
“Ku rasa hal ini akan sangat mudah untuk kau lakukan.”
“Iya apa?”
Menarik sudut bibirnya hingga membentuk garis lurus. “Bersujudlah di kakiku William Darkness!” Kalimat yang baru saja menggelitik pendengaran sontak saja membuatnya sangat terperenyak. Tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa Carolina bisa bertindak sekejam ini.
“Tak masalah kalau kau tak mau melakukannya.” Kemudian melenggang keluar lift dengan berjalan tertatih. Tak juga pergi, William mengekori langkah kaki sampai ke depan kamar.
“Baiklah tapi setelah itu kau harus jadi ikon WD Magazine, bagaimana?” Kembali memutar tubuhnya. “Dengar Will di sini aku yang memegang kendali bukan kau!”
Bibir William mengukir senyum masam. “Ku pastikan kau akan menyesal menolak tawaranku ini Carolina dan ketika rival mu Ms. Jasmine Hillery yang menjadi ikon WD Magazine, maka kau tinggal menunggu hari kehancuranmu Carolina Keihl!”
“Silahkan saja, lakukan apapun yang kau suka William Darkness dan sekarang pergilah karena aku mau istirahat!”
Angkuh, sombong, tegas, keras kepala itulah perpaduan Carolina Keihl yang membuat kepala William hampir meledak.
Dia pikir dia siapa, berani sekali mengancam ku! Batin Carolina kesal sambil membanting pintu di belakangnya.
“Shittt hill dia tertinggal di mobil ku.” Ucap William entah pada siapa karena nyatanya ia sedang sendirian di dalam mobil. Ingin rasanya melempar keluar hill milik Carolina akan tetapi yang dilakukannya justru sebaliknya. Dia kembali naik ke atas, menyandarkan punggungnya pada interkam membuat Carolina tidak bisa melihat siapa gerangan. Membuka kasar pintu dan alangkah terkejutnya mendapati lelaki yang paling ingin di hindari kembali berdiri di hadapannya.
“Masih belum pergi juga kau?” Bentak Carolina.
“Ini hill mu, lain kali jangan meninggalkan barang apapun di mobil ku, merepotkan saja!” Setelah itu langsung melenggang pergi tanpa mau berbalik menatap Carolina yang masih memandangi kepergian punggur kekarnya.
Semenjak kejadian di malam itu William tak lagi menemuinya dan hal itu tentu saja membuat Carolina merasa sangat lega karena berada di dekat William membuat darahnya seketika mendidih.
Tapi entah kenapa ada sesuatu yang hilang dengan menghilangnya William dari hidupnya. Mungkinkah kehadiran sosok William dalam beberapa hari terakhir ini telah mampu mengusik keteguhan hati seorang Carolina Keihl yang sudah mengunci rapat-rapat hatinya dari sosok lelaki.
Penghianatan Jake dan juga saudara sepupunya, Maria telah mengungkung rasa percaya diri di antara himpitan batu karang. Baginya semua lelaki itu sama saja, sama-sama penghianat, hanya mengambil keuntungan dari kelemahan wanita. Nyatanya sebaik apapun sang wanita tak akan bisa membuat kekasih setia. Bagi lelaki yang terpenting bukan cinta atau pun ketulusan hati tapi kepuasan, s**********n.
--
“Sorry baby kau harus pulang malam karena pemotretan kita harus selesai hari ini juga. Oh iya aku tidak melihat Siena dari tadi, kemana dia?” Tanya Arsen, photographer baru Carolina.
“Pulang duluan, dia ke bandara.”
“Bandara?” Kening Arsen langsung berkerut dengan kedua mata menyipit.
“Menjemput Arthur, kakak kandung Siena.”
“Oh, lalu bagaimana kau pulang? Bukankah mobil mu masih di bengkel, jadi bagaimana kalau kau pulang denganku saja?”
“Tidak perlu Arsen, aku bisa pulang sendiri naik taksi.” Tak tega melihat Carolina menunggu taksi di larut malam sendirian, Arsen memutuskan menemaninya akan tetapi dengan tegas Carolina menolak. “Aku tidak apa-apa Arsen, pulanglah!”
“Kau yakin?” Arsen masih berat hati meninggalkan Carolina sendirian. Namun lagi-lagi berusaha meyakinkan sehingga Arsen memutuskan pulang lebih dulu.
Cukup lama Carolina berdiri di depan gedung menunggu kedatangan taksi yang di pesan lewat aplikasi online akan tetapi yang di tunggu tak kunjung datang sehingga memutuskan jalan kaki sembari menunggu taksi yang lewat.
Sepanjang jalan yang di lalui tampak sepi membuat bulu roma meremang. Tanpa sengaja menangkap segerombolan pemuda yang berjalan ke arahnya, refleks langkah kaki langsung mundur perlahan. Seketika detak jantung berdegup kencang hingga nyaris melompat dari pemiliknya. Sekuat tenaga coba menetralkan detak jantungnya mendapati tatapan memuja para pemuda yang terlihat mabuk.
Karena sepanjang jalan yang di lalui kurang pencahayaan membuat Hill runcing menancap pada sela kabin sehingga tubuhnya limbung. Beruntung ada sepasang tangan kekar yang menangkap tubuhnya sehingga tidak sampai membentur lantai.