Setelah beberapa menit William kembali dengan membawa semangkuk sup panas lalu mendudukkan bokongnya di sisi ranjang. "Buka mulutmu!"
"Kau saja, aku tak terbiasa makan malam."
"Makanlah sedikit saja. Kau bisa sakit kalau perutmu ini di biarkan kosong. Dari pagi kau belum makan apa pun kan?"
Dari mana dia bisa tahu? Sebenarnya kau ini siapa sih Will? Kenapa kau bisa tahu semua aktifitasku.
"Aku hanya menebak-nebak saja." Kilah William, takut Carolina menaruh curiga bahwa setiap aktifitasnya tak pernah luput dari pantauan anak buahnya.
"Kalau begitu kau juga harus makan Will."
"Aku sudah makan malam sebelum menemukanmu di jalanan tadi. Oh iya coba ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa kau berada di sana sendirian. Memangnya Siena kemana?" Carolina memilih diam karena memang tak ingin menjelaskan apapun lebih tepatnya tidak ada kewajiban untuk menjelaskan.
"Ok, baiklah kalau kau tak ingin menceritakannya padaku. Its okay. Kalau di pikir-pikir para pemuda tadi tak salah. Kau yang mengundang mautmu sendiri Carolina. Coba lihat penampilanmu tadi, baju ketat, rok pendek dan hill tinggi. Laki-laki normal mana yang sanggup melewatkanmu." Termasuk aku Carolina. Aku sudah tak sabar mengikat tubuh seksi mu ini di ranjang ku. Menindihmu sampai bibirmu ini mendesahkan namaku.
"Kau!" Geram Carolina. Kilatan marah seketika terpancar melalui kilatan manik biru.
"Mulai besok jangan pakai pakaian seperti itu lagi dan juga hill sialan itu, kecuali aku bersamamu."
Cih memangnya siapa dia berani-beraninya mengaturku. Sikapnya protektif sekali, memangnya aku ini pacarnya apa? Kesal Carolina.
Memangnya kenapa kalau sikapku overprotektif Carolina. Suka atau pun tidak, aku tak peduli. Batin William dengan tatapan mata tak pernah lepas dari wajah cantik Carolina.
“Cepat habiskan sup nya selagi masih hangat.” Menyadari Carolina kesulitan menggerakkan tangan, segera merebutnya kemudian menyuapinya dengan telaten. Bibirnya tak henti-hentinya menyungging senyum. Entah kenapa, tiba-tiba hati dan juga jiwa tak lagi merasa kosong. Tak pernah sebelumnya ia merasakan dunia nya jungkir balik seperti sekarang ini.
“Sudah larut, tidurlah!” Sambil mengusap lembut puncak kepala. Sepasang manik biru langsung menelisik ke sekeliling. Satu hal yang di yakininya bahwa kamar ini adalah milik William terlihat dari dekorasi yang menggambarkan bahwa pemiliknya, seorang lelaki.
Mengerti dengan yang saat ini bersarang dalam otak cantik Carolina. Bibir kokoh segera mengulas senyum kemudian menjelaskan bahwa kamar lain sedang di renovasi jadi tidak ada pilihan lain selain menidurkan Carolina di kamarnya. Selama kamarnya di tempati untuk sementara waktu ia akan tidur di sofa ruang tamu.
Bukan William kalau tanpa tipu muslihat, sebenarnya apartement nya sedang tidak dalam masa renovasi. Ia bisa saja tidur di kamar lain mengingat apartement nya ini sangat luas dan mewah. Terdapat lima kamar kosong, ruang kerja dan juga gazebo.
"Kalau kau perlu apa-apa panggil saja. Aku ada di ruang tamu." Baru juga beranjak dari sisi ranjang pergerakannya terhenti karena cekalan pada pergelangan tangan. Kembali mendudukkan bokongnya lalu mendekatkan wajahnya hingga hembusan nafas hangat saling bersahutan. “Ada apa Carolina?” Nada suaranya terdengar lembut, tatapan mata menghangat menimbulkan desiran aneh di tatap dari jarak yang begitu dekat.
Seketika bibir Carolina terasa kelu untuk sekedar berucap. Tak hanya bibir, otaknya pun langsung membeku tak dapat memikirkan apapun selain mengunci tatapan manik dark brown. Jemari kokoh terulur membelai lembut pipi Carolina membuat sang pemilik memejam merasakan sentuhan hangat menjalari sepanjang permukaan kulit.
“Ada apa? Carolina perlu apa? Katakan saja.” Merangkum pipi Carolina sembari mengulas senyum hangat. Mendapati yang di tanya tetap bungkam segera beranjak dari ranjang namun sebelum itu mengusap lembut puncak kepala seraya berucap. "Good night Carolina." Sementara Carolina hanya menyungging senyum tipis.
Sebelum membuka handle pintu sengaja berbalik menatap Carolina dengan tatapan dalam dan lama. Hanya di tatap seperti itu oleh sepasang manik dark brown membuat tubuh ramping serasa di telanjangi.
“Segera pergi tidur dan jangan banyak berfikir.”
Di tempat asing seperti ini, dia tidak dapat memejamkan mata. Dengan langkah tertatih berjalan menuju balkon. Hawa dingin yang sampai menusuk tulang membuatnya menggigil kedinginan. Lalu melenggang kembali memasuki kamar, susah payah menarik tirai jendela kemudian menyenderkan tubuhnya di sana.
Terdengar suara rintik hujan, seketika hatinya di cekam rasa cemas berlebih karena satu hal yang paling di takuti saat hujan adalah suara gelegar petir yang saling bersahutan. Segera beranjak menuju ranjang mencari perlindungan. Ketika suara petir mulai menyambar-nyambar, jerit histeris pun langsung bersahutan hingga terdengar sampai ke gazebo. William yang saat itu ada di sana segera berlari ke bawah untuk melihat apa yang sedang terjadi.
"Carolina.. Apa yang terjadi?" Tanya William sambil mengguncang tubuh ramping. Getaran hebat dan juga keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh. William pun segera merengkuh tubuh ramping ke dalam pelukan sembari bertanya dengan nada suara lembut. “Kau kenapa Carolina?”
Suara petir kembali menyambar membuat Carolina langsung menjerit histeris. "Jangan takut ada aku di sini. Kau aman bersamaku Carolina." Kedua tangan kekar terulur membekap telinga Carolina. Setelah hujan mulai reda, ia segera menyuruh Carolina kembali tidur akan tetapi Carolina menggelengkan kepala.
"Kenapa? Apa kau masih takut?" Tak juga menjawab hanya balas menatap wajah tampan. Menyelami ke kedalaman manik biru, seketika William menangkap ketakutan terpancar di sana.
“Kemarilah!” Kembali merengkuh tubuh ramping ke dalam pelukan. Sebelah tangan melingkari posesif sepanjang perut sementara tangan satunya mengusap puncak kepala penuh sayang. Tak dapat di tahan lagi William langsung mendaratkan kecupan lembut. Tak ayal sang pemilik mendongakkan wajah.
Entah siapa yang memulai yang jelas bibir kedunya saling menyatu menari mengikuti irama. Tak ingin lepas kendali, William segera menjauhkan wajah. Rasa manis bibir ranum membuatnya gila, menginginkan lagi dan lagi bukan hanya sekedar ciuman namun hal lain yang lebih intim.
Bagi William, berada di dekat Carolina terasa sangat menyiksa sehingga memutuskan beranjak dari ranjang namun sorot kehilangan yang terpancar melalui manik biru menariknya kembali untuk berada di dekat Carolina. Mengusap lembut puncak kepala. “Hujan sudah reda. Tidurlah!” Nada suaranya terdengar berat sarat akan hasrat tertahan.
Meskipun kantuk menyergap, tetap tak dapat memejamkan mata. Di satu sisi masih merasa ketakutan kalau-kalau hujan datang lagi akan tetapi di sisi lain ia juga merasa gengsi jika harus meminta William tetap tinggal, terlebih setelah ciuman singkat barusan.
Bagaimana pun William adalah pria asing yang baru di kenalnya beberapa hari, meskipun tak dapat di pungkiri bahwa lelaki itulah yang dengan suka rela mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkannya.
Satu hal yang sangat di takutkan Carolina, jika lelaki tersebut sampai memanfaatkan keadaan di saat sedang tertidur pulas. Dia sudah tak memiliki apapun lagi yang berharga dalam hidup selain janjinya pada mendiang sang ayah untuk selalu menjaga kehormatannya. Mengerti dengan yang saat ini berselancar dalam otak cantik Carolina, dia segera meyakinkan bahwa …
"Tidak akan terjadi apa-apa Carolina, tidurlah. Aku akan tetap di sini menemanimu. Kau harus tidur, ingat badanmu mulai demam." Ucap William sambil menyentuh kening Carolina.
"Bisakah kau antarkan aku pulang sekarang Will. Aku tidak bisa tidur selain di kamarku sendiri."
"Besok pagi setelah kita dari rumah sakit." Sambil merentangkan sebelah tangannya. "Kemarilah!" Pinta William.
William menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang lalu merengkuh tubuh ramping supaya bersandar pada d**a bidang. Sebelah tangannya mengusap lembut puncak kepala, sebelah tangannya lagi mengusap sepanjang lengan dengan gerakan naik turun.
Kedekatan yang terjalin menimbulkan desiran aneh. Wanita rapuh dalam pelukannya membuatnya sangat peduli begitupun sebaliknya sikap peduli William mampu menyentuh sudut hati yang sudah tertutup kabut awan hitam.
Kau sangat cantik Carolina. Bau rambutmu sangat harum. Batin William sambil menciumi puncak kepala. Menyadari tak ada penolakan segera membaringkan tubuh ramping. Menatap lama dan dalam wajah cantik bak bidadari kemudian mendekatkan wajahnya. Merasakan deru nafas hangat menyapu sepanjang permukaan kulit membuat manik dark brown memejam meresapi rasa entah apa itu namanya yang jelas hatinya menari-nari bahagia.
Mendapati pergerakan Carolina, segera menjauhkan wajahnya. Kembali menatap lama penuh pemujaan kemudian dengan lancang mmencium kedua bola mata, hidung dan ketika beralih ke bibir segera memberi jarak, tak ada yang di lakukannya selain menatapnya lekat.
Saat ini ia sedang berperang dengan diri sendiri. Tanpa dapat di tahan lagi langsung menempelkan bibirnya akan tetapi tindakannya tak lebih dari itu karena tak ingin membangunkan Carolina yang sedang terlelap. Meskipun ingin rasanya menindih tubuh ramping akan tetapi Dewa dalam hati berteriak memperingatkan. Setelah susah payah melawan pesona Carolina yang memikat dengan sangat kuat segera beranjak dari sana karena ia tak yakin bisa menahan diri lebih lama lagi.
Sang surya mengintip malu-malu melalui tirai jendela menerpa wajah cantik Carolina. Aawww, rintihnya ketika menggeliat.
"Kau sudah bangun?" Carolina menoleh ke arah sumber suara dan mendapati William berdiri tak jauh dari sana berjalan mendekati sisi ranjang. "Bagaimana tidurmu apakah nyenyak?" Ukiran senyum simpul di bibir Carolina semakin membuatnya gemas. Ingin rasanya segera menyatukan kembali bibirnya, saling menyesap saliva dan juga rasa manis.
"Mandilah! Aku sudah menyiapkan pakaianmu dan semoga ukurannya pas."
"Eemm Will, bisakah kau antarkan aku pulang, sekarang! Aku ingin mandi di apartement ku saja."
Mengusap lembut puncak kepala. "Mandilah di sini setelah itu kita sarapan lalu pergi ke dokter atau kalau kau tak keberatan biar Jansen saja yang datang ke sini, bagaimana?"
"Tidak perlu repot-repot Will, kau sudah banyak membantuku. Aku punya dokter pribadi. Cukup antarkan saja aku pulang." Memangnya siapa dokter pribadi ku, Jake? Seketika bibirnya mengulas senyum getir.
"Oh My God pagi ini kan aku ada pemotetan. Please Will antarkan aku pulang. Kalau kau tetap tak mau mengantarkanku, aku akan pulang sendiri."
"Kau tidak akan pergi kemana pun sampai kondisimu pulih Carolina. Pemotretan mu akan di jadwalkan ulang." Manik biru membeliak tak percaya dengan yang baru saja menggelitik pendengaran.
“Seenaknya saja kau ini bicara. Aku bisa kena masalah besar!”
“Siapa yang berani membuatmu dalam masalah, huh?”
“Aku sedang tidak bercanda William!”
“Sudahlah, berhenti berfikir tentang hal lain. Fokus saja pada kesembuhanmu. Dan satu lagi, aku tak memberimu ijin menjalani pemotretan sampai batas waktu yang tidak di tentukan.”
“Memangnya siapa kau? Seenaknya saja mengaturku!”
Mencondongkan tubuhnya ke depan seraya berbisik. “Aku berhak melakukan apapun yang ku suka pada para model ku Carolina, termasuk kau.” Mendapati kenyataan bahwa perusahaan yang menaunginya saat ini adalah salah satu perusahaan milik William membuat Carolina semakin sulit bergerak.
"Ku tunggu di meja makan. Segeralah mandi dan cepat turun ke bawah!" Ucap William sebelum melenggang pergi keluar kamar. Manik biru menatap nanar punggung kekar yang menghilang dari balik pintu.
Selesai mandi dan bersiap Carolina melihat pantulan dirinya di cermin. Satu kata yang terlintas di otaknya, cantik. Dress warna pastel yang membalut tubuhnya terlihat pas. Menyadari kedatangan Carolina, William segera menggeser kursi di depannya mempersilahkan Carolina duduk. Sikap William sangat manis.
"Terima kasih." Ucap Carolina tulus yang langsung di balas senyuman hangat. Tak dapat di pungkiri William memang sangat tampan dan seandainya saja pertemuan pertama tak di warnai kenangan buruk pasti Carolina sudah di buat jatuh hati.
Tatapan William tak pernah lepas dari wajah cantik Carolina. Yang di tatap merasa risih sehingga langsung mendongakkan wajah namun yang terjadi di luar dugaan. Manik dark brown seakan menghipnotisnya memaksa Carolina menelan salivanya berulang kali, di tatap penuh pemujaan. Entah kenapa hanya di tatap seperti itu tiba-tiba hatinya menjadi resah.
“Segera habiskan makanmu Carolina.” Menyadari Carolina kesulitan memotong steak memancing rasa peduli William. Segera menghampiri dengan berdiri di belakang Carolina. Tubuh ramping terkurung di antara lengan kekar.
Meskipun hanya membantu memotong steak tak seharusnya sikap William berubah jadi semanis ini. Hati Carolina pun di buat tak karuan di tambah lagi deru nafas hangat menyapu sepanjang tengkuk membuat perutnya seperti di aduk-aduk. Seketika rasa pening menyergap membuatnya kesulitan bernafas.
Hidung keduanya nyaris bersentuhan, deru nafas hangat saling menerpa mengirimkan gelenyar aneh merayapi setiap aliran darah, menyiksanya dalam kehangatan melingkupi jiwa.
William di buat tak sabar untuk segera mencicipi rasa manis bibir Carolina yang terasa sangat memabukkan. Membayangkannya saja membuat seluruh tulang serasa di remukkan. Deru nafas hangat yang menyapu sepanjang wajahnya semakin menariknya begitu dekat hingga wajah keduanya nyaris bersentuhan membuat manik biru memejam. Namun sampai sepersekian detik tidak terjadi apapun hanya bisikan lembut menggelitik pendengaran. Wajah Carolina langsung memerah ketika rasa malu mulai menyergap.
Apa yang dia pikirkan? Apa dia menginginkan ciumanku. William membatin sambil menatap lekat sepasang manik biru yang menyilau indah. Kembali di sendokkan makanan ke mulutnya dengan tatapan mata tak lepas dari gadis cantik di depannya ini.
William yang terkenal dengan julukan lady killer bisa dengan mudah menggiring calon korban masuk ke dalam perangkapnya termasuk gadis angkuh dan juga sombong seperti Carolina. Tidak ada satupun gadis di dunia ini yang bisa menolak pesona seorang William Darkness.
“Buka mulutmu!” Pinta William. Di iringi semburat merah langsung membuka mulutnya akan tetapi kembali menutup rapat. “Aku tidak suka spaghetti Will.”
“Cobalah sedikit saja. Paling tidak jilat juga tidak apa-apa. Kau harus mencicipi spaghetti buatanku ini Carolina.” Tak ingin mencipta rasa kecewa, segera menerima suapan.
“Bagaimana rasanya? Enak kan?”
Carolina mengangguk.
“Mau lagi?”
“Tidak Will. Terima kasih.” Sembari mengulas senyum. Hanya sebuah senyuman tapi bagi William hal itu berbeda, rasanya seperti undangan untuk segera menyusuri kelembutan bibir ranum.
Mata keduanya saling memuja saling berbicara tanpa ada sepatah katapun yang terucap. Carolina yang sudah terbuai dengan keintiman yang tercipta tanpa di sadari menyambut ciuman William. Entah sudah berapa lama bibir keduanya saling menari mengikuti irama hingga tak menyadari kehadiran seseorang yang melempar tatapan muak.