Kehidupan Elang

1990 Kata
Pemuda itu melangkah pelan sembari memperbaiki ranselnya yang tersampir pada bahu. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri berusaha menyapa teman-teman kampusnya yang berdiri di koridor. Beberapa dari mereka malah terang-terangan mendelik dan menatap pemuda itu aneh dan menatap sinis penampilan cowok itu dari atas kepala sampai kakinya yang hanya terbungkus sepatu lamanya, sejak dari ia duduk di bangku sekolah menengah atas. Erlangga atau biasa disapa Elang itu memang tidak punya teman dekat di kampusnya. Selain karena ia hanyalah anak dari keluarga tidak berada kalau makan siang sering tidak ikut karena belum membayar biaya makan di kafetaria kampusnya. Kalau sudah membayar, biasanya pihak kampus akan memberikannya kartu agar bisa dipakai saat jam makan. Dan Elang tidak pernah makan siang di sana, ia hanya makan di belakang gedung kampus. Makan ubi rebus yang ia dan kakeknya tanam sendiri. Seperti sekarang, pemuda itu sudah duduk bersilah dengan memangku ranselnya sembari mengupas kulit ubi dalam plastik bening. Elang tersenyum lebar saat ubinya sudah bisa ia lahap, matanya berbinar melihat asap yang masih keluar dari ubi dalam pegangannya. "Enaknya," gumamnya antusias lalu perlahan memasukannya ke dalam mulut. Belum juga masuk ke dalam mulutnya, ubi dalam pegangannya pun terlempar begitu saja saat seseorang yang berdiri di sampingnya sengaja menendang tangannya kasar sampai Elang terjatuh ke samping. "Kau selalu makan ubi di sini ya, anak miskin!" Tutur pemuda itu sudah mengisap rokoknya dalam membuat kedua temannya terkekeh begitu saja. Elang perlahan bangkit dan kembali memungut ubinya dan berusaha membersihkan kotoran dari makanan siangnya itu. "Jangan bicara begitu, dia bukan hanya miskin tapi juga melarat. Lihat aja kaosnya, kerahnya sudah melar begitu." Cibir beberapa anak cowok di depannya itu membuat Elang mengerjapkan matanya polos. "Aku boleh pergi kan sekarang?" Tanya Elang sudah berdiri dan memandang lurus ketua dari ketiganya membuat pemuda di depannya langsung melayangkan tamparan kuatnya. "Beraninya mulut kotor kamu bicara dengan aku, menjauh dari aku, sialan!" Kesal pemuda itu lagi lalu menendang Elang kasar sampai tubuhnya menubruk dinding di belakangnya kuat. Elang terbatuk kuat sembari memukul dadanya yang terasa sakit, padahal sudah sering ditendang tapi rasa sakitnya masih terasa. "Tidak ada yang menyuruh kamu pergi dari sini, duduk dan lakuin seperti biasa." Titah pemuda itu buat Elang menganggukan kepalanya menurut. Ia pun perlahan mengambil posisi push up dengan kedua kakinya ditekuk dan ia pun mengepalkan tangannya erat saat pemuda tadi sudah mendudukan diri di atas tubuh kurusnya. "Kau sudah kerjakan tugas dari dosen botak itu?" "Belumlah, kerajinan banget aku ngerjain duluan." "Apa gak sebaiknya kita gak usah ikut lagi kelasnya, dosen itu katanya sengaja mendekati mahasisiwi dengan alibi akan memberikan mereka nilai tinggi tapi dengan syarat, main sama dia." "Dimana-mana selalu saja ada sampah seperti itu,"  Elang masih berusaha sekuat tenaga mempertahankan posisinya, walau sekarang lengannya sudah gemetaran menahan lelah. Bahkan, keringatnya sudah mengalir pada pelipisnya membuat ia langsung tersungkur begitu saja dan anak cowok yang menjadikannya kursi terjatuh ke samping dengan kerasnya. "Maaf Alex, aku tidak sengaja ... tadi tanganku tid---" Omongan Elang terpotong saat anak bernama Alex di hadapannya itu langsung meninjunya kuat sampai pemuda itu kembali terbanting kuat pada dinding tembok. Elang terbatuk dengan meringis kesakitan merasa tubuhnya mendadak panas, "sudahlah, tinggalkan saja dia sendiri. Tidak seru lagi karena dia terlalu lemah begini," ujar cowok itu sembari melangkah pergi meninggalkan Elang yang perlahan beranjak duduk dan kembali merunduk mengambil ubi yang sudah diinjak oleh teman-teman Alex tadi. "Padahal itu ubi yang nenek masak," lirihnya sembari berusaha tersenyum, ia pun memungutnya memasukannya ke dalam kantong lalu melangkah pergi dari sana. Sebelum itu, Elang membuang ubinya yang sudah kotor ke dalam tempat sampah dan kemudian berjalan cepat agar bisa segera pulang ke rumahnya. Pemuda itu sekilas menolehkan kepala saat mendengar beberapa orang yang tengah duduk bergerombol membicarakan sesuatu yang membuat ia berusaha menajamkan pendengarannya. Dari yang ia tangkap adalah mereka membicarakan tentang vampire yang beberapa hari ini katanya banyak membunuh manusia dan kejadiannya selalu di sekitaran kampus. Elang tidak mau menanggapi banyak, ia hanya ingin segera pulang agar bisa bertemu dengan kakek dan neneknya. "Bagaimana cara  menjelaskan sama mereka ya, soal luka ini?" Gumamnya cemas lalu kembali melangkah ke trotoar. Berhubung rumahnya dan kampus lumaya dekat, Elang pun memilih berjalan saja walau harus berjalan sekitar dua puluh menit. Ia tidak akan memakai uang jajan yang kakek dan neneknya kasih, ia hanya ingin menabungnya untuk biaya kuliahnya. Elang melebarkan matanya kaget saat melihat di depan sana kakeknya sedang menarik gerobak yang berisi karton-karton dan juga kaleng minuman. Pemuda itu pun berlari cepat menghapiri kakeknya yang sudah berumur 76 tahun itu. Diumurnya yang sudah tua itu, kakeknya masih saja kuat bekerja. Padahal Elang sudah berusaha membujuknya agar tidak bekerja berat lagi, biar Elang saja yang kerja. Walau hanya kerja sambilan di kafe dekat kampus.  "Kakek!" Sapanya dengan nada riangnya buat sang kakek, Burhan menolehkan kepala dan sontak tersenyum membuat keriputnya makin terlihat. "Kau sudah pulang?" Tanyanya dengan tersenyum saat Elang mengambil alih pekerjaannya menarik gerobak, Burhan pun kini berjalan dengan memandangi cucu kesayangannya itu senang. "Iya, ternyata kakek nyari kartonnya sampai ke jalanan sini ya?" "Iya, di sini banyak karton yang bisa kakek ambil. Pemilik toko-toko juga lumayan ramah," Elang tersenyum dengan menganggukan kepalanya masih dengan menarik gerobak yang lumayan berat itu, "baguslah kalau mereka semua ramah, biar kakek juga makin semangat kerjanya." Burhan pun menganggukan kepalanya masih berjalan gontai. "Kita harus segera pulang kakek, pasti nenek sudah masuk buat kita." "Iya, kita harus cepat sampai di rumah." Setelah berjalan panjang dengan kakeknya, akhirnya Elang pun sampai di depan rumah sederhana yang terletak di sudut itu. Di samping rumahnya ada jembatan dan juga sungai yang biasa anak-anak pakai mandi dan main. Walau pun di sana nampak tidak terurus, tapi pemandangan malam biasanya bagus di jembatan sana, Elang kalau sepulang kerja selalu mampir di sana untuk menikmati pemandangan malam yang selalu memanjakan matanya. "Nenek, Elang sama kakek pulang!" Ujarnya sudah melangkah masuk dan langsung melangkah ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kakinya. Begitu pun dengan kakeknya yang mengantri di belakangnya. "Kalian sudah pulang? Kebetulan nenek baru selesai masak," "Yes, berarti kita pulannya di waktu yang pas." Kakeknya tersenyum lalu mendudukan diri dengan mengambil piring nasinya yang sudah diambilkan oleh sang istri, Elang menyalakan televisi yang kakeknya ambil dari tetangga yang membuangnya karena sudah rusak. Kakenya memperbaikinya dan akhirnya mereka bisa pakai nonton di saat jam makan begini saja karena harus menghemat listrik. "Bagaimana kuliah kamu?" Tanya neneknya dengan menatap Elang lurus. "Baik kok, nek. Tadi sempat makan sama-sama mereka di kantin, sebenarnya sepulang kampus juga diajak main ke rumah mereka tapi Elang bilang gak bisa ikut ... karena harus kerja." ceritanya antusias berusaha kelihatan baik-baik saja dihadapan kakek dan neneknya. "Benarkah? Nenek senang kalau kamu sudah dapat teman-teman di sana, sekali-kali ajak mereka makan ke rumah ya biar nenek masakin." Elang mengangguk lemah dengan tersenyum. Neneknya masih memandangi wajah cucunya lalu tersentak sendiri saat melihat luka lebam pada sudut bibir Elang, "ini kenapa? Kamu berantem?" Elang tersentak kecil dengan sontak menggelengkan kepalanya. "Bukan, Elang belum pernah cerita ya kalau Elang masuk satu organisasi kampus begitu yang ada kelas beladirinya, dan tadi latihan sama senior gak sengaja ketonjok." Ujarnya masih berbohong buat neneknya menatapnya cemas. "Beneran gakpapa, nek. Luka begini biasa bagi orang yang beladiri." "Begitu? Lain kali hati-hati ya," Elang menganggukan kepalanya dengan tersenyum manis. "Di jalan klademak tadi malam telah terjadi pembunuhan lagi yang diduga dilakukan oleh vampire, ini sudah kesekian kalinya korban berjatuhan. Sebenarnya dari manakah datangnya pada vampire-vampire ini, apakah mereka telah dimodifikasi secara genetik atau memang mereka sudah ada dari awal." "Hal ini masih belum terungkap, untuk itu diharapkan kepada anda semua agar selalu berhati-hati karena mereka selalu ada berkeliaran di sekitar kita, pembunuhan vampire semakin merajalela oleh karena itu jangan keluar rumah setelah sirine larangan dibunyikan. Ini semua demi keselamatan kita semua." Elang meneguk ludahnya getir mendengar berita yang sekarang ia nonton itu, kakek dan neneknya pun merasa cemas dan sampai menggelengkan kepalanya pelan. "Elang, kamu jangan keliaran malam-malam ya ... kalau sudah pulang kerja segera pulang, jangan sampai ada sesuatu hal buruk yang terjadi." "Baik, nek." Balas Elang dengan menolehkan kepala ke sampignya, memandang cermin kecil pada dinding menatap pantulan dirinya pada cermin. Ia pun sontak merunduk samar entah kenapa merasa bersalah dengan apa yang terjadi saat ini. **** Malam itu mendung gelap, beberapa rumah sudah mematikan lampu rumah mereka. Sirine peringatan pun sudah dibunyikan sedari tadi membuat mereka tidak berani untuk keluar rumah lagi meskipun ada hal yang darurat yang terjadi. Karena mereka lebih mengutamakan keselamatan mereka. Seorang pemuda masih berjalan santai di jalan dengan merunduk memainkan hapenya. Terdengar suara kekehannya melihat video lucu  yang ia nonton dalam ponselnya. Kemudian ia mendecak saat kembali terputar berita tentang vampire yang membuat ia langsung mematikan hapenya kemudian memasukannya ke dalam saku jaketnya. "Vampire-vampire sialan! Semoga kalian semua mati terbakar matahari," umpatnya dengan kembali melanjutkan langkahnya. Pemuda itu tersentak kaget saat sosok jangkung kini entah jatuh dari mana sudah berdiri di depannya dengan gerak-gerik mencurigakan. "Apa-apaan ini, kalau anda mau memalak saya lebih baik pergi sekarang ... saya orang miskin." Ujarnya sudah berusaha melangkah maju dan langkahnya terhenti saat melihat sorot mata sosok di depannya yang menyala merah dengan kedua taringnya yang sudah terlihat. "Va-vampire?"  Kagetnya sembari melangkah mundur. "Kau yang ke sini atau akau yang ke sana?" Ujar vampire itu masih berdiri tenang dengan mengeluarkan cakarnya membuat pemuda di depannya makin gemetar takut. "Jangan mendekat!" Katanya masih berusaha melangkah mundur dan berlari kabur begitu saja membuat sosok vampire yang masih memandang kepergiannya mendecak saja. "Ck, merepotkan." Kesalnya lalu sekejap mata langsung berdiri menghalangi pemuda tadi yang langsung terjatuh saking kagetnya. "Jangan begini, kalau terus-terusan menghindar, aku benar-benar akan marah." Katanya dengan nada santainya. "Tolong ... jangan bunuh aku," "Tidak bisa kukabulkan," ujar si vampire langsung menjulurkan tangannya sampai menembus tubuh pemuda itu, vampire sudah mengambil jantung pemuda tadi dan langsung membawanya pergi dari sana meninggalkan pemuda yang sudah tergeletak kaku itu. Keesokan paginya pun tempat kejadian sudah dipadati warga sekitar namun polisi sudah menghimbaukan kepada mereka agar tidak melintasi garis polisi yang sudah dipasang. Beberapa polisi dan petugas sudah memotret korban dan juga bekas darah disekitaran cowok yang ternyata adalah salah satu mahasiswa di kampus Dreame itu. Keluarga korban sudah datang menangis meraung melihat anaknya yang meninggal secara tidak adil. Bahkan, kehilangan jantungnya. "Bagaimana ini, kalau kita terus-terusan diam begini saja tanpa bertindak ... korban akan makin berjatuhan," ujar polisi yang tertera namanya Damar di sana. "Kita juga mau berbuat apa? Kita juga tidak tau mana yang vampire dan mana yang manusia kan? Bisa saja sekarang di sekitar kita ini ada banyak vampire, jadi kita tidak bisa sembarangan mengambil langkah tanpa berpikir panjang." Kata polisi yang lain. "Ya, masalahnya kalau kelamaan berpikir vampire akan semakin merajalela." "Kita tunggu perintah dari atasan saja, jadi lakukan saja apa pekerjaan. Jangan terlalu mencolok, bisa-bisa kamu dipecat." Lelaki itu mendecak saja dengan memandangi lagi korban yang sudah dievakuasi dan diangkut dengan mobil ambulance. Suara tangis keluarganya makin nyaring saat anaknya sudah dipindahkan dan berlalu dengan mobil ambulance. Damar, polisi yang bertugas itu mengedarkan pandangannya berusaha mencari CCTV di sekitar sana. Walaupun ada CCTV, anehnya vampire tidak bisa tertangkap oleh kamera dan hanya merusaki fasilitas yang ada. "Apa gak ada cara ya buat hentiin perbuatan mereka," gumamnya lalu berdecak kasar merasa penat karena tidak bisa menemukan solusi yang tepat. Dari sekian banyak warga yang melihat, ada Elang di sana yang berdiri dengan tatapan sayunya melihat tempat kejadian yang masih dipadati warga dan para petugas kepolisian. Pemuda itu melemaskan bahunya dengan menoleh ke sekitarnya. "Bagaimana ini, kalau kita juga dibunuh sama monster-monster itu?" "Apa sebaiknya kita pindah saja dari daerah ini? Sebelum kita benar-benar jadi santapan mereka." "Sejauh apapun kita pergi, pasti vampire-vampire sialan itu masih ada. Bahkan, populasi mereka bakalan menambah karena sudah banyaknya manusia yang mereka bunuh." "Terus, bagaimana kita bisa melanjutkan hidup? Kalau ngerasa aman saja kita tidak bisa?" "Sebaiknya kita ikuti saja kata pemerintah, untuk tidak berkeliaran di malam hari." Erlangga mendesah panjang mendengar obrolan ibu-ibu di sampingnya. "Vampire itu bukan monster," lirihnya dengan tersenyum kecut lalu berbalik pergi dari sana meninggalkan tempat kejadian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN