CLG | CHAPTER 15

1425 Kata
Beberapa saat kemudian, ponselnya tiba-tiba bergetar di tangannya. Iris terbangun dalam kebingungan. Ia tidak tahu jika dirinya akan tertidur. Ponselnya terus bergetar membuat Iris melihat nama pemanggil dan melihat jam saat ini. Ia mengerutkan dahinya namun tetap menjawab panggilan tersebut. Berjalan menjauh dari Gavin yang tidur nyenyak, Iris menjawab, “Iya, Pak Vincent?” “Hai, Iris. Seperti yang Pak Richard katakan sebelumnya, aku yang akan bertanggung jawab dengan proses perkembangan produk kecantikan merkmu. Dan sangat menyesal aku harus mengganggumu. Karena hanya jam segini aku memiliki waktu untuk menanyakan perkembangan pabrik tersebut. Apakah... Aku tidak mengganggu waktu malammu, Iris?” Iris melihat ke belakang sebentar sebelum kembali melihat ke luar jendela Prancis. “Tidak, Pak. Pabriknya sudah bisa digunakan sedangkan untuk gudangnya saya sudah menyiapkan tempatnya di belakang pabrik...” Gavin terbangun larut malam. Ia melihat jam yang menunjukkan pukul 2 malam lalu menoleh ke kiri di mana Iris sedang berbicara pelan dengan ponsel di telinganya. Ketika Iris menutup telepon, ia berbalik dan terkejut karena Gavin sudah bangun. Kelihatan sangat jelas jika Gavin tidak ingin pura-pura tidur, ia malah seperti menunggu Iris untuk melihatnya bahwa ia sudah sadar. “Kamu... sudah bangun?” Iris berjalan mendekat. Meletakkan ponsel di nakas samping lalu berkata pelan, “Maaf jika aku membangunkanmu.” “Mengapa kamu belum tidur?” tanya Gavin pelan karena masih lemah. “Aku... Akan tidur sebentar lagi. Tidurlah lagi, ini masih malam.” Iris merapikan kembali letak selimut dan menutupi tubuh Gavin hingga leher. Ketika ia menjauhkan jemarinya, tiba-tiba saja Gavin menahannya. Pria itu membawanya ke wajahnya yang mulai terasa hangat. “Tidur sekarang.” Walaupun suaranya terdengar lemah, namun masih seperti perintah di sana. Iris tersenyum kecil. Ia mengikuti perkataan Gavin. Mengambil tempat yang kosong di sebelah Gavin, Iris bersandar di tempat tidur dan membiarkan Gavin memeluk pinggangnya supaya kembali tertidur. Sedangkan tangan Iris bergerak mengelilingi bahu Gavin dan menepuknya dengan cara yang menenangkan. Hingga jam 4 pagi Iris masih terjaga. Ia sedikit takut jika dia terlelap, penyakit Gavin akan kambuh lagi dan dia akan menjadi semakin bersalah. Namun, beberapa saat kemudian Iris menguap dan matanya mulai terpejam. *** Pagi menjelang. Iris membuka matanya dan mendapati dirinya di tempat tidur berpelukan dengan Gavin yang masih tidur. Sambil menguap, ia terbangun dengan terpaksa dan melirik jam yang menunjukkan pukul 6 pagi. Memeriksa keadaan Gavin yang masih sakit lalu dengan terpaksa berjalan keluar kamar. Tiffany yang sedang memasang anting-anting berjalan menuju pintu kamarnya disaat terdengar suara ketukan. Ia membukanya dan melihat Iris berdiri di depannya. Dengan senyum alami, Tiffany menyapa Iris. “Tidak mungkin kau merindukanku sepagi ini.” Iris menghembuskan nafas panjang. “Aku ingin memberitahu sesuatu kepadamu karena kau adalah asistennya Gavin. Gavin sedang sakit. Sepertinya beberapa hari ke depan dia tidak akan bisa masuk—” “Apa? Gavin sakit?” wajah Tiffany segera berubah pucat dan panik. “Bagaimana keadaannya sekarang?” Ketika Tiffany ingin berjalan menuju kamar Gavin, Iris segera menahannya. “Dia sudah membaik dari sebelumnya walau tidak signifikan. Tapi, kau tidak perlu melihatnya sepagi ini, dia masih tidur.” “Tapi aku harus melihatnya!” Tanpa sadar Tiffany meneriaki Iris. Mendengar kekasihnya sakit tentu saja akan membuatnya sangat panik. “Kenapa?” tanya Iris tenang. “Kenapa kau terlihat khawatir yang berlebihan? Lebih khawatir dibandingkan aku... Padahal di sini istrinya adalah aku.” Tiffany segera menegang. Ia menelan salivanya dengan susah payah dan berusaha mengeluarkan senyum alaminya. “.... Dia kakakku. Tentu saja aku mengkhawatirkannya. Juga aku harus melihat keadaannya siapa tahu dia ingin mengatakan sesuatu tentang pekerjaan yang harus aku kerjakan hari ini.” Iris tersenyum lembut dan menepuk tangan Tiffany. “Tidak perlu. Kamu pergi saja ke kantor. Di saat Gavin bangun, aku akan menghubungimu segera.” Tiffany sedikit mengerutkan dahinya tanda tidak setuju dengan Iris namun tetap saja mengangguk dengan terpaksa. “Baiklah. Jika Gavin sudah bangun, kumohon untuk menyuruh dia menghubungiku secepatnya.” Iris mengangguk pelan. Melihat Minah di ujung matanya membawa bubur dan air minum, Iris segera menghentikannya. “Biar aku saja. Minah, kamu bisa melakukan tugasmu yang lain.” “Baik, Nona Iris.” Iris kembali menatap Tiffany yang masih berdiri di hadapannya. “Kalau begitu, aku akan kembali ke kamarku.” Tiffany melirik sosok Iris yang menjauh sebelum masuk ke kamar Gavin. Tanpa sadar ia sudah mengepalkan tangannya sangat erat. *** Iris membuka pintu dengan siku dan masuk dengan membawa nampan. Ia melihat Gavin sudah bangun dan sedang bersandar di tempat tidur. “Kau sudah bangun? Bagaimana keadaan perutmu?” “Sudah lumayan baik.” Suara Gavin terdengar lemah. Iris mendekat dan duduk di pinggir ranjang. Ia meletakkan nampan di pangkuan Gavin. “Aku baru saja menemui Tiffany dan mengatakan jika kamu butuh istirahat beberapa hari. Jika ada masalah pekerjaan yang penting hari ini, katakan padaku, aku akan menghubunginya. Aku juga sudah menghubungi dokter tadi malam, dia akan datang pagi ini. Jadi sambil menunggunya, kamu harus makan bubur hangat ini.” Gavin memperhatikan betapa cekatannya Iris merawatnya dan memperhatikannya. Ia tersenyum lemah saat Iris menyentuh wajahnya seolah ingin merasakan suhu tubuhnya. Ia bisa mendengar bisikan gelisah Iris karena suhu tubuhnya masih tinggi. Melihat Gavin tidak menjawab, Iris menatapnya. “Apakah perutmu masih sakit? Kalau begitu, kamu harus minum obatmu dulu.” “Aku tidak apa-apa. Hanya merasa lemah. Sepertinya aku terlalu banyak muntah tadi malam di kamar mandi.” “Oh, begitu...” Iris melirik semangkuk bubur yang sama sekali belum disentuh Gavin. “Kamu tidak bisa makan sendiri?” “Tanganku terasa berat. Aku tidak bisa banyak menggerakan tanganku.” Dengan ragu-ragu Iris bertanya, “Mau aku ... bantu kamu makan? Aku bisa menyuapimu.” Gavin tersenyum perlahan seraya memejamkan matanya. Menandakan ia setuju. Iris mengambil mangkuk bubur dan mulai menyuapi Gavin sedikit demi sedikit. Di suapan terakhir, Tiffany membuka pintu dan masuk. Gavin dan Iris refleks menoleh menatap Tiffany yang membawa sebuah map dan tas tangan, sepertinya ia akan segera berangkat kerja setelah pergi ke kamar Iris dan Gavin. Melihat bagaimana Gavin membiarkan Iris menyuapinya membuat Tiffany menegang. Pegangan pada map dokumen mengencang. Mencoba membersihkan tenggorokannya, Tiffany tersenyum. “Maafkan aku. Aku hanya butuh beberapa hal dengan Gavin tentang pekerjaan—” “Bukankah aku sudah bilang Gavin sedang sakit?” Iris memotongnya dengan datar. “Dia tidak akan bekerja hari ini, Tiffany.” “Tapi ini menyangkut tentang kerja sama dengan perusahaan asing. Bisakah kau memberikan waktu untukku berdua saja dengan Gavin? Kami hanya membahas pekerjaan, tidak lama.” Tiffany berkata dengan sabar. Ia juga mempertahankan wajahnya yang lembut membuat Iris muak. Dia pikir Iris tidak tahu maksud kedatangannya kemari? Datang dengan alasan pekerjaan hanya ingin berduaan dengan Gavin. Iris mendengus dalam benaknya. Iris berdiri dan menatap Tiffany dengan dingin. “Aku bilang Gavin tidak akan bekerja selama dia sakit yang artinya dia tidak akan membahas apapun mengenai pekerjaan. Dia butuh istirahat. Aku yakin kau mengerti apa yang aku katakan, Tiffany.” Tiffany memejamkan matanya dan mencoba menekan emosinya. “Iris—” “Tiffany, keluarlah,” potong Gavin membuat Tiffany dan juga Iris terkejut. “Seperti yang dikatakan Iris, aku butuh istirahat. Tunda saja semua yang membutuhkanku hingga aku pulih.” Dengan tak percaya, Tiffany menatap Gavin. “Tapi, Gavin, kerja sama ini sangat penting untuk perusahaan kita.” “Aku bilang ditunda dulu, Tiffany.” Suara Gavin terdengar agak dingin membuat Tiffany bergidik. Ia bahkan terdiam beberapa saat karena tidak percaya dengan nada suara Gavin. Ini adalah kali pertama pria itu memerintahkannya dengan datar dan dingin. Menelan saliva, ia mengangguk kaku, Tiffany mencoba memberikan senyuman terbaiknya. “Oke, aku... aku akan menundanya. Selamat beristirahat, Gavin. Dan semoga lekas sembuh.” “Hm.” Gavin menjawabnya dengan gumaman lemah. Lalu menatap Iris di sebelahnya. “Aku masih lapar.” Iris segera tersadar mengingat bubur Gavin masih tersisa sedikit lagi. Dengan perlahan ia kembali menyuapi Gavin. Iris berkata dengan lembut. “Jika masih lapar, aku akan memotong beberapa buah-buahan.” Setelah mendengar percakapan kecil mereka, Tiffany dengan kaku berbalik dan keluar dari kamar Iris dengan langkah lebar. Di lorong kediaman Mikhail, wajah lembutnya berubah menjadi penuh dengan emosi. Kesal, marah dan malu. Itulah yang ia rasakan. Bisa-bisanya Iris menyuapi kekasihnya tepat di depan matanya?! Cengkraman tanganya pada tas tangannya semakin menjadi hingga meninggalkan bekas kuku di sana. Mendengar suara sayup-sayup dari ruang makan, Tiffany segera mengembalikan ekspresi lembutnya. Regina melihat Tiffany yang mendekat ketika ia menyiapkan makanan di meja makan. “Kamu sudah ingin berangkat kerja, Sayang?” Tiffany mengangguk dengan senyum lembut. “Iya, Ma.” “Ayo, duduk dulu. Kita sarapan bersama.” Tiffany mengangguk patuh. Ia menggeserkan kursinya kemudian duduk dan memakan sarapannya dalam diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN