Orang Asing yang Mencurigakan

1050 Kata
"Bro! Lu ngeliatin siapa sih?" tanya Dody sambil menyikut pinggang Pras Kamaya Fernanda. Lelaki itu mengikuti arah pandang Pras. "Eh, nggak. Bukan siapa-siapa. Omong-omong, lu bisa jauhan dikit nggak dari gue? Kita deket, tapi nggak intim." Pras mendorong tubuh Dody yang teramat sangat menempel padanya. "Ah, takut amat lu ketularan gantengnya gue. Lagian siapa yang mau ngelirik elu sih? Dah punya bini juga. Omong-omong, bini lu kenapa dikurung terus? Mentang-mentang cakep. Takut ya kita godain?" Pras enggan menanggapi. "Um, tadi lu ngomong sesuatu, Dod?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. "Eh, kagak. Gue cuma lagi kumur-kumur. Ya iyalah gue dari tadi ngomong, anying! Lu kira gue lagi ngedalang?!" Pras buru-buru membungkam mulut sahabatnya. "Kontrol! Kita lagi di acara duka. Mulut lu nggak ada otaknya emang!" "Kalau mulut gue berotak, udah lama dia memisahkan diri dari badan gue." "Kenapa? Karena dia lebih pinter dari elu?" "Karena diusir otak gue!" kata Dody sebal. Pras terkekeh. Dia berjalan ke arah rumahnya setelah ambulans yang membawa jenazah, pergi diiringi para pengantar. Pras tak ada niat ikut ke masjid apalagi mengantar ke makam. Dia tak berniat ikut terlibat sejauh itu. "Ngapain lu ngikutin gue?" tanya Pras ketika menyadari Dody mengekor padanya. Pandangan Dody tertuju ke arah pintu rumah Pras. Berharap bisa melihat Shanen walau sekilas. "Seriusan berita yang gue denger? Lu ngurung Shanen?" Pras menoyor kening sahabatnya. "Ngaco. Ngapain juga barang bagus gue simpen. Kalo bisa udah gue pamerin sepanjang waktu kali." "Jadi kenapa dia nggak keluar rumah lagi?" "Nggak ada alesan. Dia nggak mau aja." "Apa dia nggak takut lu makin mengganas di luaran kalau tanpa pengawasan?" Pras langsung menoleh cepat ke arah pintu, takut Shanen mendengar omongan Dody barusan. Ditariknya Dody keluar pagar lalu ditutupnya pagar dan Pras menarik Dody agar lebih dekat padanya. "Katanya kita nggak seintim ini, tapi kenapa lu pengen mepet-mepet ke gue?" "Sssttt! Lu hati-hati dong kalau ngomong. Jangan sampai Shanen dengar dan dia mikir yang enggak-enggak." "Ngomong apa? Soal kita yang intim atau soal lu yang liar?" Pras menegakkan tubuhnya dan memberi jarak lebih lebar dengan Dody yang ada di sisinya. Dia menyapa dua orang mamah muda yang melintas di hadapan mereka. Dua mamah muda itu cekikikan memandang pada Pras dan Dody. "Tuh kan, lagi di acara duka aja tebar pesona," sindir Dody. "Gue cuma bersikap ramah, Dod." "Sikap ramah elu yang sering bikin perempuan salah mengartikan." "Salah gue? Enggak, kan?" "Nggak salah kalau cuma kasih senyum. Tapi kalau kasih tumpangan, itu salah besar!" "Fitnah, lu! Mana pernah gue kasih tumpangan sama perempuan sembarangan." "Kalau bukan perempuan sembarangan? Sering?" Pras mulai kesal. Bukan hak Dody menghakiminya. Dody cuma teman sekaligus tetangga. Bukan orangtua atau kerabat dekatnya. "Dahlah, Dod. Jangan masuk wilayah privacy gue. Apa yang gue lakuin nggak pernah merugikan siapa pun. Gue masih suaminya Shanen. Dan gue masih sayang sama dia." "Baguslah. Gue cuma ngingetin. Sebelum hal buruk terjadi dan itu merugikan kalian berdua." Pras menepuk pundak Dody. Percakapan ini mulai nggak nyaman dan dia ingin segera mengakhirinya. "Thanks, Bro. Gue … harus masuk. Takut Shanen bangun dan nyariin gue." Dody tersenyum dan mengangguk. Memandang simpati pada temannya itu. Dia tahu kalau ada bagian dalam diri Pras yang terenggut sejak menikah dengan Shanen. Dulu mereka pernah satu kampus, tapi tidak dekat. Tak disangka ketika sudah bertahun-tahun lulus, mereka malah jadi tetangga. Sedikit banyak, Dody tahu tentang kelakuan Pras sewaktu di kampus dulu. "Semoga Shanen cepat membaik. Apa pun yang sedang dia alami." Pras memang tertutup kalau sudah berbicara soal istrinya. Bahkan kepada Dody, dia tak bercerita apa-apa. Pras hendak membalikkan badan ketika menyadari seorang lelaki berjalan menjauh dari rumah tetangga depan. Pandangannya mendadak awas lagi. Dody yang menyadari keanehan Pras langsung mengikuti arah pandangnya. "Kenapa gitu ngeliatinnya? Lu nggak berubah haluan jadi penyuka sesama, kan?" tanya Dody menyikut pinggang Pras. Lelaki itu tak menggubris omongan Dody dan tetap mengikuti pergerakan seseorang yang kini sudah berada di depan pagar sebelah rumah Pras. Menyadari kalau dia sedang diperhatikan, orang itu menoleh ke arah Pras dan Dodi lalu mengangguk tanpa senyum. Setelahnya, orang itu membuka pagar dan menghilang di baliknya. "Tetangga sebelah gue?" tanya Pras lirih pada diri sendiri. "Kok gue baru tahu. Sejak kapan? Gue pikir rumah sebelah kosong." "Dia pelaut. Jarang mendarat. Sekalinya di darat nggak lebih dari sebulan. Itu juga kayaknya cuma ada di rumah buat tidur. Kalau malam dia keluyuran di pub-pub ngabisin duit hasil berlayar." "Kok lu paham banget, sih? Udah kayak lambe turah aja serba tahu." "Dari siapa lagi? Bini gue, kan influencer kompleks. Nggak ada berita seputaran kompleks yang lolos dari telinga dia. Ada aja orang yang ngasih kabar ke dia." "Influencer apaan? Kang ghibah itu, sih!" "Eh, beda. Bini gue nggak ternak ghibah. Setiap berita yang dia dengar ya cuma dia tampung tapi nggak dia sebarin lagi. Dan dia emang aktif di kompleks. Lebih aktif dari pada Bu RT dan Bu RW. Rumah gue udah kayak biro konseling segala masalah rumah tangga dan keuangan!" kata Dody sedikit curcol. Pras cuma mengangguk meski nggak paham-paham amat. "Jadi … tetangga gue ini pelaut dan jarang di rumah?" tanya Pras menegaskan. Dody menggangguk mengiyakan. "Tapi bisa kebetulan banget, ya? Dia selalu ada pas ada orang meninggal." "Maksud, lu?" "Sebelum ini, gue yakin ngeliat dia ngelayat Nora. Dan sekarang ngelayat Ayu. Bisa pas gitu ya?" Kening Dody mengernyit. "Gue nggak lihat ada yang aneh. Ya emang cuma kebetulan aja kali waktunya pas." "Bener juga ya. Lagian kematian mereka berdua nggak ada yang aneh, kan?" "Aneh kayak gimana? Wajar aja kalau menurut gue. Nora meninggal karena ditabrak mobil dari belakang. Dia itu tipe ibu-ibu sen kiri belok kanan. Meski nggak pengen menyalahkan dia, tapi kenyataannya begitu." "Dan si penabraknya kabur?" "Sayangnya begitu. Tapi keluarganya nggak menuntut dan nggak mau memperpanjang juga. Mereka bilang sudah takdir. Kalau diperpanjang juga nggak akan bisa mengembalikan Nora." "Ya juga sih. Mm, trus Ayu. Lu pikir wajar juga?" "Apanya yang salah dari meninggal dalam tidur? Banyak kasus begitu. Dan Ayu itu punya asma. Mungkin dia kumat dan gagal napas. Entahlah. Yang gue dengar begitu." Pras menatap kagum pada Dody. "Bener-bener info lu lengkap banget. Tapi … tetap aja gue merasa ada yang salah di sini," katanya lirih. "Salah maksud lu itu … karena lu pernah punya hubungan spesial sama mereka berdua dan nggak terima sama kematian mereka, kan? Kalau dari sudut pandang gue, apa bukan lu yang seharusnya dicurigai?" tanya Dody sambil menatap Pras tajam.[]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN