"Kita perlu tersenyum, untuk mengikis luka. Apapun jenis senyumannya, yang tersenyum berhak memilih."
***
"Doctors in anesthesiology please come to room 34." suara nyaring informan wanita itu menyingkap sibuknya UGD yang baru saja menerima pasien kecelakaan kerja.
"Doctors in anesthesiology please come to room 34." Dengan sigap pria berjas putih itu berlari menyusuri koridor menyingkap lalu lalang orang-orang , berlari dengan langkah lebar, tergesa memakai baju operasi lalu diakhiri dengan mensterilkan diri. Lelaki itu akhirnya berhasil masuk ke ruang operasi, tepat ketika pintu otomatis terbuka. Terlihat beberapa pasang mata panik menghiasi ruangan yang dipenuhi bau menyeruak itu.
Pria itu langsung terfokus pada monitor kecil, yang menampilkan kondisi organ vital pasien.
"Epinephrine! Five bags of RBCs, allow them to flow completely!" ucapnya mengintruksi.
"Set level 1!"
Residen anestesiologi dan perawat yang bertugas sibuk berlalu-lalang mengambil apa yang dibutuhkan, melakukan perintah dengan cepat dan harus tepat.
"Conduct an ABGA!" Perintahnya pada residen disebelahnya.
"Administer 0,2 unit of vasopressin per cc." Dokter itu lagi-lagi fokus dengan layar monitor.
Ruangan bercat biru salju itu terasa sesak, dicekam dinginnya kepanikan. Waktu yang menegangkan membuat beberapa dokter residen berkeringat dingin, grafik tak beraturan pada monitor kecil diberengi dengan denging yang membuat orang kalang kabut, terus menjadi penyemarak ruangan bersuhu dingin itu. Operasi tranplantasi organ kali ini membutuhkan 'kolaborasi' berbagai departement.
"We got the vitals." Ucap dokter itu, membuat semua orang dalam ruang operasi menghembuskan napas lega.
***
El memperbaiki jaketnya agar lebih sempurna membalut tubuh, musim dingin di kota Cambridge bisa mencapai angka negatif, ditambah angin malam yang bertiup tak kalah kencang. Tidak ada mobil, karena jarak flat-nya dan rumah sakit cukup dekat, hanya perlu melewati sekolah menengah, lalu beberapa toko, maka dia bisa masuk ke dalam flat-nya dan bergelung dengan selimut tebal.
Indera pendengaran El menangkap ada yang tidak beres. Suara bising di sudut bangunan sekolah membuat langkah El terhenti sesaat. Harusnya dia tidak perlu ikut campur, tapi kakinya lebih memiliki empati.
Dua anak laki-laki memegangi salah seorang anak, lalu tiga orang lainnya mengitari anak yang sedang memukuli anak lain yang sebaya. El memijat kening, seharusnya dia mengikuti perintah otaknya agar tidak ikut campur. Tak urung, El mengalihkan perhatian gerombolan remaja tanggung yang berada sembilan meter di depannya itu dengan teriakan lantang.
Laki-laki yang baru saja memberi tinjuan menoleh, lalu memberi kode pada teman-temannya yang lain untuk meninggalkan remaja lelaki yang sedang terkapar di tanah.
El menghela napas, syukurlah para remaja tanggung itu tidak menghajarnya ramai-ramai. El mempercepat langkah mengampiri remaja laki-laki yang terkapar lemas dengan banyak luka lebam, nahasnya lagi, pakaian remaja itu juga dilucuti, hanya menyisakan kolor dan kaos putih polos tipis, yang membuat El ingin mengumpat.
El memastikan bahwa remaja laki-laki itu masih tetap sadar, diberikannya jaket yang sedari tadi dia kenakan. El mengamati remaja tanggung dihadapannya, bagian mata membengkak, sudut bibir yang dihiasi bercak darah, lalu pandangannya beralih pada kaki remaja itu, memar terkena pukulan benda berat membuat kulit putihnya berubah warna.
"I should bloodletting in your eye." Ucap El, setelah mengorek tas kerjanya.
Anak itu mengangguk, tak tahu lagi harus berbuat apa, telapak tangannya memerah bekas mencengkram salju.
El mensterilkan peralatan dan tangannya, lalu mengambil cairan lidokain. Acungan spuit El membuat remaja tanggung itu memundurkan punggungnya, ragu.
"It's anesthesia. If I don't, you'll get hurt," El menyuntikan lidokain, lalu tangannya cekatan mengambil scalpel. Remaja tanggung itu mengamati El dari ujung hingga pangkal.
"Are you an ophthalmologist?" tanya remaja tanggung itu takut-takut.
El menggeleng santai. Remaja itu meneguk salivanya susah payah, rasa takutnya semakin nyata.
"I should, if you don't want to go blind" suara santai El, membuat remaja tanggung itu mengangguk ragu.
Diawali membuat sayatan, lalu memegang ligamen di kantus lateral dengan pinset, dan memotong jaringan tisu luar, serta menghilangkan hematoma yang menekan saraf optik remaja tanggung itu.
Ambulans akan datang setelah 10 menit, mengingat jarak yang tidak begitu jauh, itu prediksi El. Pembedahan darurat selesai, El mengemasi alatnya setelah merapikan perban yang membalut mata remaja tanggung itu.
***
"Arash udah di bandara Bubun, setengah jam lagi udah flight kok, Arash check in dulu yaa..." Gadis bersepatu kets putih itu menyusuri koridor bandara terburu-buru. Ponsel hitam diapit dengan pundak kirinya, salah satu tangannya sibuk mengorek tas punggung kecil yang tersampir di pundak kiri, tangan satunya menyeret koper berwarna pink. Gadis itu melebarkan langkahnya saat melihat koridor keberangkatan 1B melenggang.
"Iyaa... udah yaa bun, takut ngga keburu nih, iyaa.. wa'alaikumsalam"
PRANG!
Arash terlonjak kaget, reflek gerakan kakinya terhenti. Pecahan kaca seketika menyebar keseluruh penjuru, gadis itu memundurkan kakinya saat kerumunan orang spontan terbentuk dihadapannya, teriakan tak terelakan, sebagian berbisik, sebagian lagi menjerit tertahan, orang-orang semakin ramai berkerumun.
"Kasian anaknya..." dua orang gadis berputar arah.
Arash memberanikan diri menerobos kerumunan manusia itu. Papan petunjuk yang belum terpasang sempurna, jatuh berkeping-keping, mengenai anak yang sedang melintas dibawahnya. Ibu anak lelaki itu bersimpuh kebingungan, kerumunan orang masih terbentuk, sesak.
Setelah berhasil sampai dibarisan depan kerumunan manusia itu, Arash berlari kecil lalu berjongkok mendekati anak lelaki yang berusia sekitar enam tahunan itu, Arash menepuk-nepuk pipi anak lelaki itu, memastikan kesadarannya, wanita disebelah Arash semakin terisak saat menyadari anak lelakinya tidak memberikan respon sama sekali. Lelaki berbadan tegap di seberang Arashpun terlihat bingung.
Arash mencondongkan badannya saat menyadari anak laki-laki itu kesulitan bernapas. Beberapa sayatan akibat pecahan kaca menghiasi tangan dan kaki bocah enam tahun yang terbaring tak sadarkan diri itu, kaca cukup besar juga menancap pada perut kecilnya.
"Lehernya terluka, seharusnya arteri karotisnya tidak bermasalah." Arash bergumam, laki-laki berseragam putih biru yang berjongkok diseberangnya mengulurkan sapu tangan. Arash sempat mengangguk menerima uluran sapu tangan lelaki yang berjongkok diseberangnya, lalu menekan pelan luka dileher anak berusia enam tahun itu.
"Vena jugularisnya rusak." Arash masih menekan pelan luka dileher anak laki-laki itu, untuk menghentikan pendarahannya.
Lelaki yang memberinya sapu tangan tadi mendial salah satu nomor di ponselnya berkali-kali, bernapas panjang, namun hanya nada dering saja yang terdengar. Arash mendekatkan telinganya pada tubuh anak lelaki itu, lalu memrobek paksa kemeja putih bermotif mobil-mobil kecil yang dikenakannya. Orang-orang yang masih menyaksikan langsung meringis ngilu saat mengetahui serpihan kaca berukuran cukup besar itu masih tertancap pada perut bocah lelaki yang tak sadarkan diri. Arash menggerakan tangannya untuk menyentuh d**a anak lelaki itu, lalu menekannya perlahan. Orang yang berkerumun kasak kusuk.
"Anda dokter?" Lelaki yang sedari tadi tak bersuara akhirnya bersuara. Arash tersenyum kikuk.
"Anda sudah menghubungi tenaga medis?" Lelaki itu mengangguk.
"Paru-paru kanannya bengkak, dan rongga pleura dipenuhi udara. Apakah ada tenaga medis disini?" Arash bertanya pada lelaki yang berjongkok diseberangnya, Arash menebak dia salah satu petugas bandara.
"Udara dalam paru-parunya harus dikeluarkan....." gadis itu mengorek tas ransel kecilnya, mencari benda tajam.
Lelaki berseragam tadi menghembuskan napas, saat mengetahui pria berjas putih tergopoh-gopoh dengan tas medis di tangannya.
"Pasien tidak sadarkan diri, vena jugularis bermasalah, paru-paru kanan membengkak, rongga pleura dipenuhi udara." Ucap Arash tanggap memberi penjelasan pada dokter yang baru saja datang.
Arash memutuskan melanjutkan perjalanannya setelah anak lelaki itu dibawa ke rumah sakit terdekat menggunakan ambulans.
"Mecca Farasha!" Suara berat lelaki, membuat Arash menghentikan langkah. Lelaki berseragam biru putih dengan motif bercak merah yang mengering akibat noda darah itu menebak ragu.
"Mecca Farasha, kan?" Pupil mata lelaki itu melebar tanpa sadar. Arash tersenyum, sembari menajamkan memorinya.
Riuh lapangan basket tak membuat Arash ikut merasa riuh. Arash tetap kesepian, masih dengan rasa yang sama dihari pertama. Dia mengenal anak-anak yang segugus dengannya, berbicara seadanya. Tapi hatinya tak klop. Ingatanya kembali mengembara, baginya tempat ini tetap tak semenarik 'mantan calon sekolah baru'-nya dulu. Dia tersenyum mengejek, matanya terasa panas.
"Dek" anak itu tidak sadar jika cowok disampingnya dari tadi kasak-kusuk, lalu tertawa bersama temannya- sesama 'Kakak Gugus'. Arash masih asyik dengan imajinasi yang dibuatnya. Menerima kenyataan atas penolakan memang tidak mudah. Sebab selama dia hidup dia belum pernah mendapat kata 'tidak' dari lingkungannya.
Kelopak matanya menampung bulir air yang siap jatuh saat dia berkedip, senyum ejekannya semakin nampak, dadanya sesak jika sudah seperti ini, tangisan untuk sebuah penolakan itu sangat memalukan baginya.
"Dek" Arash menangkap suara itu, tapi dia masih tidak peduli. Banyak anak disini, lagi pula dia tidak mengenal satupun kakak kelasnya, tidak mengenal dekat. Jadi, tak akan ada yang dengan percuma memanggilnya dan berurusan dengannya. Gadis itu menghela nafas panjang, hingga tangan lengkap dengan kelima jarinya bergerak didepan wajahnya, dia berkedip. Lalu mengalihkan pandangan.
"Iya Kak?" Arash menyeka mata sebentar. Aneh pikirnya, dia tidak membuat masalah, hanya diam sedari tadi.
"Kamu..." Kakak Gugusnya terlihat salah tingkah, menggaruk tengkuk, lalu berdehem.
"Iya Kak?" Arash menatap bingung, masih berpikir kira-kira dia telah melakukan kesalahan apa.
"Celana kamu kebalik ya?" Ucapan itu mulus keluar dari mulut Kakak Gugus yang Arash tidak ketahui namanya, reflek Arash menyentuh celananya. Matanya seketika memejam, menahan malu. Setidaknya dia tidak melihat ekspresi lawan bicaranya.
"Kak Reshi! Ya Allah..." lelaki didepannya itu tersenyum manis.
"Lama nggak ketemu..." Arash tersenyum cantik menanggapi.
***
✔ Ephineprine atau juga disebut adrenalin, adalah obat yang biasa diberikan pada pasien alergi *anafilaktik atau pada pasien yang mengalami henti jantung dan napas.
✔ Alergi anafilaktik biasanya disebabkan oleh gigitan serangga, lateks, obat-obatan, ataupun makanan.
✔ RBCs (Red blood cells): darah yang ditransfusikan pada pasien.
✔ Level 1 : mesin untuk transfusi darah dengan cepat.
✔ ABGA (arterial blood gas analisys) atau analisis gas dalam darah.
✔ Vasopressin adalah hormon antidiuretik yang dihasilkan hipotalamus dan disimpan di hipofisis yang berfungsi untuk membantu ginjal mengatur kadar air. Suntikan vasopressin dibutuhkan untuk mengendalikan perdarahan.
✔ Lidokain: salah satu jenis obat bius.
✔spuit : lebih dikenal dengan sebutan suntikan.
✔ Arteri karotis : pembulu darah yang berada di leher yang berfungsi mengalirkan darah ke otak dan kepala.
✔ Vena jugularis : pembulu darah yang terletak di leher yang berfungsi mengalirkan darah dari otak, wajah dan leher menuju jantung.
✔ ophthalmologist : dokter mata.
Terima Kasih :)
Selamat membaca⚘
Panasea