MY LOVELY GHOST
BAB 6
Zelena tergeragap, gadis itu membuka matanya saat ia mendengar sesuatu yang berderik di sisi bathup, tampaknya Zelena tertidur di dalam sana, entah sudah berapa lama. Gadis itu bangkit, duduk di dalam bathup dengan air yang dipenuhi busa, perlahan ia menoleh ke sisi kiri, dan membekap mulutnya dengan kedua tangan.
Ya, Zelena baru saja melihat sesuatu yang teramat menakutkan. Sesuatu yang tak lazim di matanya. Wujudnya aneh, seperti manusia tapi memiliki telinga yang lebar dan panjang seperti kelinci, begitu pun dengan bentuk wajahnya. Sosok itu terlihat sedang mengerik dinding kamar mandinya dengan kuku – kukunya yang tajam. Zelena hanya bisa diam, dan terus menatap sosok itu sampai pada saat sosok itu berbalik dan menatap Zelena dengan gigi – giginya yang tajam. Ia mengerang, memperdengarkan suara yang begitu mengerikan, mengaung seolah ingin menerkam gadis itu.
Zelena menjerit, ia menjerit sekuat tenaga, tubuhnya gemetar di dalam bathup dan air matanya tumpah seketika.
“Zelena!”
Gadis itu membuka matanya, ia tak lagi mampu membedakan antara air mandi dan keringatnya sendiri. Zelena memeluk tubuhnya yang telanj*ng, ia kemudian mendongak dan melihat Xavier yang sudah berdiri di sana, menatap dirinya dengan cemas.
“Kau baik – baik saja?” Suara Xavier terdengar lirih, menatap wajah pucat Zelena. Gadis itu bahkan tak mampu menggerakkan tubuhnya.
“Aku tidak baik – baik saja.” Jawab Zelena dengan lirih, suaranya nyaris seperti bisikan. Matanya menatap ke arah dinding itu, tapi sosok mengerikan itu sudah tidak ada di sana lagi.
“Aku harus ke luar dari sini, bisakah kau pergi sebentar.” Pinta Zelena dengan lemah.
“Aku mengerti.” Xavier pergi dari tempat itu, memilih untuk menunggu Zelena di depan pintu kamar mandinya.
Gadis itu ke luar dari dalam bathup, kakinya terasa begitu ringan dan tak bertenaga, saat ia mencoba meraih piyama mandinya. Zelena hampir saja terjatuh, jantungnya masih berdegup kencang mengingat apa yang baru saja menimpanya tadi. Zelena melangkah ke luar, ia berpegangan pada sisi pintu, berusaha mempertahankan kekuatan tubuhnya.
Xavier mengulurkan tangannya, ia ingin menolong Zelena dan membantunya duduk, tapi nyatanya ia bahkan tak bisa menyentuh gadis itu. Xavier hanya bisa melihatnya tanpa bisa melakukan apa – apa.
Zelena menatap Xavier, matanya tampak sembab dan penuh rasa takut. Gadis itu meraih botol air dan menuangnya ke dalam gelas, lalu meneguknya sedikit.
“Di mana dia?” Tanya Zelena dengan perasaan tak tenang.
“Dia pergi saat melihatku.” Xavier melihat ketakutan di mata Zelena, entah mengapa ada rasa yang muncul di dalam dirinya, sesuatu yang telah lama hilang.
Zelena tertegun, ia mencoba mencerna kata – kata Xavier itu, “Ia pergi karenamu?”
“Ya, bukankah aku pernah mengatakan ini padamu, Zelena? Kau akan membutuhkan bantuanku.”
“Aku mengingatnya, tapi aku tak mengerti dengan kata “bantuan” yang kau ucapkan. Bagaimana kau bisa membantuku, sedangkan kau itu hantu, sama seperti mereka.” Zelena menyandarkan tubuhnya, gadis itu menyeka keringat dingin yang berada di keningnya.
“Kau meragukan kata – kataku?” Xavier menoleh ke arah dinding dan menunjuk dinding itu, dengan suara keras ia berkata, “Ke luar!”
Zelena terperanjat, ketika ia melihat hantu laki – laki dengan mata yang menakutkan itu. Hantu itu merangkak, ke luar dari balik dinding di dekat Zelena. Rasa takut gadis itu belum sepenuhnya lenyap, dan sekarang apa yang Xavier lakukan? Memanggil hantu yang lain?
Hantu itu mengeluarkan suara, suara erangan yang begitu menyakitkan. Ia menatap Xavier, dan Zelena yakin melihat mata Xavier memancarkan cahaya merah yang tajam. Sinar merah itu beradu dengan pandangan mata hantu lelaki yang tak ingin mengalah.
“Pergi, sebelum aku menghancurkan jiwamu!” Perintah Xavier kepada hantu itu. Hantu itu menjerit, sesuatu yang tak pernah Zelena bayangkan. Selama ini ia hanya menemui hantu – hantu yang bahkan tak bisa menyentuh dirinya, hantu – hantu kecil yang hanya ingin menyapa dirinya. Tapi tidak dengan hantu itu.
Zelena melihat ke langit – langit rumahnya, tampak asap berwarna hitam melayang ke atas kemudian menghilang.
“Aku tak menyangka kalau kau sangat disukai oleh hantu – hantu itu.” Xavier melihat wajah Zelena yang semakin pucat, pemandangan tak biasa itu belum dapat diterima oleh akal sehat Zelena. Gadis itu menatap Xavier, tapi semakin lama pandangannya semakin kabur.
“Zelena!” Xavier berusaha meraih tubuh Zelena yang terjatuh di sofa. Tapi usahanya selalu saja sia – sia. Lelaki itu hanya menangkap angin dan semakin lama ia pun merasa sangat kesal.
“Zelena! Bangun!” Xavier memanggil gadis itu berkali – kali, karena hanya itu yang bisa ia lakukan.
Xavier mengulurkan ujung jari telunjuknya dan mengarahkan jari itu kepada Zelena, perlahan ia memindahkan tubuh Zelena ke atas tempat tidur. Tubuh gadis itu melayang di udara, dan turun dengan begitu hati – hati.
Zelena bergerak, dan dengan cepat Xavier memanggilnya kembali, “Zelena, bangun!”
Gadis itu membuka matanya, perlahan mengerjap dan terkesiap ketika menyadari dirinya berada di atas tempat tidur itu, dengan Xavier yang berdiri di hadapannya.
“Kenapa aku di sini? Bukankah tadi aku duduk di sana?” Zelena bertanya dengan bingung, menatap Xavier yang terlihat berbeda itu.
“Ada apa denganmu, Xavier?”
“Aku kehilangan sedikit kekuatanku karena memindahkanmu dari sana, tubuhmu lumayan berat, Zelena.” Xavier tersenyum lebar, berusaha memulihkan kekuatannya kembali.
“Memindahkanku? Kau bisa menyentuhku?”
“Tidak. Aku tidak menyentuhmu. Aku membuatmu melayang di udara. Aku bisa memindahkan sesuatu tanpa menyentuhnya, Zelena.”
“Begitu rupanya.”
“Aku minta maaf, karena membuatmu terkejut. Tapi dia tidak akan kembali lagi. Kau bisa tenang sekarang.”
“Benar, aku sangat terkejut. Kurasa aku harus pindah dari sini.” Zelena bangun dan mengambil ponselnya, berniat menghubungi agennya dulu.
“Percuma, kau akan pergi ke manapun, mereka tetap akan mengikutimu. Kau memiliki aura yang mereka sukai.”
“Apa? Itu tidak masuk akal.”
“Tapi itu kenyataannya, Zelena. Kau bisa membuktikannya sendiri.”
“Bagaimana caranya?”
“Izinkan aku berada di dekatmu, maka “mereka” tidak akan pernah muncul lagi.” Xavier memperlihatkan keseriusan di dalam ucapannya. Dan Zelena menatapnya dengan mulut terbuka.
“Mengizinkanmu berada di dekatku? Terus menerus?” Tanya gadis itu dengan kalimat yang diperjelas.
“Hmm, itu jika kau tidak ingin “mereka” mengganggumu lagi.”
“Tapi kenapa? Kenapa “mereka” takut padamu?” Zelena berbicara dengan cemas, haruskah ia mengizinkan Xavier untuk tinggal? Lalu bagaimana dengan kehidupan pribadinya kelak?
“Karena aku memiliki kekuatan untuk menghancurkan, dan “mereka” semua menyadari hal itu. Aku adalah penghancur iblis.”
“Tapi kau sendiri bagian dari “mereka”.” Suara Zelena terdengar lirih saat mengatakan hal itu.
Xavier yang mendengarnya langsung menatap Zelena dengan tajam, “Sudah kukatakan padamu aku berbeda, aku tidak sama dengan para hantu rendahan itu.” Tampaknya kali ini Xavier merasa kesal karena Zelena selalu mengatakan jika dirinya adalah hantu, sama seperti mereka.
Gadis itu mendongak, ia menangkap kemarahan dan kekesalan di wajah Xavier dan buru – buru meralat kata – katanya itu, “Baiklah, aku tidak akan mengatakannya lagi, sekalipun aku cukup kebingungan karena hal ini.”
“Jadi, apa keputusanmu? Apakah kau mengizinkan aku tinggal?”
“Apakah kau membutuhkan rumah, Xavier?” Zelena bertanya tanpa menjawab pertanyaan Xavier itu.
“Apa?” Xavier terkejut karena pertanyaan Zelena, entah mengapa ia merasa jika gadis itu sedang membalikkan keadaan.
“Ya, aku tidak mengerti kenapa kau ingin tinggal denganku. Apa tujuanmu sehingga kau begitu ingin hantu – hantu itu tidak muncul lagi di hadapanku, apakah kau juga tertarik kepadaku seperti “mereka” dan ingin menguasaiku sepenuhnya?”
Xavier menyeringai, ia tak menyangka jika Zelena berpikir demikian. Xavier berjalan mendekati gadis itu, menjulurkan tangannya tapi Zelena segera menyingkir sebagai tindakan reflek yang ia lakukan.
“Aku tidak bisa menyentuhmu, Zelena, apa yang kau takutkan?”
“Tapi kau bisa membuatku melayang di udara, Xavier. Itu cukup membuatku takut.” Zelena berdiri dan berjalan ke luar kamarnya. Gadis itu meraih gelas berisi air dan meneguknya hingga habis.
“Aku tidak bermaksud membuatmu cemas, aku hanya ingin menolongmu.” Xavier memandang Zelena dengan sedih, ia tahu apa yang ia lakukan membuat Zelena benar – benar terkejut dan ketakutan.
“Pergilah...pergilah jika kau benar – benar ingin menolongku.” Zelena mengatakan itu tanpa melihat ke arah Xavier, “Aku benci dengan semua ini, aku benci dengan apa yang kumiliki, aku benci karena bisa “melihat” mereka dan terlibat dengan itu. Aku bahkan tak memiliki banyak teman karena mereka mengira aku tidak waras, semua ini membuatku terpojok dan terasing. Tidakkah kau tahu bagaimana perasaanku, Xavier?” Zelena meneteskan air matanya, selama ini ia tak pernah mengeluh kepada siapapun, Zelena berusaha keras untuk menahan semua itu sekalipun ia tak mau. “Bahkan ibuku merasa perlu membawaku ke seorang psikiater jika ia menemukanku sedang berbicara dengan “mereka”, ia akan sangat marah dan membentakku.”
“Itulah mengapa aku ingin menolongmu, Zelena.” Ucap Xavier dengan lirih.
Zelena menoleh, menatap Xavier dengan matanya yang dipenuhi air mata itu, dan berbicara dengan sedikit keras, “Menolongku dengan membuatmu mengikutiku? Astaga, apa bedanya? Kau juga tidak terlihat oleh siapapun, mereka tetap akan mengatakan jika aku sudah gila. Itu yang kau inginkan, Xavier?”
Xavier terdiam, ia kemudian berbicara dengan putus asa, “Menjadi seperti ini juga bukan mauku, Zelena. Aku tak bisa pergi ke alamku dan juga tak bisa melakukan apa – apa di sini, selama ratusan tahun aku kesepian, tak ada yang bicara denganku. Itulah kenapa aku sangat senang saat mengetahui kau bisa melihatku, mendengar suaraku. Aku merasa hidupku akan dimulai sejak hari itu.”
“Hidupmu? Kau bercanda lagi. Lalu bagaimana dengan hidupku?”
“Itu adalah takdir, Zelena. Kau yang terpilih dan tidak akan bisa menolaknya. Pertemuan kita juga bukan kebetulan, aku bisa membuatmu tidak melihat sosok – sosok yang mengerikan itu lagi, hanya dengan bersamaku. Aku tidak akan merepotkanmu, aku tidak akan bicara saat kau sedang bersama orang lain. Aku berjanji.”
Zelena mengusap matanya, gadis itu menarik napas panjang, “Apakah kita sedang membuat kesepakatan?”
“Anggap saja begitu. Aku membantumu dan kau menjadi temanku.”
“Teman.” Zelena tersenyum tipis, “Benar, hanya hantu yang mau menjadi temanku.”
Xavier menggeleng, “Aku tidak suka dengan sebutan itu.”
“Terserah, aku tidak peduli. Bagiku kau adalah hantu sama seperti yang lain. Kau sudah mati dan sekarang menjadi benalu untukku.”
“Kau kejam sekali, Zelena, kau akan berterimakasih padaku nanti.” Xavier tersenyum dan ia melihat Zelena yang berjalan masuk ke kamarnya, “Jangan masuk ke kamarku!” Gadis itu menutup pintu kamarnya dengan kasar, dan Xavier hanya menatapnya dengan senyuman.
“Baik, aku tidak akan masuk ke sana.” Tutur Xavier dan duduk di ruang tamu gadis itu.