2. Galau

1402 Kata
“Na, dia ini namanya Gerian alias Gege. Ge, ini Aruna biasa dipanggil Nana, anak baru di kantor gue dari Jawa dia, makanya masih lugu, polos, masih piyik pula, jangan coba-coba lo poles ya.” jelas Okta memperkenalkan Aruna. “Salam kenal ya bang.” Aruna menunduk sekilas dan mengulurkan tangan kanannya yang disambut uluran tangan juga oleh pria tinggi di hadapannya itu. “Salam kenal juga, gue Gege, boss-nya kakak-kakak kost lo yang genit-genit ini.” tunjuk Gege bergantian pada Okta, Elma dan Iyut setelah menjabat tangannya singkat. “Lo umur berapa? baru banget lulus sekolah?” selidik Gege. “Delapan belas, Bang. Iya baru lulus sekolah tahun ini.” Aruna menunduk, sedikit terintimidasi dengan tatapan setajam elang milik Gege. “Ngapain udah kerja jauh-jauh ke sini?” “Cari pengalaman, Bang, bosen sekolah terus.” “Yakin?” “Hmm..” Aruna mengangguk tanpa suara “Gak lanjut kuliah?” “Rencananya tahun depan mau kuliah, sambil kerja gitu.” “Rencana kuliah di mana?” “Belum tau.” Aruna mengangkat bahunya santai. “Heh ... Ge, lo ngapain deh interogasi Nana sebegitunya sih? Liat muka dia sampe ciut gitu.” Aruna melirik ke arah Elma yang membelanya sambil menyipitkan matanya. “Dan mata lo tuh ya, tolong santai dikit!” imbuh Okta lantas terkekeh. “Ada yang salah sama mata gue?” Gege balik bertanya. “Laaaah makin oleng nih bocah, mata lo melotot terus ke Nana, tau aja ada perawan bening.” Ck, perawan bening? Eh...emang bening sih ni cewek baru, manisnya beda, bisa kali buat cuci mata. Gege terkekeh dengan pikirannya sendiri. *** "Tau gak sih bang, kalau makanan terbaik buat cewek yang lagi galau adalah martabak telur." racau Aruna sambil memotong martabak di depannya menjadi potongan yang lebih kecil. "Lagi galau kenapa?" Gege menimpali. Sejak perkenalan yang di luar ekspektasi dua bulan lalu, mereka berdua sudah sedekat ini sekarang. Sering menghabiskan waktu bersama, seperti saat ini, mereka memutuskan makan malam berdua di warung yang tak jauh dari kost Aruna. Bahkan tak jarang Gege sengaja menunggu Aruna di luar kantor setiap jam pulang kerja, dan selalu beralasan 'eh kebetulan, yukk gue bonceng sampe kost'. Tapi begitu sampai di kost tentu saja Gege tak langsung pulang, dengan alasan minta minum, numpang mengisi daya ponsel atau numpang ke toilet. "Galau karena kangen orang rumah lah bang, ibu terutama." jawab Aruna malas "Udah telpon?" Aruna hanya mengangguk sambil mengaduk-aduk es kelapa muda di depannya. "Terus? kenapa masih galau?" "Ya kangen pengen ketemu langsung, tatap muka, pengen bisa peluk-peluk gitu." Aruna makin menunduk. "Cuti lebaran nanti kan bisa pulang sebentar?" "Iya siih, tapi nanggung ah, gak nyampe dua minggu juga. Apalagi tiket pas high season gitu pasti harganya naik berlipat-lipat." “Abang bisa nyariin tiket pesawat yang murah. Ya itupun kalau lo mau sih.” “Yakin, Bang?” Aruna mendongak mendadak antusias dengan jawaban seorang Gerian Fernanda. “Ya gitu deh, lo kayak gak tau Gege aja. Kawan abang banyak dimana-mana diak.” ujar Gege seraya mengacak rambut Aruna yang mulai memanjang. “Hmmm ... boleh deh, beneran cari yang murah ya bang, bisa kering tabunganku aku. Baru kerja berapa bulan juga.” Gege hanya mengangguk melanjutkan santapan malamnya. “Mau mudik tanggal berapa sampe tanggal berapa lo kabari, nanti abang cari tiket pergi pulang sekalian.” “Siap Bang.” Aruna mengangkat tangannya layaknya pose salute. “Buruan makan lai, abis ini abang anta baliak (*antar balik)." *** Dua hari berselang setelah perbincangan mereka berdua tentang cuti hari raya yang memang sebentar lagi. Gege sudah mendapatkan tiket untuk Aruna. “Nih tiketnya, boleh cicil sampe berapa kali juga terserah. Khusus buat lo aja. Murah kan?” ucap Gege bangga sambil menyerahkan dua lembar tiket Padang - Surabaya pada gadis manis di depannya. “Waaah cepet banget sih.” Aruna berbinar membaca berkali-kali dua lembar tiket ditangannya “Iyo lah, Gege gitu loh.” “Abis ini aku transfer ya.” “No.. no ... bisuak se (*besok saja) lah pas udah gajian.” elak Gege tersenyum tipis “Gajian baru minggu depan bang, aku masih ada tabungan kok.” “Nyantai aja kenapa sih? gua gak keburu banget kok.” lagi-lagi Gege mengacak rambut lebat Aruna, kebiasaan baru sejak ia mulai dekat dengan gadis manis itu. “Ge, sekarang lo rajin banget main ke sini ya?” sapa Wita yang baru saja pulang dari rumah sakit tempatnya bekerja. “Mampir lah wit, adiak gua taragak taruih.” (*adikku kangen terus) jawab Gege santai “Ciiih ... alesan banget. Ba’a Na? sudah dapet tiketnya?” tanya Wita. mengalihkan pandangannya pada Aruna. “Udah kak, nih.” Aruna melambai-lambaikan dua lembar tiketnya dengan senyum merekah. “Eh, by the way kalian udah makan?” Wita bergantian menatap Gege dan Aruna. “Masih kenyang kak.” Aruna mengusap perutnya. “Alah Wit ...” Gege menjawab malas sambil menyesap teh hangat yang Aruna suguhkan tadi. “Ya udah gue ke atas dulu ya. Jangan berduaan lama-lama, yang ketiga setan. Ge, jangan main-main lo sama adek gue!” tegas Wita mengacungkan telunjuknya sebelum meninggalkan mereka di teras rumah. Wita adalah perempuan mandiri yang tengah menyelesaikan kuliah kedokterannya di Padang. Sambil bekerja di salah satu rumah sakit di sebelah kantor Aruna. Ia cantik, berkulit putih bersih, badannya tinggi semampai bak model, karena itu tak jarang teman-teman kost nya menjulukinya ‘artis nyasar’. “Diak, lo udah ngabarin orang tua kalo cuti lebaran besok mau balik?” “Belom bang? mau kasih surprise gitu.” “Nanti mau gue anterin ke airport?” “Masih lama, masih sebulanan lagi. Biasanya sih kantor ngasih fasilitas mobil gitu bang kalo ke airport, mmm ... liat ntar aja deh ya?” *** [Udah nyampe mana?] [Udah dijemput?] [Kabarin kalo udah nyampe diak !] [Diak..] [Diak, are you okay?] [Woooiii.. yang punya HP. Where are you gadis kecil?] Sepuluh menit pertama, sepuluh menit kedua, setengah jam, satu jam dua jam dan.... [Bang Gege, aku udah nyampe, ini udah di mobil sama bapak, udah perjalanan ke rumah. Maaf baru balas chatnya, tadi low bath bang. Makasih ya abang..] Gege tersenyum lega membaca balasan dari Aruna, ia tak sabar untuk segera menelpon gadis kecilnya itu. [Gue telpon yah? masih jet lag?] Tak berniat membalas pesan Gege, Aruna malah menekan icon hijau untuk lebih dulu menelpon pria yang menjadi manusia favoritnya dalam tiga bulan kebelakang. “Padang-Surabaya gak akan bikin jetlag bang.” Aruna terkekeh dengan ponsel menempel di telinga kanannya, sesekali ia lirik Ayahnya yang masih fokus dengan setir mobilnya. “Ehh, malah ditelpon duluan, taragak bana (*kangen banget) samo gue hah?” tanya Gege menahan senyum. “MasyaAllah Ge eR bener abang.” “Gue cuma pengen mastiin adek kecilnya anak-anak rumah hijau sudah sampai dengan selamat.” Aruna tersipu, menekan dadanya yang tiba-tiba berdesir tak karuan mendengar ucapan pria di seberang sana. Kalimat sederhana memang, tapi entahlah kenapa bisa membuatnya salah tingkah seperti sekarang. Rumah hijau adalah sebutan rumah kost Aruna dan teman-temannya selama di Padang. “Alhamdulillah sampai dengan selamat bang, salam buat kakak-kakak di sana yah, tadi aku udah kirim pesan via w******p kak Elma tapi belum dibaca.” “Oke siap, ya udah selamat mudik ya diak, salam buat bapak ibu calon mertua, bye Assalamualaikum.” Belum sempat Aruna membalas salamnya, Gege memutus panggilannya secara sepihak dengan hati berdesir. Desiran yang belum pernah ia rasakan sebelumnya dengan Irina, kekasihnya... ahh bukan bukan kekasih, entah apa hubungan mereka. Yang jelas bukan sepasang kekasih menurut Gege. Dengan memikirkan nama Irina saja tiba-tiba kepalanya berdenyut hebat. Entah kenapa, akhir-akhir ini nama Irina mulai menguap dari pikirannya, dan perlahan digantikan pesona Aruna. Gadis belia yang ceria dan menggemaskan. Apakah dia mulai berubah menjadi pria kurang ajar yang terjebak dengan perasaan pada dua wanita berbeda? Gege menyugar kasar rambutnya beberapa kali, mencoba berpikir jernih dan mengenali perasaannya sendiri. Sementara, di belahan bumi yang lain, Aruna mematung dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. ‘Calon mertua' katanya. Apa-apaan si abang Geri Choco ini, bisa membuat jantung Aruna melompat-lompat dari tempatnya hanya dalam beberapa detik saja. Memang selama dekat beberapa bulan ini Aruna menyadari ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh di hatinya. Namun ia terlalu takut mengakui hal tersebut, karena yang ia tangkap dari perhatian Gege selama ini hanyalah sebatas perhatian kakak pada adik kecilnya. ‘Bang, ba’a ko? diak alah taragak samo abang.’ (*Bang, gimana ini? Adek udah mulai kangen sama abang.) ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN