PROLOG

920 Kata
Yang makan bolu ketan item gue, semoga mencret nggak sembuh-sembuh! Ttd. Yang bolunya lo makan. GUE TAU ELO.   Gue ketawa aja pas lihat note alay dari Jamet. Lagian, setiap hari, kue satu itu nggak pernah lepas dari kulkas. Kalau buka, isinya pasti ada kue bolu ketan hitam andalannya. Semakin dia kasih warning begitu, ya makin demen lah gue ngerjainnya. Mana dia sok-sok sibuk pula. Berhari-hari bisa nggak pulang ke rumah karena alasannya ada tugas dari kampus. Anak baru mah gitu, masih semangat minta ampun. Tunggu aja lo nanti udah semester 5, rasanya mau meledak kepala. Pusing memikirkam harus setoran judul seminar apa ke pembimbing. "Ya!" "Ya, Bu!" "Tolong dong ini, gimana sih caranya ngapus SMS kita yang udah terlanjur terkirim di w******p?" SMS apa w******p, semuanya diembat dalam sekali waktu? Gue berjalan ke ruang tamu dan melihat Ibu lagi tiduran di sofa sambil sibuk mantengin handphone. "Lagian ngirim chat apa sih sampe salah segala?" "Ibu lagi marah sama Ayah, yang kekirim malah gambar pelukan begini. Nggak suka." "Alamakjang. Gitu aja yaudah sih. Toh kekirim ke suami sendiri." "Buruan apus ih. Gimana ini?" Setelah berusaha menelan kue di mulut, gue langsung ambil handphone-nya dan melakukan perintah. "Kamu makan bolunya Biyas lagi ya?" "Dikit doang. Nih, udah." "Caranya gimana bukan malah kamu yang ngapus. Niat nggak sih ngajarin orang tua sebenernya?" Drama, drama. Sekeluarga demen drama semua. Gue duduk di sebelahnya dan mulai mengarahkan dengan dosis kesabaran yang gue tambah. "Misalnya chat ini yang mau diapus nih kan." "He'em. Terus?" "Terus dipencet lama, sampe muncul tanda beginian. Nah, nanti ada nih di sebelah kiri kayak tong sampah gini, pencet itu. Terus ada pilihan hapus pesan buat sendiri atau everyone." "Gampang begini ternyata?" "Yeeee, gampang juga Ibu sebelumnya nggak bisa." "Kalau gitu apus semua SMS Ibu ke Ayah." "Lah kenapa?" "Biar dia penasaran Ibu ngomong apa." "Amsyoooong deh ah. Bisanya kalau abis kirim langsung apus, kalau chat lama nggak bisa." Gue bangkit dan bersiap untuk kembali melangkah. "Udah terima aja." "Mau ke mana kamu?" "Jemput Riana lah. Kan Mbak Zia nggak bisa." "Ohiya. Yaudah, ati-ati. Jangan diajak ngeskrim teros, Ya!" Petuah satu. "Kalau ngemong anak orang, jangan hape teros!" Petuah dua. "Pulang jangan malam-malam, bila perlu abis Mbak Zia pulang, kamu pulang!" Petuah tiga dan sampailah gue di garasi. Musik apa ya yang cocok menemani perjalanan ini? Mana panasnya nggak nanggung-nanggung lagi. Gue berdiri beberapa menit di luar, udah overcook kali ya. "Bismillah." Gue mulai menjalankan mobil. Bismillah ini kan wajib katanya. Seenggaknya, gue pengen bekal buat nenangin hati di jalanan nanti. Tahu sendiri, orang-orang di Jakarta begitu lampu baru ijo aja, nekan klakson udah kayak diancam. Pusing tapi nggak ada pilihan lain. Semuanya buru-buru pengen sampe tujuan. Entah ketemu keluarga, teman, kerjaan dan lain-lain.  *** "Kak Miya!" "Sweetheart!" Gue ikut merentangkan tangan, menyambut princess cantik yang sebentar lagi ulang tahun ke 8. "Nggak lama kan nunggu?" "Enggak dong. Tapi boleh tunggu sebentar enggak?" "Ada yang ketinggalan?" Dia menggeleng, kepalanya menoleh ke anak-anak yang sedang duduk menunggu jemputan. Gue mencoba mencaritahu siapa yang dia lihat, aha! Si Dermawan cilik kebanggaan Riana. "Azriel lagi nunggu jemputan, tapi kata bu Intan om-nya agak telat. Boleh temenin sampe om-nya dateng?" "Kok om-nya yang jemput?" "Lho, Kakak belum tau ya. Kalau kemarin, orang tua Azriel pindah ke mana itu, aduh nama tempatnya lupa. Pokoknya, jadinya Azriel sama om-nya. Kata Azriel tadi pagi." Gue cuma manggut-manggut aja. "Kasian ya kalau orang tua pindah-pindah gitu." "Nggak apa dong. Kan demi anak-anaknya juga nantinya." "Papa berarti pindah juga buat aku nantinya ya, Kak?" Gue seketika diam. Kemudian buru-buru alihin pembicaraan. Kali ini gue nggak mgerti gimana ngatasinnya, jadi cari aman dulu. "Ngomong-ngomong, Kamu kenapa baik sekali mau nungguin om-nya Azriel." Nyesel bapakmu lebih milih selingkuhannya ketimbang lo sama nyokap lo, Ri. Gue jamin. "Kita samperin Azriel yok." Anyway, kisah mamanya Riana juga salah satu yang bikin gue sama sekali nggak berminat dalam sebuah ikatan. Lo suka sama gue, gue suka yaudah. Kita jalan, lo happy, gue happy. Maka selesai. Soal urusan punya anak atau enggak, itu dipikir nanti. Bukankah yang paling penting adalah menjalani hidup yang sekarang? Senggaknya, itu bagi gue. Lo nggak setuju, ya silakan. "Kak Miya punya air putih?" tanya Azriel. "Kamu haus?" "Banget. Botol aku kosong, lupa diisi tadi." Dia memamerkan tumblir hitamnya ... dan, emang kosong. "Di mobil sih adanya. Seb---" "Zriel, sori, om telat." "Nggak ada alasan." Gue balik lagi duduk, dan menyaksikan ponakan-om lagi sibuk mengeluarkan bantahan dan alasan untuk mempertahankan pendapatnya. "Memang nggak ada alasan yang harus diterima, tapi om tadi harus ke dokter hewan dulu. Anjingnya temannya om sakit." "Okay, dimaafin." Demi apa, umur 7 tahun, on the way ke 8 tahun udah jago 'ngobrol'? "Helo, kamu pasti Riana. Bener?" "Hai. Aku Riana. Teman sebangku Azriel. Kita suka sharing makanan, buku, dan pensil bewarna. Kita semua panggil Azriel anak Dermawan. Kata Bu Intan, dermawan artinya suka berbagi." "Wah, kamu pasti jadi bagian dari anak Dermawan juga." "Terima kasih, Om!" "Dan ...." "Miya. Samiya." "Mamanya Riana?" "Bukan. Kakak sepupunya." Gue ketawa. Pasti syok ya, lo, kalau beneran gue udah punya anak sebesar ini. "Mamanya lagi nggak bisa jemput dalam beberapa waktu ini, jadi, gue yang disuruh jemput." "Salam kenal, Mita." "Miya." Dia ketawa kecil. "Sori, Miya. Saya Aga. Zriel, pulang?" "Ayok. Aku aus banget, Om. Nanti minum ya?" "Di mobil. Duluan, Riana dan Mita. Hati-hati pulangnya ya." Gue cuma mampu melambaikan tangan. Setelah dua orang itu jauh, gue menatap Riana. "Mita? Menurutmu gimana?" "Tetep cantik," Dia nyengir. "Omnya Azriel tuh baik  banget lho, Kak." "Ohya?" tanyaku sambil mengajaknya berjalan. "Padahal kan kita nggak pernah ketemu, tapi dia suka titip uang jajan atau makanan buat aku lewat Azriel. Aku kan sering cerita ih." Ya mana gue tahu kalau om yang dimaksud bakalan semenawan itu. Kata 'om' kan identik dengan ... you know, intinya sih gue lumayan kaget tadi. Gue pura-pura batuk. "Itumah dari Azriel kali, tapi dia malu." "Ih enggak ya!" Gue ngakak. Tapi, om-nya Azriel memang boleh juga. "Nama Om-nya Azriel siapa, Ri?" "Aga kan?" "Nama lengkapnya." "Ih nggak tahu. Azriel bilangnya om Aga. Kakak suka ya?" "Suka emang artinya apa?" Malah nyengir. "Ya gitu. Dia kan udah punya pacar. Sama kayak Mas Biyas gitu lho, Kak. Pacaran udahan katanya Azriel." Payah amat. Yang ganteng dikit, nggak boleh lengah banget apa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN