✍ PART 16 :| Last Room — Ruangan Terakhir

1622 Kata
◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦ ⠀ ✒️ ❝ Tempat ini bisa berubah rupa dan bentuk. Namun bayangannya akan selalu ada. Disetiap ruang dan jejak langkah, mengguratkan apa yang disebut kenangan. ❞ ⠀ { Notes 17 - Roselva Walen — Fear of separating (Takut berpisah) } ✒️ ⠀ ⠀ SATU … DUA … TIGA … ANGKAT ...!!!” ⠀ Selva terpana menatap pemandangan di hadapannya. Wim dan teman-temannya. Keringat membanjiri tubuh mereka. Keren! Macho! Jantan! Apalagi sebutannya ...? “Ueh… gila ...," Fathir merosot terduduk di lantai. "Ada berapa biji lagi lemari segede gini .... Lama-lama jadi ramping gue ...," ucapnya ngos-ngosan. Di antara mereka semua memang cowok itulah yang lemak bayinya belum menyusut dari lahir sampai sekarang. Keringat mengalir deras di pipi chubby nya. Ia mengipas-ngipas dirinya dengan telapak tangan. "Lah bagus jadi ramping tanpa fitnes," ledek Ruli. Fathir langsung mendelik seram padanya. Bukannya membuat yang lain takut, tapi ekspresi bayinya justru membuat mereka tergelak karenanya. “Hei, Alpha. Apalagi kerjaan kita?” tanya Deki pada Wim sambil menghapus keringat di dahinya dengan lengan baju. Padahal ada tissue di atas meja disediakan Selva. Cowok memang aneh, Selva tak habis pikir. Selva sempat merasa bingung ketika pertama kali mendengar teman-teman Wim memanggilnya dengan sebutan 'Alpha'. Ia pikir itu mungkin karena Wim yang memimpin dekorasi rumah ini. Tapi ternyata, bukan itu alasannya. Selva dengar dari Deki, sejak SMA dulu semua orang di sekolah memang menyebut Wim 'Alpha'. Semua gara-gara mereka yang memanggil Wim begitu. Wim punya warna mata amber yang langka dimiliki manusia. Mata amber rata-rata adalah warna mata serigala. Pemimpin serigala biasanya disebut Alpha. Oleh karena itulah, mereka memanggil Wim 'Alpha'. Kedengarannya keren banget. Sayangnya saat Selva ingin bertanya lebih lanjut tentang Wim saat di sekolah dulu, Wim tiba-tiba datang dan memotong percakapan Selva dan Deki. Sayang sekali. Padahal masih banyak yang Selva ingin tahu tentang Wim. Wim sangat tertutup kalau menyangkut dirinya. ⠀ “Gimana kalau kalian istirahat, terus makan siang dulu,” sela Selva seraya tersenyum pada Deki. Efeknya muka Deki semburat merah seperti matahari terbenam, keringat asin membanjir dan mengucur deras from head to toe (dari kepala hingga ke kaki). Memalukan! Wim berusaha menahan tawanya saat melihat ekspresi Deki yang seperti itu. Ini baru karena Selva tersenyum padanya. Waktu lima hari lalu Wim memperkenalkan mereka pada Selva, Deki lah yang paling kasihan. Dia nyaris pingsan waktu diajak salaman! ⠀ Akhirnya mereka makan siang dulu. Selva terlihat agak muram hari ini. Mungkin karena ia merasa inilah keakraban terakhir mereka. Ini libur terakhirnya, juga hari terakhir renovasi rumah. Padahal Selva sangat berharap, renovasi ini bisa berlangsung lama … sekali. Tapi, ternyata temen-temen Wim kerjanya terlalu cepat. Terlalu gesit. Apalagi Wim! Wim dan teman-temannya memang sengaja minta menginap di sini. Selain bisa menjaga rumah ini, juga biar malam mereka tetap bisa bekerja. Dan tiap kali Selva datang mengawasi pekerjaan —mengawasi Wim khususnya — keesokan harinya selalu saja ada ruangan baru yang tampak berbeda. Selva menatap Wim dalam-dalam. Senang sekali rasanya kalau melihat dia sedang tertawa dan bercanda dengan teman-temannya. Saling meledek dan bahkan menjaili Selva. Apakah ada kesempatan lain untuk bisa bercanda dengan Wim lagi? pikir Selva. Apakah Wim akan melupakannya setelah hari ini? Apa mereka masih bisa sms-an dan teleponan lagi? ⠀ “HOI!!! NGELAMUN AJA!” Selva terlonjak, tangan Wim yang dingin sudah menyentil dahinya pelan. “Kamu kenapa?” tanya Wim. Selva menggeleng. “Nggak kenapa-napa.” Selva mengusap-usap keningnya. “Ada masalah?” Selva menggeleng lagi. “Kamu nggak suka sama style rumah ini?” “Bukan itu. Aku suka, kok,” jawabnya lemah. Tentu saja. Wim menata rumah ini dengan sangat sempurna. Sampai-sampai sulit mengenali tampilannya dengan yang pertama kali Selva lihat. Separuh dinding ruang tamu Selva sekarang diberi cat warna coklat gold, sementara bagian atasnya dilapisi wallpaper crem muda bermotif sulur tanaman warna coklat jati dengan hiasan bunga-bunga emas mungil. Sofa dan meja tamu diletakkan di atas karpet bulu coklat keemasan. Bantal sofanya juga berlapis bulu keemasan senada dengan karpetnya. Buket bunga mawar gold imitasi dipajang di atas meja menambah keanggunan ruangan itu. Tanaman monstera juga ditempatkan di setiap sudut ruangan. Beberapa lukisan pemandangan laut, gunung, pedesaan, kota menghiasi dinding. Bunga gantung pun ikut membah keanggunan dan elegannya ruang tamu itu. Di ruang tengah, lebih tepatnya ruang santai bagi Selva lebih dibuat lapang dengan style aesthetic. Peach adalah warna yang dipilih Selva. Lantai ruangan itu pun sudah diganti dengan lantai vinyl serupa kayu dengan warna peach terang. Lalu ada sofa santai dengan bantal lantai juga ditaruh di atas karpet bulu putih, menghadap tepat ke TV LCD. Begitu banyak bunga dipajang di sana. Rata-rata dari para fans. Beberapa ambalan ditempel ke dinding sebagai tempat hadiah boneka dan pajangan lain yang juga kebanyakan dari fans. Selva juga menaruh beberapa tanaman asli di sekitar jendela dekat pintu samping, supaya menimbulka efek ruangan yang tampak segar, nyaman dan enak dilihat. Ruang aerobic Selva, seperti yang diminta, dipenuhi dengan cermin. Lantainya dilapisi matras lembut di bagian tengah ruangan. Beberapa peralatan senam dan fitness seperti treadmill, mesin eliptis dan banyak lainnya disusun ke dekat jendela, supaya lebih terkena matahari dan bisa melihat pemandangan luar. Berat peralatannya tak terkira. Butuh perjuangan untuk menata semuanya di tempat yang Selva mau. Sedangkan dapur dan ruang makan dibuat menyatu. Hanya dibatasi meja makan putih dengan kaki kayu coklat jati. Dindingnya dilapisi corak wallpaper bata putih. Perpaduan seluruh barang dan dekorasi dalam ruangan ini dirancang lebih tampak tradisional. Apalagi dengan adanya tanaman-tanaman yang disusun di sudut atau di dinding ruangan. Ruang bawah tanah juga tidak kalah keren. Suasananya dibuat lebih warm (hangat) dengan lampu-lampu tambahan di setiap pojok langit-langit ruangan. Wim tidak terlalu ingin membuat banyak perubahan di sana, karena ia menyukai ukiran di dinding dan pilar-pilarnya. Tapi agar tidak terlalu gelap, Wim mengubah cat nya dengan warna krem cerah. Lalu ukiran-ukiran di dinding diperjelas dengan memberi warna kuning emas untuk daun-daun pada kaluak paku serta warna coklat muda untuk itik pulang patang. Setelah itu ia hanya tinggal menyusun dan menyelaraskan peralatan kesenian Selva dan bunga-bunga serta lampu-lampu tumblr. Tadi adalah pendekorasian yang terakhir. Giliran kamar Selva yang berada di lantai atas. Mereka sudah mempersipkan kejutan buat Selva di sana. ⠀ “Selva? Hello ....” Wim melambai-lambaikan tangan dan menjentik-jentikkan jarinyanya ke muka Selva. Selva kembali gelagapan. “Kenapa?” tanyanya bingung. “Ngelamun melulu. Kamu mau ngeliat kejutan terakhir dari kita nggak?” Wim tersenyum. Kejutan terakhir? pikir Selva. Haruskah … terakhir? Ia mengangguk. Wim bertepuk tangan. Meminta perhatian yang lain. “Yo, Ganks!" Wim berseru. Sahabat-sahabatnya melirik ke arah Wim. "Sekarang kita buka kejutan terakhirnya!” ucap Wim lantang, diikuti sorak sorai yang lain. Selva mau tak mau jadi ikut-ikutan tersenyum. Mereka menuntun Selva ke kamar tidur. Lorong menuju kamar itu sudah dihiasi foto-foto Selva, pemandangan serta hiasan bunga dinding dan lainnya. “Silahkah masuk, Princess,” ujar Ruli dan Timothius, berlagak seperti gentleman (pria bangsawan). Selva penasaran. Perubahan apalagi sudah yang mereka buat? Ia membuka gagang pintu perlahan-lahan. Deg-degan juga jadinya. Apalagi melihat mereka nyengir begitu. Sesaat Selva melangkah memasuki pintu, tiba-tiba terdengar ledakan dari atas kepalanya. DAAARRR ...!!!! Ia terlonjak, sementara anak-anak cowok itu ketawa ngakak. Ternyata ada balon yang sengaja ditaruh di atas! Taburan confetti* dari dalam balon tadi bertebaran di rambut Selva. “Ih … dasar iseng!” sungut Selva seraya mengacak rambutnya. Mencoba membuang kepingan convetti. Kemudian matanya tertuju pada pemandangan di hadapannya. Di sana terhampar potret seorang wanita dengan latar belakang pelangi di pantai. Disusun seperti kolase berbentuk hati. Foto bagian tengah lebih besar ketimbang foto-foto lainnya. Selva terpana.. “Wim …, ini foto yang waktu itu, ya?” tanyanya. Selva mengingat kembali saat Wim memotretnya di pantai, dilatarbelakangi sunset dan pelangi. Ia kira hanya ada satu foto. Tapi ternyata Wim banyak menjepretnya tanpa ia sadari. Wim tersenyum mengangguk. “Aku nggak gagal, 'kan?” Selva menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Ini … hebat banget ...,” ucapnya spontan memeluk Wim. Wim sedikit terperanjat, namun ia paham Selva pasti terharu. Namun, teman-teman Wim tampak saling lirik melihat mereka berdua. Selva berbalik lagi. Di kiri dan kanan kolase itu berjejer hiasan daun menjuntai. Hampir mencapai kepala ranjang. Dindingnya juga diberi nuansa shabby dengan wallpaper motif bunga berwarna pink dan daun hijau. Tidak ada meja hias di kamar itu, karena meja dan peralatan kosmetik di taruh di closet room. Hanya ada meja belajar dan rak buku kecil tersusun rapi. Laptop Selva juga sudah ada di atas meja beserta alat tulis lainnya. “Di depan meja belajar ini, sengaja aku pajang gambar pegunungan dengan air terjun,” ucap Wim. “Gambar itu aku ambil waktu hiking dulu. Kata Deki, gambar pegunungan bisa meringankan efek lelah jika mata terlalu lama menulis atau menatap layar monitor. Selain itu … kamu bilang, kamu kangen pegunungan. Kamu bisa sedikit rileks degan melihat gambar tadi.” Selva menatap ke arah Deki yang kembali mengalami stroke muka merah. “Makasih, ya ...,” ucapnya tulus. Deki mengangguk malu. Selva duduk di tepi ranjang yang dilapisi karpet tebal berwarna baby pink dengan campuran putih. Cocok sekali dengan koleksinya selama ini. “Dan kalau kamu ke balkon, mungkin dua atau tiga bulan mendatang, kamu akan menemukan kejutan. Kami harap, tiap kali melihat itu, kamu akan punya semangat dan harapan yang besar untuk terus menjalani hidup.” Timotius tersenyum. Selva juga mengucapkan terima kasih banyak pada Timotius. Ia benar-benar terharu. Rasanya ingin menangis saja. Mereka orang yang baru dikenalnya, tapi … entah kenapa bersama mereka ia merasa senang. Merasa tentram dan untuk pertama kalinya, ikut tertawa dengan lantang. Selva mendesah. Tidak boleh sedih! tekadnya. Selva kembali tersenyum. “Gimana kalau malam ini kita makan malam sama-sama?” Mata Fatir langsung membulat. “Ditraktir, 'kan?” tanyanya, disusul dengan jitakan dari segala arah. Selva tertawa. “Ya, iyalah. Tenang aja, aku yang traktir.” “ASYIIIK!!!!” sorak mereka. . . . ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦ ⠀ ⠀ KAMUS ISTILAH: * Confetti guntingan kertas berwarna yg dihamburkan pada waktu pesta. ** Hiking : mendaki gunung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN