✍ PART 2 :| Kite Festival – Festival Layangan

2275 Kata
◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦  ⠀ ✒️ ❝ Takdir seringkali dimulai dari hal-hal yang tak terduga.  Sesuatu yang bahkan tak pernah dipikirkan atau direncanakan.  Jelas tidak punya script seperti di setiap drama.  Tidak ada yang bisa mengontrol akan mengarah kemana. ❞  ⠀ { Notes 3 - Roselva Walen — First Sight (Pandangan Pertama) } ✒️  ⠀ ⠀ Wim memarkir motor sport silver-nya di empuknya pasir pantai. Dekat bebatuan, ia mengaduk-aduk tas ranselnya, lalu mengambil kamera dan mencari objek yang pantas buat dibidik.  Ini benar-benar waktu yang paling tepat untuk memotret. Beberapa hari yang lalu, Wim mulai kehabisan stok liputan untuk majalah. Syukurnya ia punya teman yang menginformasikan acara festival layangan yang diadakan hari Minggu ini. Wim tidak perlu lagi mencari bahan untuk diliput, tapi liputannya sudah ada di depan mata. Sesuai tema yang diminta redaksi pula!  Wim memang telah cukup lama bekerja sebagai jurnalis freelance (lepas) pada salah satu majalah remaja terkenal. Apalagi banyak kenalannya dalam profesi ini. Jadi, kadang ia bukan hanya membuat tulisan, tapi juga dapat job membuat ilustrasi atau karikatur. Walaupun sebenarnya Wim lebih senang bekerja di lapangan. Lebih terasa bebas. Tapi kalau ada tawaran yang lebih menjanjikan, fokusnya tentu mengikuti ke mana arus uang membanjir, ke situlah ia seharusnya tenggelam.  Aduh ... aduh .... Bukan salahnya juga punya moto begitu. Kalau mau menyalahkan sesuatu, salahkan saja keadaan! Life needs money, guys (Hidup butuh uang, sobat)!  Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Suasana tak terduga dan kerumunan orang, begitu sesak memenuhi pantai. Hampir menyerupai pasar malam dengan begitu banyaknya permainan, penjual makanan, baik yang sudah biasa melapak di pantai ini, maupun penjual kagetan yang hadir di mana banyak keramaian.  Bukan hanya warga lokal dari berbagai perkumpulan pengkarya layang-layang, tapi juga turis luar daerah dan mancanegara juga ikut berpartisipasi menyemarakkan festival ini. Apalagi acara ini juga didukung oleh Dinas Pariwisata.  Peraturannya, layangan harus original karya peserta. Mereka bebas berkreasi membuat layangan tetapi tetap mengutamakan unsur seni dan keindahan. Kategori pertama dilihat dari segi bentuk, yang kedua menuliskan harapan di ekor layang-layang. Kemudian layangan yang paling tinggi dan stabil. Lalu adu layangan terkuat.  Wim tersenyum geli ketika seorang bapak gendut dengan ujung kumis seperti dipelintir, begitu tergesa mencoba menaikkan layangan. Hingga akhirnya terjungkal karena terlilit tali layangan sendiri. Seperti penyu raksasa terbalik di atas cangkangnya. Layangannya yang mirip Pak Raden terombang-ambing sebentar kemudian menukik menyusul tuannya. Orang-orang yang melihat sontak tertawa terbahak-bahak.  Wim memotret ekspresi demi ekspresi.  Di ujung sana terdengar kikik tawa rombongan gadis-gadis. Wim penasaran. Apa yang mereka lihat?  Begitu ia mendongak ke barat pantai, muncullah layangan perwujudan Gatot Kaca kurang fitnes – kelihatan kurus – dengan tulisan, 'Nyari Jodoh. Ga harus sexy, yang penting mau di ajak marry. Nb: Akang kuat, Neng!'.  Halah! Iki iki kemoceng loe, Tong! Wim memutar bola mata begitu melihat yang menerbangkan layangan terlihat seperti ABG labil kurus kering super pe-de sedang senyam-senyum sana sini. Nggak takut ditiup angin, Tong? Wim terkekeh menjepretnya.  Wim beranjak menuju layangan unik lain. Salah konsep kayaknya. Temanya sih mermaid (putri duyung), wajahnya juga bagus, mungkin artis. Di print kayaknya. Tapi, itu body nyontek dari mana ...?! Kekar banget! Wim terbahak. Kasihan yang mukanya nemplok di layangan. Terhina dina. Wim menggeleng. Memotret layangan itu beberapa kali.  Wim menggamit ranselnya lebih erat. Ia berusaha mengalahkan sesaknya umat manusia menuju tenda para juri. Ia perlu mewawancarai mereka mengenai perlombaan ini.  Sedang berjalan ke sana, tiba-tiba punggung Wim ditepuk seseorang dari belakang. Membuatnya sontak menoleh.  "WIM!!! Ternyata bener kamu. Kangen deh!" jerit merdunya menyalak bersamaan dengan tubrukan tiba-tiba di badan Wim.  "Tara," Wim mengusir rasa kagetnya. Menyingkirkan Tara perlahan dari pelukannya.  Cewek cantik berkulit kuning langsat dengan rambut bergelombang di cat pirang itu menatapnya dengan binar bahagia. Ia mengamati Wim dari ujung kaki yang dibalut jeans belel, hingga kaos merahnya yang dilapisi jaket jeans, kemudian kembali ke wajahnya yang tirus. Mendesah sekejap dengan senyum mabuk kepayang.  "Kamu nggak berubah. Malah tambah cakep aja!" katanya sabil menepuk dan mencubit pipi Wim gemas. Kemudian bergumam sendiri. "Tapi kayaknya jadi tambah tinggi, dech. Seratus tujuh puluh delapan atau jangan-jangan sudah lebih dari seratus delapan puluh sentimeter?" takarnya.  Wim tidak menanggapi komentar itu.  "Kenapa kamu ada di sini?"  "Aku panitia Festival Layangan ini. Nah kamu?" balas cewek itu.  "Aku lagi bikin liputan buat majalah." Wim mengedikkan mata pada kamera dan name tag yang tergantung di lehernya. "Rencananya mau ngewawancarain juri."  "Oh, ya udah. Yuk aku kenalin sama jurinya."  Cewek itu tanpa tanya-tanya langsung bergelayut di lengan Wim. Melirik Wim manja.  Cakep, atletis, perhatian, lucu, sayangnya ....  ⠀ ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦ ⠀ "Sel, ayo cepetan! Tenang aja, nggak bakalan ada yang ngenalin loe ...!"  "Iya. Orang di sini rame banget. Jarang-jarang kita ngumpul. Dibawa enjoy aja, Sel," bujuk cewek lain yang mengenakan tank-top hijau bermotif bunga.  "Bener aman ini, 'kan?"  "Amaaaannnn ...!" Ketiga temannya serempak menjawab untuk kesekian kalinya.  ⠀ Mereka mulai membaur di kerumunan. Beberapa kali berhenti untuk mencoba jajanan pantai yang murah meriah tapi lezat. Tertawa lepas, bercanda, berlarian dan juga berfoto.  Akhirnya Selva mulai bisa menikmati kebebasannya dari pantauan manajernya yang menyebalkan. Pria itu selalu menggerecoki nya dengan jadwal yang amat padat, script yang bikin mumet, pemotretan, jumpa fans dan segala kesibukan yang membuatnya lupa bahagia.  Semua orang menganggapnya beruntung. Artis terkenal. Punya wajah cantik yang sering kali menjadi cover majalah Ibu Kota. Ia juga berprestasi dalam dunia modelling. Menjadi bintang iklan berbagai macam produk. Wajahnya juga acap kali menghiasi stasiun TV baik di Film Televisi (FTV) maupun talk show.  Selva juga sudah beberapa kali membintangi film layar lebar. Tahun lalu, ia juga mendapatkan penghargaan Aktris Terbaik dalam Festival Film Indonesia. Berikutnya, ia juga ditawari mengisi soundtrack untuk film terbarunya nanti.  Kurang apalagi coba?  Ada!  Kurang bahagia!  Jangan dikira ia benar-benar menikmati itu semua. Selva amat sangat tertekan, bahkan menjerit pun rasanya tak sanggup.  Belum lagi bermacam gosip yang tak henti-hentinya menghampirinya. Ada yang menggosipkannya dekat dengan si ini dan si itu, pacaran dengan aktor blablabla.  Sejujurnya, meski usianya sudah mendekati 18 tahun, Selva belum pernah mengalami yang namanya jatuh cinta. Malahan ia tidak pernah punya perhatian ataupun getar-getar ajaib setiap kali bertatapan dengan cowok-cowok. Meski ia berada di lingkungan glamour, bertemu dengan aktor-aktor tampan, tapi tetap saja Selva merasa beku.  Apa ia tidak normal?  Masa sih?  Namun, saat bersama teman-teman cewek, Selva merasa biasa-biasa saja. Tidak ada yang spesial. Semuanya normal-normal saja.  Kadang ia merasa heran dengan dirinya sendiri. Disaat teman-temannya sedang sibuk cekakak-cekikik menceritakan tentang cowok, Selva memilih diam atau menjadi pendengar yang mengantuk. Sama sekali tidak tertarik membahas hal itu. Apa karena ia sudah terbiasa melihat pria tampan saat syuting? Makanya ia bosan?  Huh ... entahlah.  Hidupnya memang benar-benar sudah terjadwal. Bahkan mimik wajahnya juga harus selalu sesuai kondisi. Saat bergaul dengan aktor dan aktris harus seperti ini, dengan wartawan harus begini.  Fans lain lagi. Yang baik-baik ada banyak, haters juga punya, meski tidak banyak. Fans yang aneh juga ada. Tetapi, Selva harus tetap ramah.  Nah! Apalagi nih ...???!!!  Matanya membelalak menatap langit.  Manusia norak mana yang memajang wajahnya di badan putri duyung berotot itu ...???!!! Apa itu haters? Apa ada fans yang setega itu???  Aaaaarrrrrgggghhhhh ...!!!!!!  Begini nih, fans nya banyak yang aneh-aneh! Sebel! Ia menghentakkan kakinya.  ⠀ BRUUKK ...!!!  ⠀ Selva terjengkang. Tubuhnya barusan diseruduk dari belakang. Ia menggelinding seperti bola billiard. Terpana sesaat waktu mukanya bertemu dengan pasir pantai. Lalu segera duduk, mengibas butiran pasir yang menempel di wajahnya.  Sialan!!!  Selva mendelik sebal menatap punggung si penabrak.  Cowok itu berbalik.  Pertama yang tampak oleh Selva hanyalah rambut hitam lebat yang sedikit menutupi mata dengan bagian belakang dikuncir hampir menyentuh pundak. Berikutnya ia melihat alis yang melengkung gagah dengan mata menatap tajam. Mata berwarna gold (emas). Amber. Jantung Selva tiba-tiba berdetak kencang. Seakan ada yang menabuhnya dari dalam. Ia mendengar bibir tipis cowok itu bersuara berat.  "Sorry ...," sambil mengulurkan tangannya pada Selva yang masih terduduk di pantai. "Tadi aku juga didorong orang. Kamu ...." Cowok itu meneliti wajah pucat Selva.  Selva segera mencari kaca matanya yang terbang entah kemana sebelum cowok itu mengenalinya.  "Ini," cowok itu menyodorkan topi baret dan kacamata dodo yang tergeletak di pasir. "Kamu nggak apa-apa, 'kan?"  Selva urung mengomel. ‘Untung cakep’, batinnya.  Orang-orang masih bersesakan di sekitar mereka. Cowok itu segera menarik Selva berdiri. Menuntunnya ke tempat yang aman. Mereka memasuki Warung Kuliner Mas Tresno, hanya ada satu meja yang kosong.  Mereka duduk di sana, saling tersenyum canggung. Entah kenapa juga Selva mau saja dibawa ke sini.  "Kelihatannya kamu belum makan," cowok itu memancing pembicaraan. "Sebagai permintaan maaf yang tadi, kamu aku traktir makan bakso, deh."  "Ah ... nggak usah gitu," tolak Selva.  "Nggak apa-apa. Aku lagi beruntung banget soalnya hari ini. Lagian bentar lagi aku gajian. Hura-hura dikitlah ...," ia tertawa.  Selva tersenyum kecil. Tanpa sengaja matanya menangkap camera digital yang tergantung di leher cowok itu. Lalu pada name tag nya. Wartawan! Selva memucat. Jangan-jangan wartawan infotainment. Ia terjebak!  "Kamu wartawan?" tanya Selva gugup. Tadinya ia kira cowok ini turis. Muka dan perawakannya bule banget. Belum lagi matanya. Untung saja rambutnya hitam.  "Ya. Cuma jurnalis jalan-sana-sini. Aku khusus meliput event-event atau tempat wisata, tempat hangout atau kuliner." Ia memanggil pelayan warung.  Cakep begitu kenapa nggak jadi model atau artis aja, batin Selva.  "Kamu mau makan apa? Bakso, sate, mie ayam, batagor ... apapun terserah. Sekalian pesan minumannya."  Selva berpikir sejenak. "Aku mie ayam sama jus pokat." Nggak ada gunanya Selva menolak. Dia juga lapar.  "Oke, mie ayam dua, bakso satu, batagor satu kerupuknya banyakin, Mas. Jus pokat satu, sirsak satu, air mineral tiga ... nggak pake lama, Mas," ujar cowok itu cengengesan.  Selva ternganga.  "Kamu lagi nunggu teman?"  "Nggak," jawab si cowok santai, sambil mengutak atik kameranya.  "Trus, kok pesanannya banyak amat?"  Cowok itu terkekeh. "Aku lagi laper, pake banget ...," ia mengedip pada Selva. Lalu kembali mengecek kameranya.  Selva menyembunyikan senyum. Itu beneran laper apa maruk, batin Selva geli.  "Kamu meliput berita apa barusan?" Ia mulai penasaran.  "Ini," cowok itu bergerak mendadak, menggeser bangkunya lebih dekat pada Selva.  Wajah Selva terasa memanas.  Cowok itu menyodorkan kameranya untuk mereka lihat bersama.  "Coba lihat, foto mana yang menurut kamu terbaik untuk ditampilkan?"  Selva mengalihkan perhatiannya dari pipi mulus dan hidung mancung cowok di sebelahnya ke gambar di kamera.  Ada foto layangan mirip Pak Raden bersama si pemilik layangan, layangan gatot kaca, penguin, kupu-kupu ... dan marmaid, hah ... duyung dengan mukanya? Selva berjengit. Ia merapikan poninya biar tidak terlalu tampak seperti muka duyung itu.  Si cowok langsung menyadarinya. Membandingkan wajah Selva dengan di foto layangan. Lagi dan lagi. Selva sampai berkeringat dingin.  Jangan sampai dia tahu ...! jerit hatinya panik.  "Ini benar-benar mirip kamu," ujarnya serak dengan mata menyipit. Senyumnya mengulas aneh. Kelihatan licik.  Jangan-jangan cowok ini sudah dari tadi tahu! Selva menyumpah.  "Jadi, gimana perasaanmu?"  Hah? Selva melongo.  "Maksudnya?"  "Dari tadi aku ngerasa kasihan dengan siapapun yang mukanya dipajang di layangan itu. Nggak nyangka, ada yang wajahnya mirip ini, di sini ...!" Cowok itu cekikikan menunjuk wajah Selva. Tawanya makin lama makin keras, sambil memegang perut pula.  Cowok sialan, kurang ajar! Selva memaki dalam hati, tapi mau nggak mau ia juga terpancing ketawa. Air matanya sampai mau keluar rasanya.  "Foto ini pasti bakal diekspos, aku janji," katanya pada Selva. "Dan kamu harus lihat majalah Amora edisi berikutnya!"  Selva naik pitam, berusaha mencekik leher si cowok.  "Batalkan! Batalkan! Hapus fotonya!"  Si cowok ngap-ngapan, berusaha melepaskan tangan Selva dari lehernya. Masih juga tertawa-tawa.  ⠀ "SELVAAA ...!!!"  ⠀ Selva tersentak, cowok itu juga.  Ya ampuuun! Selva menepuk jidatnya. Ia lupa pada teman-temannya.  "Sial! Kita udah cape-cape keliling dunia nyariin loe, eh ... nggak tahunya asyik-asyik di sini. Dapet cowok, lupa temen!" omel Nabel histeris.  "Iya, sambil makan lagi!" tambah Elga, cewek dengan tank-top bunga. Ia mengelus-elus perutnya yang sudah krucuk-krucuk. Matanya menatap lapar hidangan di meja mereka.  "Pantesan loe lupa sama kita. Udah ketemu cowok cakep, sih! Kita 'kan juga mau makan bareng," ujar Yadine melirik ganjen ke arah cowok di samping Selva.  Cowok itu tersenyum singkat. "Gabung aja," tawarnya yang langsung disambut sorakan sahabat-sahabat centil Selva.  ⠀ Akhirnya mereka duduk semeja. Makanan dipesan lagi. Obrolan diperpanjang lagi, tapi sayangnya kali ini kebanyakan dimonopoli teman-temanya yang penasaran sama si cakep itu. Membuat perhatian cowok itu terbagi. Selva jadi sebal.  Nada dering mengganggu keakraban mereka.  "Hallo," jawab cowok itu.  "WIM!!! INI UDAH JAM TUJUH!!! LOE DI MANA??? INGET JAM DELAPAN KITA HARUS NYAMPE!!!"  Bunyi teriakan lantang membuat cowok itu segera menjauhkan handphone dari kupingnya.  "Okay-okay! Calm down (tenang) ...! Nyantai aja, Dai. Gue balik neh, lagi di jalan. Lima belas menit ngebut juga nyampe."  Klik!  Handphone ditutup. Kuping Wim masih berdenging-denging.  "Well, ladies ... kayaknya gue harus pamit, neh," ujarnya disambut desahan kecewa teman-teman Selva. Selva sendiri juga sangat kecewa.  Wim berdiri dari kursi. Menyambar ransel dan kameranya.  "Senang bertemu kalian semua, Selva dan kawan-kawan," pamitnya. Ia melambai tersenyum dan mengedip pada mereka.  Mereka terpana menatap punggung yang berlari menjauhi mereka. Detik demi menit berlalu.  "Bayangkan, dia cuma hafal nama loe, Sel. 'Selva dan kawan-kawan'," Elga mengutip ucapan Wim. "Gue ngerasa nggak dianggep. Kayak Alvin and the Chipmunks." Elga kecewa.  Semua pada mendengus menahan tawa mendengar ucapan Elga.  ⠀ Muka Selva masih ditekuk sebelum akhirnya Yadine menepuk pipinya pelan. Selva gelagapan. Mereka nyengir.  "Loe kenapa? Kehilangan dia?" sindir Yadine.  "Jangan-jangan loe naksir dia, Sel," celetuk Nabel blak-blakan.  "Nggak mungkin, dong. Orang gue juga baru ketemu," bantah Selva.  "Hah?! Jadi bukan seleb juga? Kirain itu temen loe, Sel," sesal Elga. "Gue hampir minta tanda tangan barusan."  "Btw, namanya siapa tadi?" tanya Yadine, membuat mereka serempak saling pandang. Mereka bahkan lupa tanya namanya!  . . . ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN