Bagian 3

1736 Kata
April, 2008 “Han Yeri, ada yang menunggumu di depan gerbang.” Yeri yang baru saja keluar dari kelasnya itu mengerutkan dahi. Mungkin Jin Woo, tebak Yeri. Mereka sekolah di tempat yang berbeda. Yeri sekolah di SMA khusus wanita dan Jin Woo di SMA umum. Meski berbeda sekolah, tak jarang Jin Woo menjemputnya di depan gerbang. Laki-laki itu memang teman yang setia. “Oh.” Yeri kembali mengerutkan dahinya saat tak mendapati Jin Woo di depan gerbang sekolahnya. Hanya ada beberapa anak laki-laki dari sekolah lain yang memang biasa ada di sana untuk melihatnya. Bukan sombong, tapi dengan parasnya yang cantik Yeri cukup terkenal sampai ke sekolah lain. Dan lagi Yeri juga terkenal sebagai penari balet berbakat. “Kau Han Yeri?” Yeri berbalik ketika ia mendengar seseorang menyebut namanya. “Ya?” Yeri menatap pemuda yang saat ini berdiri di depannya. Tinggi. Itu kata yang terlintas saat Yeri melihat pemuda itu. “Untukmu.” Pemuda itu menyodorkan selembar foto pada Yeri. Yeri meraih foto itu lalu menatapnya lekat. Itu foto dirinya saat menarikan swan lake pada kompetisi balet beberapa waktu lalu. Yeri tampak terpana menatap potretnya yang sedang menari itu. Ia tahu jika dirinya memang berbakat, tapi Yeri tak pernah tahu jika tariannya akan terlihat indah seperti pada foto ini. Yeri mendongak, berniat mengucapkan terima kasih pada pemuda yang memberinya foto ini. Namun, pemuda itu sudah tidak ada di depannya. Yeri mengedarkan pandangannya ke sekeliling, barang kali pemuda itu masih ada di sekitar sana, tapi sayang pemuda itu sudah tidak ada. Rona kecewa tampak pada raut wajah Yeri. Ia ingin mengucapkan terima kasih dan bertanya siapa nama pemuda itu, tapi pemuda itu pergi begitu saja setelah memberikan foto itu. Yeri kemudian membalik foto itu, barang kali pesan yang tertulis di sana. Mungkin nama atau nomor telepon. Jujur, pemuda tadi menarik perhatian Yeri. Mata Yeri berbinar saat mendapati sesuatu tertulis di belakang foto itu. “Hadiah untukmu, karena tarianmu sangat indah.” Yeri membaca pesan yang tertulis di bagian belakang foto. “Lee Ha Joon.” Yeri menarik kedua sudut bibirnya. Sekarang dia tahu siapa nama pemuda tadi. Lee Ha Joon. Yeri tak perlu merasa penasaran lagi sekarang, dari seragam sekolahnya tadi dia tahu dari sekolah mana Ha Joon berasal. *** Yeri menarik napas panjang setelah kilas balik pertemuan pertamanya dengan Ha Joon. Gadis itu kembali memasukkan foto lama tadi ke dalam kardus, bersama dengan barang-barang lain. Barang-barang yang menyimpan kenangannya bersama Ha Joon. Semua kenangan indah itu terasa menyakitkan sekarang. Rasanya begitu menyesakkan bagi Yeri mengingat setiap kenangannya bersama Ha Joon. Sejujurnya sampai sekarang Yeri masih belum mengerti kenapa Ha Joon pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata apa pun. Yeri ingat, hari itu Ha Joon datang untuk melihat dirinya yang sedang di rias. Laki-laki memujinya yang tampak cantik di hari pernikahan mereka, tapi setelah itu Ha Joon menghilang tanpa kabar. Bahkan sampai detik ini baik dirinya ataupun orang tua Ha Joon, sama sekali tidak tahu keberadaan pemuda itu. Seolah Ha Joon hilang ditelan bumi. Yeri mengusap pipinya saat ia merasa air matanya mulai jatuh. Ia memang terlihat kuat dan tegar di depan orang lain, tapi setiap kali malam tiba, rasa sakit karena ditinggalkan oleh pria yang dicintainya kembali merengkuh tubuh Yeri. Membuat gadis itu tak bisa menahan kesedihannya hingga akhirnya air mata itu lolos begitu saja keluar dari sudut matanya. *** 30 Mei 2020. “Lihatlah anak nakal ini, kau bahkan tak akan mengunjungi ibu jika bukan karena hari ini adalah hari peringatan kematian ayahmu.” Aeri kembali mengeluh sambil mendengus. Yeri yang duduk di depan ibunya itu tampak tidak peduli saat sang ibu kembali mengeluh karena ia jarang pulang ke rumah. Bukan karena Yeri anak durhaka sehingga jarang pulang ke rumah, tapi wanita itu merasa pulang ke tempat ini akan membawa kembali kenangannya bersama sang ayah. Jadi, Yeri memilih untuk pulang pada waktu tertentu saja. Seperti sekarang, saat peringatan kematian ayahnya. “Aku sampai tidak bisa menebak mana anakku yang sebenarnya, kau atau Jin Woo? Bahkan Jin Woo lebih sering mengunjungiku dibandingkan dengan dirimu.” “Kalau begitu ibu bisa mengangkat Jin Woo menjadi anak,” sahut Yeri. Wanita itu kemudian dengan santai menyantap japchae, makanan favorit ayahnya. Setiap kali peringatan kematian sang ayah, ibunya akan menyiapkan berbagai macam makanan kesukaan ayahnya. “Kau mau jadi anak ibuku? Sepertinya dia lebih menyukaimu,” ucap Yeri sambil menyenggol bahu Jin Woo yang duduk di sampingnya. Setiap tahun Jin Woo selalu datang dalam peringatan kematian ayahnya. Laki-laki itu yang juga membantu menyiapkan semuanya. Laki-laki itu menyengir, memamerkan deretan giginya yang putih. Jin Woo terlihat bingung bagaimana harus merespons ucapan Yeri. “Jin Woo-ya, kau menikah saja dengan Yeri ya?” Jin Woo hampir saja tersedak oleh makanan yang dia telan. Buru-buru laki-laki i itu meraih segelas air di depannya dan meneguk isinya sampai habis. Jin Woo kemudian melirik Yeri, wanita itu tampak tenang setelah apa yang barusan ibunya katakan. “Kau masih terus mengharapkan b******n itu kembali? Yeri-ya buka matamu! Di depan matamu ada pria sebaik Jin Woo.” Yeri sama sekali tak menggubris ucapan ibunya. Ini bukan hanya pertama kali sang ibu mengatakan hal seperti ini. Entah saat hanya ada dirinya atau saat ia datang bersama Jin Woo. Ini juga yang menjadi salah satu alasan kenapa Yeri jarang mengunjungi ibunya. Karena setiap kali bertemu, sang ibu akan kembali membahas tentang pernikahan. Sejak kejadian 2 tahun lalu, hati Yeri serasa mati. Dia tidak tahu bagaimana caranya untuk jatuh cinta lagi. Banyak pria yang mendekati wanita itu, tapi Yeri tak pernah merasakan getaran apa pun pada mereka. Dan soal Jin Woo, ia juga tahu jika laki-laki menyukainya sejak mereka masih muda, tapi di matanya Jin Woo hanya seorang teman yang baik. Tidak lebih dari itu. “Tahun depan usiamu sudah 30 tahun! Kau tak berniat menikah? Kau mau menjadi tua sendirian?” “Tidak menikah sepertinya ide yang bagus,” celetuk Yeri santai. “Ah, kepalaku!” Aeri memegang tengkuknya yang tiba-tiba menegang. Yeri sangat keras kepala. Wanita paruh itu tidak tahu dari mana Yeri mewarisi sifat keras kepala itu. “Bibi, kau tak apa?” Jin Woo dengan panik segera menghampiri ibu Yeri, sementara si wanita tampak begitu santai melahap makanan di depannya. Jin Woo menghela napas berat sambil menatap temannya itu. Yeri benar-benar berubah. Wanita yang sebelumnya selalu ceria itu sekarang mirip bunga layu yang hampir mati. Ia sudah berusaha membuat Yeri kembali seperti dulu, tapi seperti luka karena ditinggalkan Ha Joon sangat dalam hingga membuat Yeri menjadi seperti sekarang ini. *** “Kau masih merokok?” Jin Woo dengan cepat membuang rokok yang baru saja dinyalakan oleh Yeri. “Bagaimana kalau ibumu lihat?” “Dia hanya akan mengomel,” jawab Yeri. Wanita itu lantas menyadarkan tubuhnya pada dinding pagar rumahnya. Jin Woo ikut menyadarkan tubuhnya pada dinding pagar rumah Yeri. “Kau benar-benar berniat tidak menikah?” “Tidak menikah sepertinya ide yang bagus, karena aku tidak akan lagi terluka oleh seseorang.” “Kau masih mencari tahu tentang keberadaan Ha Joon?” Jin Woo memang disibukkan dengan pekerjaannya, tapi laki-laki tetap mencari tahu apa yang dilakukan Yeri di sela-sela kegiatannya mengajar. Alasannya hanya untuk memastikan wanita itu tidak melakukan hal bodoh dan egois, seperti bunuh diri. Perubahan sikap Yeri dua tahun terakhir ini membuat Jin Woo merasa khawatir. Apa lagi kepergian sang ayah adalah sebuah pukulan berat dalam kehidupan wanita itu. Namun, untungnya Yeri sama sekali tak berniat melakukan hal itu. “Kalau aku masih mencarinya, apa aku terlihat menyedihkan?” Yeri balik bertanya sambil menoleh pada Jin Woo yang berdiri di sampingnya. Jin Woo terdiam, sejujurnya Yeri memang terlihat menyedihkan. Namun, kata-kata itu tak bisa terucap dari mulutnya. Jin Woo takut jika dia mengatakan yang sebenarnya, akan membuat Yeri terluka. “Aku hanya penasaran,” ucap Yeri. Wanita itu kemudian mendongak, menatap langit cerah malam itu. “Apa alasan dia meninggalkanku? Apa kesalahanku padanya sampai dia seperti itu? Dan apakah dia masih mengingatku sekarang?” “Apa kau tak penasaran di mana Ha Joon sekarang?” “Tidak,” jawab Jin Woo singkat. Jika dia tahu keberadaan b******n yang sudah membuat hidup Yeri seperti ini, Jin Woo akan membuat perhitungan pada Ha Joon. Dia akan menghajar Ha Joon habis-habisan atas perbuatan laki-laki itu pada Yeri. “Jadi kau belum bisa melupakannya?” Sebelah sudut bibir Yeri terangkat. Bukan tidak bisa, jika Yeri berusaha dia pasti bisa melupakan Ha Joon, tapi wanita itu membiarkan perasaannya pada Ha Joon tetap ada. Agar saat laki-laki itu kembali Yeri bisa melampiaskan rasa sakit yang selama ini dia rasakan. Jika melupakannya sekarang, Yeri takut ia akan memaafkan Ha Joon dengan mudah. Padahal perbuatan laki-laki itu padanya bukanlah hal yang bisa dimaafkan. “Aku tak akan membahas lagi soal b******n itu.” Jin Woo akhirnya menyerah. Yeri akan selalu seperti ini setiap kali ia membahas tentang Ha Joon. Wanita itu hanya akan diam dan tidak menjawab pertanyaannya. “Lalu, apa kau tak ingin kembali menari balet?” “Entahlah.” “Apa kau hal yang membuat Jisung ahjussi bahagia?” Yeri menoleh ke arah Jin Woo, menatap lekat pada laki-laki itu ketika nama ayahnya disebut. Ia tahu selama ini Jin Woo tak pernah membahas soal ayahnya karena menjaga perasaannya. “Jisung ahjussi, selalu mengatakan bahwa hal yang membuatnya bahagia adalah melihatmu menari balet di atas panggung.” Perkataan Jin Woo tentang ayahnya membuat Yeri tertegun. Selama ini ia terlalu terbuai dengan perasaannya pada Ha Joon dan membuat wanita itu lupa bagaimana dirinya mulai menari balet. Han Jisung, mendiang ayahnya yang mengenalkan Yeri pada balet. Pria itu juga yang membuat Yeri akhirnya jatuh cinta pada seni tari ini. Awalnya Yeri menari balet hanya karena ayahnya. Hingga Ha Joon hadir dalam kehidupannya dan menjadi alasan Yeri untuk tetap menari. “Jisung ahjussi, pasti merasa sedih mengetahui kau berhenti menari balet.” Yeri menundukkan kepalanya. Ia merasa telah menjadi orang yang sangat egois selama ini. “Bisa kau pikirkan lagi untuk kembali menari balet? Bukan untuk dirimu, tapi untuk mendiang ayahmu.” Yeri masih terdiam. Wanita itu belum merespons perkataan Jin Woo tentang untuk kembali menari balet. Ia memang merasa bersalah karena telah bersikap egois selama ini, tapi kembali menari balet juga bukan hal yang mudah. Bukan berarti Yeri tak peduli pada ayahnya ketika ia memutuskan untuk berhenti. Namun, sejak kepergian sang ayah Yeri mulai merasa kehilangan tujuan hidupnya. Ayahnya dan Ha Joon adalah alasan kenapa Yeri menari balet, tapi Ha Joon menghilang tanpa kabar dan ayahnya yang juga pergi meninggalkannya untuk selamanya. Bukankah tak ada alasan lagi untuknya menari balet?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN