“Apa kalian dengar? Anak baru dari kelas B kemarin langsung nembak Ares di depan banyak orang.”
“Ya ampun, gila nggak sih tuh anak? Baru masuk sehari, udah berani bikin malu sendiri.”
“Mana Ares jelas-jelas nolak lagi. Hahaha, parah banget sih tuh anak baru.”
Bisik-bisik itu beredar sejak pagi. Dari kantin, koridor, sampai toilet, nama Luna sudah jadi headline utama seisi sekolah. Bahkan guru-guru pun sempat melirik aneh ketika Luna masuk kelas dengan wajah riang tanpa beban, seolah-olah dunia tidak sedang membicarakan kebodohannya. Sungguh kuat sekali mental dan batin anak seperti Luna.
“Kamu jadi berita utama di sekolah, Lun,” bisik Alice, teman sebangku Luna.
Luna tersenyum. “Nggak masalah, Alice. Aku merasa… ini dunia baruku. Di sekolah baruku… aku tidak bisa menjadi diriku sendiri. Dan sekarang, saat aku pertama kali melihat Ares, rasanya duniaku kembali ke posisinya.”
Celo pun menggeleng kepala. Dia tidak tau… seperti apa kepribadian Luna sebenarnya.
“Apa di sekolah lamamu belum ada cowok setampan Ares?” tanya Alice lagi.
“Banyak. Tapi… yang seperti Ares tidak ada.”
“Kamu akan sakit hati seperti yang lain, Luna,” lirih Alice, kini menatap Luna meyakinkan.
“Aku harus bisa membuatnya jatuh cinta padaku, Alice. Dia benar-benar tipe cowoknya aku.” Luna duduk di kursinya, membuka bekal nasi gulung buatan sendiri. Beberapa teman sekelasnya berbisik sambil melirik-lirik, tapi Luna malah menyodorkan makanannya ke arah mereka.
“Mau coba? Ini resep baru, enak banget loh!” katanya ceria.
Anak-anak hanya saling pandang, lalu cepat-cepat menggeleng. Bagaimana mungkin orang bisa se-positive thinking itu?
“Makan aja, Lun. Mereka nggak bakalan mengerti kebaikan kamu. Sepertinya… bagi mereka, kamu adalah makhluk dari luar angkasa,” celetuk Celo.
Di sisi lain, Ares—yang duduk di kelas A, juga tidak luput dari perhatian. Sejak pagi, cewek-cewek kelas A sampai kelas C terus mengelilinginya dengan pertanyaan yang sama.
“Res, beneran anak baru itu nembak kamu kemarin?”
“Kok bisa sih dia seberani itu?”
“Kamu nggak marah kan, Res?”
Ares, seperti biasa, hanya menatap dingin. “Urus saja urusan kalian.” Itu jawaban satu-satunya sebelum ia kembali menunduk membaca buku.
“Jangan sampai kamu kasih kesempatan sama anak baru itu, Ares. Aku sudah lama menunggumu. Tapi kamu masih menutup diri,” kata Cilah, anak sekelas Ares.
“Lagian… kalau aku lihat, Luna itu cantik juga, Res,” puji Julio, sahabat Ares sejak mereka duduk di bangku SD.
“Buatku dia nggak cantik,” jawab Cilah marah. “Kamu jangan macam-macam ya, Io. Ares… aku sudah lama menunggunya dari kita masih umur 7 tahun.”
“Bukan masalah lamanya, Cilah,” timpal Benz, sahabat dekat Ares lainnya. “Masalahnya… orang baru lebih menarik ketimbang orang lama. Aku setuju sama Julio. Luna itu…,” katanya menggantung, masih berimajinasi soal Luna, “Luna itu tipe cewek pemberani. Dia juga nggak munafik kayak cewek lain yang pernah Ares tolak. Maksudnya, dia beneran suka Ares meskipun sudah ditolak berkali-kali.”
“Nah, itu dia, Benz. Aku suka sama kepribadiannya yang unik. Lain sendiri dari yang lain,” tambah Julio, dengan sebaris senyum membingkai wajahnya.
Cilah merasa tak suka mendengar penuturan teman sekelasnya. Bibirnya cemberut. Matanya nanar.
“Pokoknya… dibandingkan dia dan aku. Aku jauh lebih di atasnya. Lihat saja dia berada di kelas B.”
Julio dan Benz hanya saling melirik satu sama lain serta tertawa.
Sedangkan Ares yang sejak tadi fokus dengan bukunya, tak sengaja melirik ke luar kelas, tepatnya ke arah koridor kelas B—di mana Luna lewat sambil melambaikan tangan padanya dengan senyum selebar langit.
---
Jam istirahat kedua. Kantin sekolah ramai. Luna melangkah masuk sambil bersenandung kecil bersama Alice dan Celo. Begitu ia muncul, bisik-bisik semakin keras.
“Itu dia, si penguntit Ares.”
“Ngapain dia ke sini? Mau bikin drama lagi?”
“Heran deh, mukanya tebal banget.”
“Nggak ada malu-malunya. Putus kali ya urat malunya?”
Luna sama sekali tidak peduli. Ia malah membeli dua potong roti coklat, lalu berjalan langsung ke arah meja Ares. Semua pasang mata sontak mengikuti langkahnya.
“Ares!” panggil Luna, suaranya lantang.
Ares yang sedang makan tenang dengan teman-temannya langsung menegakkan kepala. Semua orang menahan napas.
“Aku beliin roti buat kamu,” ujar Luna sambil meletakkan roti coklat di mejanya. “Katanya coklat bagus buat otak. Biar makin jenius.”
Hening sejenak. Lalu, brrrr! satu kantin bergemuruh dengan bisik-bisik dan tawa kecil.
“Ya ampun, dia beneran nekat.”
“Ares pasti malu banget tuh dibuatnya.”
“Bakal ditolak lagi, nih!”
“Beneran nggak ada takutnya ini cewek.”
Ares menatap Luna lama, sorot matanya datar dan menusuk. Lalu, dengan satu gerakan pelan, ia mendorong roti itu menjauh. “Aku tidak suka coklat.”
Luna terkekeh tanpa merasa tersinggung sedikit pun. “Oh, baiklah. Besok aku bawain yang asin-asin aja, ya. Kayak sosis atau risol.”
Teman-teman Ares menunduk menahan tawa. Cewek-cewek di sekitarnya mendecak kesal, sebagian menatap Luna seperti ingin mencakar wajahnya saja.
Luna malah mengangkat tangan, melambaikan jari ke arah semua orang yang menonton. “Tenang, guys! Aku bukan musuh kalian. Aku cuma lagi berjuang demi cinta pertamaku.”
Semua orang makin heboh. Ada yang geleng-geleng kepala, ada yang cekikikan, ada juga yang mulai menyusun rencana untuk “menghentikan” keberanian Luna.
Ares, di sisi lain, kembali menunduk tenang. Seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi diam-diam, di balik layar pikirannya, ia bertanya-tanya sendiri: Kenapa cewek ini tidak merasa malu sama sekali?
---
Sepulang sekolah, gosip masih belum reda. Bahkan di grup chat kelas, nama Luna masih jadi bahan tertawaan.
[Wah gila, itu anak B suka banget cari perhatian.]
[Kapan ya dia sadar diri?]
[Maluin banget sih jadi cewek.]
[Kayak jadi murahan gitu ya tuh anak?]
Namun, di rumah, Luna sama sekali tidak tampak murung. Ia malah menulis di buku hariannya dengan semangat.
Hari kedua di sekolah baru.
Status: Satu sekolah sudah tahu aku suka Ares. Bagus! Jadi nggak perlu capek-capek promosi lagi. Hahaha.
Ares nolak roti coklatku, tapi aku nggak akan menyerah. Besok aku harus bawa strategi lain. Semangat, Luna!
Dia menutup buku itu dengan senyum.
“Pokoknya, aku nggak akan berhenti sampai Ares sadar betapa seriusnya aku.”
“Kamu kenapa, Lun?” Mama Luna datang dari arah belakang.
Secepatnya Luna tutup buku hariannya. Ia menoleh, mendapati sang Mama membawa jus kesukaannya. Jeruk.
“Gak apa-apa, Ma,” katanya, sudah bangkit dari tempat duduk belajarnya.
“Ini jusnya diminum dulu. Habis itu, kamu istirahat dulu baru pergi les. Oh, ya, gimana sekolah baru kamu? Mama lupa tanya semalam.”
Luna sudah mengambil gelas berisi jus. Dia teguk lebih dulu sebelum berakhir duduk di samping Mamanya. Di tepi tempat tidur miliknya.
“Sekolahnya luar biasa, Ma. Luna senang sekolah di tempat baru ini. Apalagi… ada cowok tampan, Ma. Tapi dinginnya ngalahin Kutub Utara. Luna suka banget sama dia, Ma.”
“Astaga… kamu jatuh cinta nih ceritanya?”
Luna mengangguk. “Iya, Ma. Jatuh cinta pada pandangan pertama.”
“Waduh… masih anak sekolah udah cinta-cintaan kamu,” ucap Mama Luna, kini menjawil ujung hidung mancung Luna. “Jangan bilang… kalau kamu melakukan hal gila di sekolahmu, Sayang?”
“Mama tau seperti apa Luna, bukan? Luna udah minta Ares buat jadi pacarnya Luna, Ma,” katanya penuh senang.
Mama Luna menggeleng. Bukan Luna namanya, kalau dia tidak berkata jujur.
“Kalau begitu… Mama dukung dalam doa.”
Keduanya kemudian tertawa bersama. Ya, apapun yang menurut sang Mama baik, beliau akan mendukung Luna sebisanya.
---
Keesokan harinya, Ares kembali menemukan Luna berdiri di depan gerbang sekolah menunggunya. Tangannya memegang payung meski cuaca cerah.
“Ares!” panggilnya riang. “Kalau nanti hujan, aku siap payungin kamu.”
Anak-anak yang mendengar langsung terbahak. Ada juga yang merekam dengan ponsel.
Ares menghela napas panjang. Tatapannya sebentar jatuh pada wajah Luna—mata bulat penuh tekad, senyum cerah seperti matahari pagi itu.
Sungguh, entah bodoh atau pemberani. Cewek ini sama sekali tidak tahu apa itu rasa malu. Ya, Ares pikir dia tidak punya malu atau termasuk dalam kategori bodoh.
Untuk pertama kalinya, Ares benar-benar heran dibuat oleh cewek seperti Luna. Sebelumnya, tidak pernah Ares jumpai modelan begini di sekolahnya.
Ares melangkah melewati Luna tanpa sepatah kata pun, tetap dingin seperti biasanya.
‘Sampai kapan cewek itu bisa bertahan mengejarku?’
Ares bergumam dalam hati.
Bersambung….