Misi Pertama

1383 Kata
"Kurasa aku tak memiliki warga baru di sini." Fredo menjawab dengan mantap sesuai yang ia tahu. "Kau yakin?" Zena menyipitkan mata berusaha mencari kejujuran dari mata pria di hadapannya. Kembali berpikir, Fredo yakin sekali karena dia tidak pernah menerima laporan adanya warga baru di kota Graha yang berada di bawah kekuasaannya. "Aku yakin sekali karena tak ada yang lapor kepadaku. Jika ada warga baru di kota Graha sudah barang tentu aku akan mendapat laporannya." "Bisa jadi kau kecolongan, Fred?" "Itu tidak mungkin, Zen. Aku tidak akan mungkin kecolongan." Zena tertawa sinis lalu beranjak berdiri, bersadekap di depan dadaa menatap tajam pada Fredo. "Jika memang seperti itu, lantas siapa yang berani mengalahkan anak buahku?" "Mengalahkan anak buahmu?" Fredo yang kebingungan pun nampak berpikir. Mengarahkan pandangan pada telunjuk Zena yang menunding kelima anak buah yang berdiri tak jauh dari mereka. "Dia, dia, dia dan dia. Diserang oleh seseorang tak dikenal." "Apa?" Fredo terkejut. "Bagaimana mungkin? Siapa yang berani melawan mereka, anak buahmu? Dan bagaimana mungkin mereka bisa dikalahkan oleh seseorang?" banyak pertanyaan yang Fredo lontarkan membuat Zena geram. "Oleh sebab itulah aku memanggilmu, Fred! Aku ingin tahu siapa lelaki yang berani mengalahkan anak buahku dan melawanku?" Fredo menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu." "Sial!" Zena berbalik badan menggebrak meja di belakangnya. Kedua tangan mengepal kuat dengan pandangan nyalang. Berusaha berpikir siapa kira-kira lelaki yang berani melawannya. "Apa dia tidak tahu siapa aku!" geramnya lebih ditujukan pada dirinya sendiri. Ia kesal. Ia marah. Dan ia penasaran akan siapa gerangan sosok lelaki yang diceritakan oleh para anak buahnya. Berani melawan dan justru semua anak buahnya dikalahkan oleh pria tak dikenal. Bagaimana sosok lelaki yang punya nyali itu. Sial! Zena yang tadi membelakangi Fredo membalikkan badan seketika. "Fred! Cari tahu siapa orang itu. Kau wali kota dan kau punya andil besar pada kota ini begituopun dengan warganya. Aku tidak mau tahu. Kau harus bisa menemukan siapa orang itu! Kita tidak boleh membiarkan ini semua. Ingat itu Fred!" Zena tentu merasa cemas. Tidak boleh ada yang berani melawan anggota gengs mereka. Bahkan selama ini semua tunduk pada Mobogengs. Jika sampai ada satu orang saja yang berani merusuh dan melawan maka Zena tidak akan segan-segan melenyapkan siapapun orang itu. Zena harus menjadi penguasa. Dan menguasai kota Graha dengan memanfaatkan Fredo saja sanggup ia lakukan. Ia masih menggeram dengan segala kekesalan hatinya. Rasa penasaran yang telah membuatnya untuk segera menemukan siapa gerangan sosok yang telah memiliki nyali besar hingga sanggup mengalahkan anak buahnya yang notabene tak akan pernah tertandingi oleh siapapun. Fredo pun berpikir hal yang sama. Rasa penasaran juga menelusup dalam dirinya. Pria itu beranjak berdiri. "Aku akan mencari tau." "Lakukan sekarang!" Hanya anggukan kepala sebagai jawaban dan Fredo melangkah keluar dari basecamp di mana mereka mengadakan pertemuan. Zena kembali mendaratkan p****t pada kursi setelah kepergian Fredo. Memutar-mutar kursi miliknya sembari berpikir. Selama ini tidak ada yang bisa mengalahkan anggota gengnya. Zena pastikan tak akan ada satu orang pun yang berani melawan. Namun, kali ini ia merasa terancam. "Cari tahu siapa lelaki yang telah mengalahkan kalian. Aku tak ingin sesuatu hal buruk mengancam kita." Titah Zena yang langsung dimengerti oleh para anggotanya. Semua mengangguk patuh dan satu per satu meninggalkan Zena dalam ruang pribadi wanita itu. *** Pagi ini, kicau burung yang menyambut awal dimulainya hari di mana Aldrick telah menjejakkan kaki panjangnya di atas sebuah tanah lapang luas yang berada di dalam barak militer. Sebagai anggota tentara ia memang dibiasakan untuk selalu bangun di kala pagi dan berolahraga untuk menyehatkan badan dan menjaga stamina agar tetap bugar. Apel pagi yang selalu rutin dilakukan Aldrick bersama para anggotanya. Kali ini mereka akan berbaur dengan para anggota militer yang berada di kota Graha. Sebagai prajurit kiriman dari kantor pusat, Al harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana ia berada sekarang. Berlari mengelilingi lapangan yang cukup luas membuat peluh membanjiri tubuhnya. Ada sekitar lima puluh orang tentara militer yang bersamanya pagi ini. Dengan napas tersengal pria itu masih melangkahkan kaki panjangnya menapak tanah lapang dengan pikiran sedikit menerawang. Masa kecil yang Al habiskan di kota ini penuh dengan kenangan. Kota Graha. Sebenarnya kota ini adalah salah satu daerah maju tidak hanya dalam bidang industri dan perdagangan. Namun, juga dalam bidang maritim. Karena di kota Graha juga terdapat sebuah pantai yang Al masih sangat ingat jika di kampung nelayan banyak sekali perahu pencari ikan. Termasuk salah satu penyumbang terbesar hasil laut di negara ini. Kota sejuta ekonomi yang hampir semua penduduknya tak pernah berada di taraf ekonomi rendah. Namun, sayang sekali. Karena semakin ke sini kota Graha telah banyak mengalami kemunduran. Entah kenapa Al jadi ingin sekali mengunjungi pantai yang jaraknya tak seberapa jauh dari barak militer. Hanya saja ia memang tak bisa kelayapan sesuka hati jika tidak ingin misi dan rencananya gagal total. Pria itu menghentikan langkah lalu membungkukkan badan terengah dengan mata menyipit. Tepukan di punggung membuatnya mendongak menatap Bray. "Ada apa?" Pertanyaan Bray hanya dijawab dengan gelengan kepala. "Tak apa." Al memang tidak pernah bercerita dengan siapapun asal usulnya. Termasuk tentang masa kecilnya yang membesar di kota Graha. Biarlah hanya dia sendiri yang tahu. Dan jangan sampai ada yang mengenalinya. Bertahun-tahun Al meninggalkan kota ini dan ia sengaja mematikan identitasnya sebagai penduduk kota Graha sejak beberapa tahun silam. Mengikuti wajib militer hingga kini ia menjadi seorang tentara sesuai dengan apa yang ia inginkan. Meski tentara bukanlah mimpi dan cita-citanya sewaktu kecil hingga remaja. Ah, sudahlah. Tak perlu mengenang masa lalu jika hanya akan meninggalkan kenangan menyakitkan. "Wajahmu pucat." Bray berucap. "Sebaiknya kau istirahat," lanjutnya. Menarik lengan Al dan membawanya ke pinggir lapangan. Keduanya saling duduk bersisihan dengan rumput sebagai alas. "Al, sampai kapan kita akan bersembunyi di dalam barak ini. Bukankah seharusnya kita keluar untuk melihat situasi dan kondisi yang terjadi di kota ini agar kita tahu apa yang harus kita lakukan nanti." "Aku sudah katakan padamu. Kita tidak boleh gegabah. Menurut saja apa perintah komandan. Yang jelas, langkah awal yang harus kita ambil adalah memperhatikan tentang seluk belum Mobogengs." "Mobogengs?" "Ya. Kawanan gengster yang telah menghancurkan dan memporak porandakan kota ini. Apa aku tak pernah bercerita padamu tentang mereka?" Bray menggeleng. Entahlah, dia sendiri juga hanya menuruti perintah saja untuk berada di sini. Sempat mendengar jika kota mati patut untuk diselamatkan dari perusuh yang hanya bisa menghancurkan kedamaian dan ketentraman penduduk kota. Juga menumpas semua kejahatan yang menyerang kota ini. Tanpa Bray tahu pasti dengan keberadaan kawanan gengster yang Al sebutkan tadi. Entah kenapa Bray merasa jika semua tak akan mudah mereka lalui. Namun, yang pasti dengan adanya Al diantara mereka maka Bray yakin semua akan baik-baik saja. *** "Perdagangan manusia?" Al bertanya karena ia tak percaya dengan apa yang dikatakan pria paruh baya di hadapannya. Seorang komandan tentara mengatakan, "Kami mendengar jika dalam waktu dekat akan ada rombongan human trafficing yang akan tiba di kota ini." "Apa itu semua juga ulah Mobogengs?" Lagi-lagi Al memastikan. Dan pria itu mengangguk. "Banyak hal yang bisa Mobogengs lakukan. Dan kami sudah angkat tangan karena sering kecolongan." Al diam. Berpikir dan berpikir. Bisnis perdagangan manusia yang dilakukan oleh Mobogengs. Mengambil dengan paksa atau sukarela para penduduk dari berbagai macam kota. Tak peduli lelaki atau perempuan. Dikumpulkan dan ditampung di kota Graha. Selanjutnya mereka menjualnya ke luar negera. Entah sebagai tenaga kerja wanita atau sebagai buruh apa saja. Al sendiri tak paham. Dan itu semua dilakukan secara ilegal. Lantas, bagaimana nasib orang-orang yang nantinya di jual di negara tetangga. Ya, Tuhan. Al tak sanggup membayangkan andai mereka dijadikan b***k. Disiksa dan ___ Argh! Al tak sanggup lagi membayangkan apapun juga. "Kita harus menggagalkan misi mereka," ucap Al dengan nada tegas. Dalam pikirannya hanya satu. Ia Tak ingin mereka mengalami nasib buruk. Apapun yang bisa Al lakukan, pasti akan dia lakukan dengan semampunya. "Ya, itupun yang ingin aku pinta darimu, Al! Ini adalah misi pertamamu. Apakah kau siap?" "Siap, laksanakan!" "Terima kasih." Al keluar dari ruangan sang komandan. Menuju di mana para anggotanya sedang berlatih. Mereka tak hanya membekali diri dengan fisik yang kuat, kemampuan beladiri yang baik juga kemampuan berperang serta menembak yang ahli. Hal itu sudah mereka pelajari ketika memantapkan diri masuk menjadi wajib militer. Dan satu hal lagi. Mental yang tangguh dan tak boleh lemah harus dimiliki oleh setiap anggota tentara. Menghadapi segala hal tak boleh gentar. Dan misi pertama yang akan Al jalankan di kota Graha juga tak boleh gagal. Nama baik juga keselamatan para korban Mobogengs yang menjadi taruhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN