3. TAWARAN

1102 Kata
Aluna sedang meneguk minuman yang ada di gelas kecil yang sedang dalam genggamannya. Wajahnya nampak merah dan kacau. Bayangkan apa yang dilakukan gadis ini sungguh diluar rencana hidup Aluna. Mendatangi tempat yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Ya, Aluna berakhir di sebuah club yang ada di kawasan Jakarta. Andai saja keluarganya tahu, putri kesayangannya berada di tempat seperti ini bisa dijamin Aluna akan dikurung selama sebulan. Apalagi kalau Azel tahu, bisa digundul Aluna saat ini juga. Entah sudah berapa gelas ia habiskan hanya untuk membuat pikirannya merasa lebih baik. Patah hati pertama Aluna membuatnya hilang akal sehat. Marah, kecewa dan sakit hati masih saja menemani hati-hatinya setelah putus dengan Ray. Padahal pria itu terus saja mengejar Aluna untuk meminta balikan tapi gadis itu bersikeras untuk berpisah. Baginya, Ray sudah melukai harga dirinya sebagai seorang perempuan. Tiada maaf untuk pria itu. “Mbak, mending berhenti soalnya udah merah wajahnya. Pasti pertama kali minum ya?” tanya bartender yang melayani Aluna. “Ssstttttt,” telunjuk Aluna memberi syarat agar pria tersebut diam. “Cowok nggak usah banyak omong. Mending diam dan jangan ikut campur,” ucapnya dengan nada setengah mabuk. Pria itu menahan tawa, “Pasti lagi patah hati ya? Mbak ini cantik kenapa putus cinta harus seperti ini? Cari yang lain pasti banyak yang antri,” “Semua cowok sama saja, pembohong,” Aluna semakin melantur. “Jangan begitu, Mbak. Banyak pria baik di luar sana, mungkin Mbak lagi kurang beruntung aja makanya dapat yang bikin sakit hati.” Aluna menunduk, meresapi ucapan pria itu di sisa kesadarannya yang mulai berkurang. Apa iya dirinya salah memilih sedangkan yang mendekatinya waktu itu adalah orang yang memang dekat juga dengan Ray. Jadi kalaupun ia tidak menerima Rayden, sudah jelas ia akan tetap jadi bahan taruhan pria tidak berperasaan itu. “Saya mau gin and tonic,” terdengar suara pria di sebelah Aluna. Aluna yang menyadari ada yang duduk di sebelahnya, kemudian menoleh. Kondisinya yang setengah sadar, tidak bisa memungkiri jika pria ini sangat tampan. Bayangkan wajahnya tenang, dingin namun begitu berkharisma. Sungguh jauh jika dibandingkan dengan Ray. Mantan pacarnya itu tidak setampan yang Aluna pikir. “Ganteng banget, “gumamnya sambil matanya berbinar-binar memandang pria tersebut. Merasa ada yang memperhatikan, pria itu balik menoleh ke arah Aluna. Tidak ada senyum dan hanya menampakkan wajah datar. “Hai…” sapa Aluna sambil telunjuknya mencolek lengan pria asing itu. “Sory?” “Kenapa ada malaikat tampan di tempat seperti ini?” tanya Aluna dengan suara khas orang mabuk. “Anda mabuk?” tanya pria itu. “No! Aku nggak mabuk, aku masih sadar. Bahkan kalau pria bérengsek itu muncul di sini, aku masih bisa menendang aset masa depannya,” ucapnya dengan semangat. “Sebaiknya Anda pulang, kondisi anda sudah tidak stabil,” bujuk pria itu. Bukan peduli tapi ia mulai terganggu dengan tingkah Aluna. “Kamu, mau nggak jadi pacar aku?” tanya Aluna tiba-tiba, bahkan ia mendekati pria tersebut. “Hah?” pria itu nampak terkejut. “Kenapa ‘hah’? Kata dia aku ini cantik dan banyak yang suka,” Aluna menunjuk bartender tadi. “Jadi apa kamu mau menikah dengan aku?” Tangan gadis itu memegang kedua lengan pria asing itu. “Kamu mabuk parah, sebaiknya pulang. Di sini bahaya,” pinta pria itu. Cup! Bibir Aluna dengan cepat menempel di bibir pria itu. Dengan kondisi yang tidak stabil, Aluna tidak sadar sudah melakukan hal yang sangat konyol dalam hidupnya. Akal sehatnya terbawa pergi bersama minuman beralkohol yang ia teguk. Ia mencium pria asing di club malam dan ia tidak tahu akan berakhir seperti apa malam ini. *** Perlahan Aluna membuka matanya dengan susah payah. Kepalanya berat, tubuhnya terasa pegal bahkan sangat malas untuk beranjak dari tempat tidur. Ia berusaha menetralkan pandangannya, menatap langit-langit kamar dengan pikiran kosong. “Semalam kenapa mimpinya aneh sekali?” gumam Aluna. Tangannya memijit pelipis yang terasa sakit kepalanya terasa pusing. Ketika akal sehatnya sudah pulih, Aluna terdiam. Matanya mengedip beberapa kali saat ingat semalam bukan sebuah mimpi. “Aluna, habislah kamu sekarang!” Dengan segera ia membuka selimut yang menutup badannya dan berharap ia tidak melakukan kesalahan besar. Jika sampai ketakutan Aluna terbukti maka habislah ia ditangan Azel yang tidak lain kakaknya. Saat melihat kondisi setelah selimut terbuka, akhirnya ia bisa bernapas lega. Pakaiannya masih melekat dengan lengkap tanpa ada yang terbuka sedikitpun. Ia berusaha menenangkan detak jantungnya yang hampir saja melompat dari tempat semula akibat ketakutan yang luar biasa. “Ya Tuhan, terima kasih karena Engkau masih memberi aku kesempatan.” Gumam Aluna dengan serius. "Nyaris saja harta berhargaku hilang," ucapnya ngeri. Ia mencoba mengingat-ingat kembali kejadian semalam karena tadi ia hanya mengingat samar saja. Aluna ingat berapa gelas minuman yang sudah masuk dalam tubuhnya dan hingga peristiwa memalukan itu terjadi. “Astaga! Apa yang sudah aku lakukan semalam? Ini mimpi, pasti mimpi,” tangannya dengan gemas mencubit pipinya sendiri. “Auch, sakit,” keluhnya. “Jadi semalam bukan  mimpi? Aku mencium cowok yang sama sekali nggak aku kenal dan siapa yang membawa aku ke hotel? Apakah pria itu?” Aluna mencecar dirinya sendiri dengan segudang pertanyaan. Kepalanya yang masih sakit kini bertambah pening akibat ingatan yang muncul mengenai kejadian semalam. Saat ini Aluna tengah berjalan masuk ke dalam rumah dengan mengendap-ngendap. Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi dan ia yakin dirumah sedang tidak ada ayah dan kakaknya. Kalau hanya menghadapi ibunya, Aluna masih sanggup. Berbeda jika ia harus menghadapi ayah serta kakaknya yang sangat over protektif kepadanya. Ia bisa saja mati kutu dicecar pertanyaan jika melihat betapa kacaunya ia saat ini. “Aluna, darimana kamu?” tanya Azel begitu Aluna akan masuk ke dalam kamarnya. Dengan perasaan takut, Aluna memutar tubuhnya lalu menampakkan senyum setenang mungkin. “Mas kok belum berangkat kerja?” “Jangan mengalihkan pertanyaan. Jawab kamu dari mana?” “Hhhmm, aku kan nginap di rumah Lia, Mas. Mama sama Papa tahu kok.” “Jangan bohong! Masa pulang menginap wajah kamu berantakan begini, rambut acak-acakan,” Azel mendekati Aluna. Karena tidak mau sang kakak mencium bau alkohol dalam tubuhnya, Aluna segera bergegas membuka pintu kamarnya, “Mas, aku kebelet. Nanti kita ngobrol lagi ya. Bye Mas gantengku.” Aluna menghilang dari balik pintu tanpa bisa Azel cegah. “Apa-apaan anak ini. Kakaknya belum selesai bicara malah kabur.” Azel memicingkan matanya, “Sepertinya ada yang nggak beres sama Aluna, apalagi semalam si motor gede datang ke rumah nanyain Aluna. Jangan-jangan mereka ada masalah,” senyum tipis terangkat dari sudut bibir pria itu. “Semoga saja mereka putus, sejak awal aku nggak suka sama pria sok cakep itu. Rasanya ada yang nggak beres sama sikapnya.” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN