Chapter 2

794 Kata
Numpang hidup Bab 1 "Mas, kita cari kontrakan aja gimana?" tanyaku kepada Mas Reza pagi ini. "Kenapa? Udah di sini saja, kontrakan juga tak ada yang murah," jawab Mas Reza. Kuhela panjang napas ini. Karena aku memang sudah tak tahan, satu rumah dengan tiga keluarga. "Sama saja, Mas! Kalau kita di sini, kita semua yang menanggung makan orang satu rumah," ucapku meluapkan ganjalan di hati. "Dek, masalah makan jangan perhitungan gitulah! Mas nggak suka, rejeki sudah ada yang ngatur," balas Mas Reza. "Tapi, Mas ...." "Sudah, nggak ada tapi-tapian, Mas mau berangkat kerja dulu! Kamu hati-hati di rumah. Yang akur sama Desi!" pesan Mas Reza. Mas Reza kemudian berlalu begitu saja. Aku masih mematung di tempat. Duduk di tepian ranjang. Mengatur emosi di dalam hati. Desi adalah adik iparku. Ia juga sudah menikah. Suaminya pekerja serabutan. Jadi nggak setiap hari kerja. Kalau Mas Reza bisa di bilang jauh lebih baiklah. Karena ia bekerja di salah satu showroom mobil dengan gaji bulanan. Dengan langkah malas aku beranjak keluar dari kamar. Kulihat Mas Reza sedang berbincang-bincang dengan Desi dan Ibu. "Sarapan dulu, Za. Lihat ini Ibu dan Desi dari subuh sudah sibuk di dapur. Nggak nyumpel terus di dalam kamar!" ucap Ibu seraya melirikku. Ya, memang seperti itulah setiap hari. Adu sindir selalu terjadi dalam rumah ini. Aku lihat Mas Reza duduk dan meraih secangkir kopi yang sudah di persiapkan. Ia tak menanggapi ucapan ibunya. "Mas, Amper sudah berbunyi. Minta uang untuk beli pulsa listrik," ucap Desi tanpa rasa malu. "Gantian dong, masa' kami terus yang bayar? Suamimu kan beberapa hari ini kerja," sahutku. Desi terlihat nyengir. "Ya Allah ... Mbak ... cuma berapa sih uang beli pulsa listrik, Mas Vino memang kerja, tapi uangnya udah aku belikan ini," jelas Desi, seraya memperlihatkan sesuatu yang melingkar di jari manisnya. Astaga ... tanpa malu ia perlihatkan cincin emas di jemarinya. Sedangkan aku sama sekali tak makai. Jangankan cincin, anting saja aku tak makai. Padahal gaji suamiku lumayan. Tapi selalu habis untuk kebutuhan perut orang satu rumah ini. "Enak, ya, gaji suamimu utuh, tapi buat makan dan semua kebutuhan rumah ini gaji Mas Reza," sungutku. "Dek!! Sudah-sudah! Harusnya kamu ikut senang, Desi bisa centel uang lakinya. Dan kamu juga harus bisa nabung kayak Desi," ucap Mas Reza. Cukup membuatku syok. "Nabung? Gimana aku bisa nabung, kalau semua pengeluaran rumah ini, hasil dari gajimu itu. Kalau Desi jelas bisa nabung, gaji lakinya utuh. Makan saja nebeng!" sungutku, semakin kuluapkan semua uneg-uneg di dalam sini. "Astagfirullah, Mbak! Ini rumah ibuku, ya! Rumah orang tuaku. Mbak Vita itu hanya mantu di sini. Jadi yang sopan kalau ngomong!" sungut Desi dengan mata mendelik. "Halah ... di sopanin juga kalian semakin ngelunjak!" ucapku, kemudian dengan kasar aku segera berlalu dari meja makan ini. "Dek ...." "Jangan di kejar, Za! Istrimu itu semakin ngelunjak, makin hari semakin tak sopan saja!" cegah Ibu. Telinga ini masih mendengarnya. Aku menoleh ke belakang. Benar, Mas Reza memang tak mengejarku. Keterlaluan memang. Kutekan d**a ini yang terasa sesak. Sungguh sesak sekali. Memilih duduk di kursi ruang tengah. "Ini uang untuk beli pulsa listriknya!" ucap Mas Reza. Telinga ini masih mendengarnya. Sungguh rasanya tak ikhlas saja. Entahlah. "Sekalian, Za. Beras habis, peralatan kamar mandi juga habis!" ucap Ibu menambahi. Semakin bergemuruh hebat di dalam sini, mendengar mereka meminta uang kepada suamiku. "Ini Bu!" ucap Mas Reza. Area mataku memanas. Entah berapa lembar rupiah yang di berikan Mas Reza kepada mereka. Bahkan untuk urusan kamar mandi juga meminta suamiku. Enak sekali menjadi Desi. Uang suaminya utuh. "Mas Reza memang baik banget. Sayangnya dapat istri kurang pas," ucap Desi dengan tawa cekikikan. Membuat d**a ini semakin bergemuruh hebat. ******** "Kamu nggak kerja, Mas?" tanya Desi kepada suaminya. Mereka duduk santai di teras belakang. Aku sedang memainkan gawai untuk bisnis onlineku. "Nggaklah! Capek! Sebenarnya ada kerjaan, sih, tapi malas aja!" jawab Vino santai. "Emm, kalau capek, ya, nggak usah kerja. Selama Mas Reza masih kerja, kita santai saja, karena nggak bakal kelaparan juga," ucap Desi juga tanpa rasa malu berbicara seperti itu. Kutarik kuat napas ini, kemudian menghembuskan secara kuat. Ingin menelam dua orang itu hidup-hidup rasanya. "Makanya, aku santai. Ngapain juga capek-capek kerja. Makan tinggal makan. Kalau dapat uang kita belikan perhiasan saja. Jadi istriku ini terlihat cantik," ucap Vino tanpa merasa berdosa. "Iya, dong! Perempuan itu kalau pakai perhiasan memang terlihat lebih cantik. Selain itu, suami juga terlihat berwibawa. Bisa membelikan istrinya emas. Hi hi hi," jawab Desi dengan tawa cekikikan. Semakin menambah kemelut di dalam sini. "Iya, dong! Biar kita terlihat mapan. Biarkan saja uang Mas mu itu habis masuk ke dalam spiteng. Ia nampak kerja keras tiap hari dengan gaji bulananny. Tapi uangnya tak centel apapun, sedangkan aku yang kerjanya santai, istriku memakai perhiasan, orang kan bisa menilai, siapa yang pintar cari duit, Ha ha ha," balas Vino. Sungguh licik sekali mereka. Kurekam semua pembicaraan mereka. Ingin aku tunjukan ke Mas Reza, saat ia pulang nanti. Semoga saja setelah mendengar obrolan dua benalu numpang hidup ini, pikirannya terbuka. Kalau ia hanya di manfaatkan saja oleh saudaranya sendiri. *******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN