2 :: MODUS

1054 Kata
Pukul empat kurang sepuluh menit, Putra sudah siap di depan kontrakan Kirana. Pakaiannya rapi dengan jaket jeans berwarna gelap, celana jeans dan tas ransel yang ada digendongannya. Wajah SMA bahkan terlihat samar, ia seperti pemuda tanpa title SMA dibelakangnya. Kirana keluar dari kontrakannya setelah mendapatkan pesan dari Putra, pakaian semi formal yang dikenakannya. Celana panjang dengan paduan blouse berenda, masker dan helm sudah terpasang rapi. "Jadinya dimana?" tanya Kirana sambil mengacungkan kunci motornya. Dengan lihai ia memutar kunci motor dijari telunjuknya. Putra mendelik melihat itu, bukan karena kagum. Jika boleh jujur, ia sangat kesal sekarang namun senyum menawannya selalu mengalahkan egonya, "Ibu ... Ibu bonceng Putra aja, jangan bawa motor sendiri, bisa bikin parkiran penuh nanti." "Kok gitu? Nanti siapa yang nganterin ibu pulang?" "Nanti Putra yang anterin ibu pulang dengan selamat." “Dengan selamat tapi malah kedengeran horor, ibu juga males nyetir sebenernya." Kirana terdiam sejenak. "Udah punya ijin mengemudi?" "Udah dong Bu, kalau belum mana berani bawa motor ke sekolah," jawab Putra dengan penuh kebanggaan dalam hatinya. Kirana mengangguk paham. Perasaannya lega, Ia juga tak bisa menolak karena dia sendiri sedang malas menyetir, toh baginya dia adalah guru di sekolah namun teman di luar sekolah. Kirana memasukan kunci motornya ke dalam tas yang dibawanya. Pandangannya sangsi pada motor jok tinggi yang Putra bawa. Motor yang tak biasa dibawanya ke sekolah. "Motornya tipe buaya darat yah," komentar Kirana saat kesulitan untuk naik. Pandangan Kirana berubah menjadi ketus. "Ini ... beneran bakal selamatkan?" “Seratus persen, pegang sini Bu kalau susah naiknya, motor yang satunya lagi dipinjam tetangga.” Putra menepuk bahunya untuk dijadikan pegangan, ia bahkan membual motornya untuk meyakinkan. Kirana menurutinya. “Maaf ya,” ucapnya sebelum tangannya mendarat di bahu dan ia berhasil naik ke motor besar itu. ‘Untung aku pake celana, kalau pake rok bisa kejungkel aku.’ "Jadinya mau kemana?" "Nanti ibu juga tahu, kalau takut jatuh pegang tas Putra ga papa Bu, pegang yang lain juga boleh." “Maksudnya?” “Peluk, misal.” Plak! Pukulan keras mendarat di punggung lebar Putra, pria itu hanya tertawa dengan tubuhnya yang berguncang. Tamparan Kirana sama sekali tak terasa. "Misal bu, kalau ga mau ga papa kok, ga maksa kok, tapi kalau mau lebih safety ya itu caranya hehehe." Kirana menggelengkan kepalanya, muridnya tak pernah bosan menggodanya dimana pun ia berada. Kirana mengamankan dirinya dengan memegang erat pada tas yang digendong Putra. Ia harus tetap selamat sampai tujuan. Selama perjalanan keduanya hanya keheningan yang tercipta, tak ada pertanyaan ataupun percakapan yang berarti. Lagipula, Putra mengenakan helm full face, bertanyapun tak akan terdengar terlebih Kirana mengenakan masker, suaranya akan semakin teredam. Hanya sesekali Putra mengamati Kiran melalui kaca spion. Perasaannya begitu bahagia, hal seperti ini memang sudah lama diinginkannya. Menjemput untuk belajar bersama, saling bercanda dan tertawa. Dua point terakhir memang belum jelas namun Putra tersenyum senanf hanya dengan membayangkannya. Sementara Kiran di belakang, menatap malasa pemandangan yang ada di kanan kirinya. Tak ada yang menarik, hanya gedung-gedung tinggi dan beberapa tempat makan yang sering dilalui. Kirana hanya menanti tempat yang akan dituju oleh muridnya. Sebuah cafe menjadi tempat yang mereka datangi. 'Bukannya ini cafe mahal?' batin Kiran saat Putra membelikan motornya. "Kalau cuma buat belajar kenapa harus ke sini?" tanya Kiran merasa berlebihan. "Memang disini tempat janjiannya, Bu." Cring! Bunyi lonceng kala pintu dibuka dan sapaan ramah dari karyawan yang berjaga dimeja kasir. "Anak-anak muda jaman sekarang sukanya kalau belajarnya di cafe yah, bukannya nanti ujung-ujungnya ngobrol ya?" "Ibu ngomongin anak muda zaman sekarang, emang ibu manusia terdahulu ya?" ledek Putra membuat wanita itu berdecih kesal. Usia Kirana sekarang dua puluh empat, ia sudah lulus SMA sejak enam tahun yang lalu, seharusnya tidak banyak yang berubah. "Tapi ibu dulu ke cafe itu jaman kuliah." "Anak SMA jaman sekarang duitnya banyak Bu, jadi bisa ke cafe, itung-itung memperbaiki ekonomi mereka." "Dan mempermiskin diri sendiri?" Putra terkekeh kecil, ia tak sanggup berdebat. Arguman gurunya, ah! wanita yang disukainya sangat tepat. Selagi menunggu Putra datang dengan menu pesanannya, Kirana menemukan tempat yang menurutnya cocok. ia keluarkan beberapa buku dan notebook dari tasnya. Cukup tebal karena berisi kumpulan materi untuk persiapan ujian. Tak lama Putra datang dengan dua cup kopi di tangannya. Satu ia sodorkan untuk Kirana dan satu untuknya. "Jadi mau belajar apa dulu?" tanya Kirana to the point. Bahan ajarnya sudah ia siapkan di laptop. Tinggal memberikan contoh soal yang akan diselesaikannya. "Bentar bu, nafas dulu, capek banget." Putra menyelonjorkan kakinya dengan punggung yang menyadarkan pada kursi, ia langsung berlaga kelelahan sembari memutar bahunya. Seukir senyum yang tak luput dari wajahnya. Dimatanya, yang saat ini mereka lakukan adalah sebuah kencan. Itu yang dirasakan Putra meski hanya sepihak. Putra tetap senang dan menikmatinya. “Ibu cuma punya waktu sampai setengah enam lho.” Putra menghela nafas mendengar ancaman itu. Tangannya dengan malas membuka resleting tasnya, mengambil beberapa buku dan mendelik panik. "Kok?" gugup ia membuka tasnya dan tak menemukan buku yang dicarinya. Ia memutar tasnya dan menepuk keningnya keras. "Why? Kenapa?" "Putra salah ambil tas, Bu." "Emang itu isinya apa?" "Komik rentalan, mau dibalikin besok rencananya," lirih Putra dengan ringisan kecilnya. Kirana juga tak bisa menyembunyikan raut kecewanya. Datang kesini pun ia penuh dengan perjuangan dan yang dilakukan Putra adalah suatu kesengajaan. "Terus belajarnya gimana?" "Ke rumahku aja, gimana bu?" Deg! Kirana terdiam beberapa saat kala mendengar ucapan dari muridnya. Ke rumahnya? Itu sangat ... privasi dan tidak akan nyaman. Ia bukan guru privatenya. Ia juga datang hanya untuk membantunya. “Ke rumahmu? Yang bener aja!” "Jadi di rumahku ada gazebo, Bu. Biasa buat kerja kelompok," kilah Putra cepat. Ia bergegas mengambil ponselnya dan membuka galeri ponsel. Setelah beberapa menscroll layar ponsel, Putra menunjukan sebuah foto gazebo rumahnya. Ia sudah merencanakannya sejauh ini. Ia ingin menghabiskan sedikit waktu bersama gurunya. "Bantuin aku Bu, please. Senin ada latihan try out, Ibu tahu sendiri, demi universitas impian." Kirana tampak mengamati foto yang ditunjukkan oleh Putra. Gazebo kayu dengan ukuran yang cukup luas, berbentuk panggung dengan ukiran kayu di setiap sisinya. "Ya—ya udah udah, tapi kamu tuh kenapa bisa telodor banget sih? Baru belajar lho ini, nanti kalau ujian sampai salah bawa tas gimana?" kesal Kirana namun tak berani mencerca lebih banyak. Citranya tetap seorang guru karena ia datang untuk mengajar. Jika ia harus melepas topeng gurunya mungkin ucapan kasar sudah sedari tadi ia lontarkan. "Hubungin teman-temanmu dulu, kabarin kalau pindah tempat." "Siap grak!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN