Flashback
Mobil sedan Simon keluar dari basement kantor, ia yang duduk di kursi penumpang terus memainkan ponselnya. Dengan kening yang berkerut ia menatap layar ponsel yang menampilkan video dimana Alvino sedang membawa kakaknya ke rumah sakit.
Pria itu tampak panik dan juga ia seperti Alvino yang tak Simon kenal. Yang Simon tau, Alvino tidak pernah menangis kecuali di saat ia kehilangan ibunya, dan itu terkahir kalinya Alvino bilang padanya kalau ia tidak akan pernah menangis lagi.
Tapi.. tampaknya sekarang pria itu menelan ludahnya sendiri, sekarang ia menangis saat kakaknya di masukkan ke dalam mobil ambulance.
"Gorge,"
"Ya, Pak." Gorge menatap Simon melalui kaca tengah mobil.
"Kita ke rumah sakit sekarang, Rendra mengirimkan kabar terbaru tentang Alvino."
Gorge mengangguk singkat, "baik, Pak." Ia pun mempercepat laju mobil yang ia kendarai.
Semoga, kali ini Simon dapat bertemu langsung dengan Alvino. Gumam Gorge dalam hati.
^^^
Mobil yang di kendarai Gorge masuk ke area rumah sakit yang di datangi, Alvino. Dengan cepat, Simon turun dari mobil itu-ia langsung di sambut oleh Rendra.
"Bagaimana? Kau sudah tau dimana ruang inap kakak Alvino?" tanya Simon dengan bersemangat.
"Pak, sebelumnya Saya mau minta maaf,"
"Minta maaf?-"
"Pak, Saya kehilangan jejak Alvino." ujar Rendra bersimpuh di depan Simon.
Gorge yang mendengar itu langsung membulatkan matanya, ia menoleh ke arah Simon yang tampak terdiam.
"Pak, Saya minta maaf.. Alvino sadar kalau dirinya Saya ikuti.. saat masuk ke dalam rumah sakit, dia sudah menunggu Saya-"
Bug
Tinju Simon mendarat di wajah Rendra, pria itu tersungkur. Walaupun ia merasa kesakitan, ia tetap mencoba terlihat biasa-biasa saja dan kembali ke posisinya semula.
"Bodoh!" umpat Simon tertahan. "Bagaimana bisa kau ketahuan oleh pria itu?!"
"Maaf, Pak. Aku sudah lalai-"
"Aakhh!!" Simon memukul-mukul atap mobilnya dan berteriak dengan keras.
Untung saat ini mereka sedang di parkiran rumah sakit dan suasana di sekitar tempat itu lumayan sepi.
Rendra berusaha untuk berdiri, pipinya yang di tonjok Simon tadi semakin terasa sakit.
"Pak-"
Bug
Tinju Simon kembali mendarat di pipi Rendra yang lain. Lagi-lagi Rendra tersungkur namun kali ini ia tidak bisa berdiri, pukulan Simon sungguh kuat dan membuat sudut bibirnya berdarah.
"Temukan kembali Alvino! Jika kau tidak bisa! Maka jangan harap kau akan selamat dari ku!.. ayo, Gorge. Kita pulang,"
Simon masuk ke dalam mobil dengan membanting pintunya dengan keras. Gorge yang masih di tempatnya mendekati Rendra.
Ia berjongkok di depan pria itu. "Obati luka mu.. dan kalau aku boleh saran, jangan berbicara saat Pak Simon sedang marah," Gorge menepuk-nepuk bahu Rendra setelah itu ia beranjak dari hadapan pria itu.
Rendra berusaha untuk berdiri. Saat mobil yang di bawa Gorge hendak pergi meninggalkan area parkir rumah sakit, ia menundukkan kepala saat mobil sedan hitam itu pergi dari hadapannya.
^^^
"Darimana kau mendapatkannya?"
Gorge yang sedang fokus mengendarai mobil, menatap Simon melalui kaca tengah mobil.
Ia langsung paham siapa yang dimaksud oleh boss-nya itu. Gorge pun membuka mulutnya. "Dia teman yang Saya rekomendasikan kepada Anda, Pak."
"Sudah berapa lama dia bekerja?" tanya Simon kembali dengan datar.
"Sekitar dua tahunan, Pak."
"Gorge, kau tau kan.. aku paling benci orang yang lambat dan lalai.. dan sayangnya itu semua ada di temanmu!"
"Maaf, Pak.. kalau Anda-"
"Aku mau kau membimbingnya, Gorge. Jika dia masih gagal seperti ini jangan harap dia akan bisa bekerja denganku lagi!"
Selesai mengucapkan itu, Simon turun dari mobil yang sudah berhenti di depan rumah. Ia membanting pintu mobil dengan keras dan membuat Gorge yang masih di dalam mobil terperanjat kaget.
"Ah.. Rendra kau sudah membuat kesalahan."
Flasback Off
***
Simon masuk ke dalam kamar Cindy dan mengunci pintunya dari dalam, lalu ia melangkah mendekati ranjang dan mendudukkan gadis itu di sana.
Cindy merapikan jas Simon yang ia kenakan. Bajunya masih basah dan itu sangat tembus pandang, membuatnya sedikit risih di tambah lagi Simon yang sudah melihat tubuhnya secara terang-terangan dan itu membuatnya semakin risih dan malu.
"Angkat kakimu," ujar Simon yang berjongkok di depan Cindy setelah sekembalinya dari kamar mandi.
Cindy yang mendengar itu mengerjap bingung, "untuk apa?"
"Kaki mu terluka, dan itu harus di obati."
Tatapan Cindy turun ke kakinya yang tampak berdarah. "Sejak.. kapan?"
"Kau tidak sadar kalau sudah menginjak pecahan kaca-"
"Aaakkhh!!"
Cindy berteriak dan menjambak rambut Simon saat pria itu menarik pecahan kaca yang tersangkut di kakinya.
Simon memperlihat kaca yang telah lepas kepada Cindy, lalu ia membasuh kaki gadis itu dengan air yang telah ia ambil tadi.
"Kaki mu sudah aku obati, dan sekarang bisakah kau lepaskan tanganmu dari rambutku?"
Cindy yang tersadar akan tangannya yang masih menggenggam rambut Simon, membulatkan matanya sebentar lalu dengan cepat melepaskan tangannya.
"M-maaf,"
Simon mengangguk, lalu tatapannya turun ke arah gaun yang di kenakan Cindy saat ini.
"Kau harus ganti baju,"
Mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Simon membuat Cindy langsung merapatkan jas pria itu yang menempel di tubuhnya.
Simon berdiri, ia melangkah menuju walk in closet milik Cindy, dan beberapa saat kemudian ia keluar dengan baju yang ada di tangannya.
Ia menyerahkan baju itu kepada Cindy. Cindy menerimanya.
"Ingin aku bantu?" ujar Simon yang langsung mendapatkan tatapan sinis dari Cindy. "Kenapa menatapku seperti itu?"
"Jangan mengucapkan hal-hal yang tidak masuk akal seperti itu, Pak!" ujar Cindy kesal.
Simon yang mendengar ucapan ketus dari bibir Cindy, menatap gadis itu dengan heran.
Apa seperti ini sifat asli Cindy yang di ceritakan Bibi Laura kepadanya?
Satu yang harus kau ingat, Simon. Biar pun Cindy kehilangan semua ingatannya tapi.. sifat asli pada dirinya tidak pernah hilang. Di luarnya saja Cindy itu terlihat lugu, namun kalau kau sudah dekat dengannya maka kau akan tau bagaimana Cindy yang sebenarnya
Ucapan Bibi Laura tiba-tiba terlintas di kepalanya. Apa yang di katakan wanita paruh baya itu sepertinya sudah terlihat di diri Cindy perlahan-lahan.
Sepertinya Cindy orang yang keras dan susah di atur.
"Apa kau akan terus di sini, Pak? Aku harus mengganti bajuku," lamunan Simon buyar ketika suara Cindy menyapa gendang telinganya. Ia mengarahkan tatapannya kepada gadis itu.
"Kau masih marah kepadaku?" tanya Simon tiba-tiba, ia kembali berjongkok di depan Cindy.
Cindy menatap wajah tampan Simon di depannya. Entah kenapa ia merasa pria ini bersikap aneh hari ini.
"Aku sudah tidak marah lagi padamu, Pak-"
"Kalau tidak marah kenapa nada suaramu ketus kepadaku?" potong Simon cepat dan ia sedikit menarik tubuh Cindy mendekat ke arahnya.
Cindy yang kaget tidak tau harus berbuat apa, matanya bergerak-gerak menatap setiap bagian pahatan wajah Simon yang tampan.
"Dengarkan aku... maaf sudah membuatmu marah.. maaf sudah membuatmu sakit hati mendengar ucapanku. Aku tidak bermaksud untuk melukai hatimu dengan kata-kataku. Aku tau kau masih marah kepadaku, walaupun kau berusaha untuk mengatakan tidak tapi dari cara kau berbicara kepadaku, aku langsung tau.. kau tidak pernah bicara ketus sebelumnya kepadaku, meski pun aku dan kau belum cukup seminggu berkenalan.. aku sudah tau bagaimana kau yang sebenarnya, Cindy." Simon mengakhiri ucapannya.
Baru kali ini ia berbicara sepanjang itu, padahal yang orang tau ia irit bicara dan to the point, sepertinya ini rekor pertama ia berbicara sepanjang itu.
"Aku tidak marah padamu, Pak." Cindy menangkup wajah Simon. Ia menempelkan kening mereka, "aku hanya terkejut ketika kau selalu membentakku dan mengucapkan kata kasar itu, secara tidak sengaja kau tampak seperti menghinaku."
Simon merasakan usapan lembut dan hangat dari telapak tangan Cindy, ia juga dapat melihat wajah gadis itu yang memerah, entah karena apa.
Cindy menarik wajahnya namun tidak dengan jarak tubuh mereka, "aku mohon padamu, jangan membentakku lagi. Jika aku melakukan kesalahan yang membuatmu marah, tolong nasehati aku tapi jangan dengan emosi. Aku takut saat melihat wajahmu yang marah, Pak. Kau tampak seperti ingin membunuhku," ujar Cindy dengan wajah yang memohon.
Simon yang melihat wajah Cindy seperti itu tidak bisa menyembunyikan rasa gemasnya. Dengan gerakkan cepat ia menarik tubuh gadis itu dan kembali mencium bibirnya.
Cindy yang awalnya terkejut akan gerakkan Simon, menyambut ciuman pria itu. Ia berusaha mengimbangi gerakkan bibir Simon.
Perlahan tangan Simon menyentuh ujung gaun Cindy yang lembab, dengan bibir yang masih menyatu Simon mengangkat gaun putih itu ke atas dan meloloskannya ke atas kepala Cindy.
"Tutup matamu," ujar Simon kepada Cindy sesaat setelah melepaskan ciumannya.
Cindy menurut ia mentup matanya sedangkan Simon kembali mencium bibir Cindy dengan tangannya yang bergerak membuka bra yang di kenakan Cindy.
Simon mengganti pakaian dalam gadis itu yang basah dengan yang baru. Dengan masih berciuman Simon mengaitkan bra yang baru dan memasangkan kaos ke tubuh Cindy.
"Kau bisa menggantinya sendiri?" bisik Simon di depan bibir Cindy setelah melepaskan ciumannya dan menyentuh paha bagian dalam gadis itu.
Cindy yang mengerti apa maksud dari ucapan Simon mengangguk kecil sembari tersenyum.
"Gadis pintar," Simon mengusap-usap kepala Cindy. Lalu ia berdiri dari tempatnya. "Sekarang istirahatlah, aku sudah menghidupkan pemanas kamarmu, jadi kau tidak perlu menggunakan kakimu untuk melangkah,"
"Terimakasih, Pak." ujar Cindy sembari tersenyum.
^^^
Sudah lima belas menit saat Simon keluar dari kamarnya, tapi Cindy masih belum bisa menutup matanya. Ia masih mengingat kejadian hari ini, dimana dirinya di bentak oleh Simon sekaligus pria itu juga menciumnya.
Apa maksud dari ciuman itu? Apa pria itu juga mempunyai rasa kepada dirinya? Tapi sepertinya itu mustahil.. mereka baru bertemu dan itu belum genap seminggu.
Cindy gusar jika sudah mengingat itu semua, yang tau tentang perasaannya kepada Simon hanya Bibi Yuma dan ia berharap Bibi Yuma tidak menceritakan semua itu kepada Simon.
Ah... Simon. Kenapa wajah dan nama pria itu selalu terngiang-ngiang di kepalanya!!
Cindy merubah posisinya menjadi duduk. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan mungkin saja Simon sudah tidur sekarang.
Cindy menyibak selimutnya, ia mencoba untuk berdiri dan dengan sedikit pincang ia melangkah menuju pintu.
Ia keluar dari kamarnya, melangkah menuju kamar Simon. Awalnya rasa ragu mengerayangi Cindy.. tapi jika ia mengikuti rasa keraguannya itu maka ia tidak akan bisa tidur dan pasti akan memikirkan Simon terus-menerus.
Cindy sudah berdiri di depan pintu kamar Simon. Perlahan ia mengangkat tangannya dan mengetuk pintu kamar bercat putih di depannya.
Cindy mengetuk pintu itu dan membukanya, yang pertama kali ia lihat di kamar itu adalah Simon yang sedang sibuk dengan kegiataannya.
"Pak,"
Simon yang tadinya memunggungi Cindy, memutar tubuhnya menghadap gadis itu.
Cindy mengerjap bingung melihat penampilan pria itu. Keningnya berkeringat, tangannya memegang... kain lap?
Tatapan Cindy naik kembali ke wajah Simon yang saat ini sedang menatapnya.
"Apa yang kau lakukan?"
"Hati-hati dengan langkahmu," ujar Simon ketika melihat Cindy masuk ke kamarnya.
Dapat Cindy rasakan benda tajam di telapak kakinya. Perlahan ia mencoba mengangkat kakinya dan melihat ada pecahan kaca kecil-kecil yang menempel di sana.
"Aku belum sepenuhnya membersihkan serpihan kaca di lantai,"
Mendengar ucapan Simon, membuat Cindy langsung mendongak ke arahnya.
"Kenapa kau membersihkannya sendiri? Kau kan bisa meminta seseorang untuk membersihkannya?" Cindy membersihkan telapak kakinya dan berjalan masuk ke dalam kamar.
"Aku tidak suka orang lain masuk ke tempat yang menurutku sangat pribadi."
Tubuh Cindy seketika langsung mematung, ia menatap sungkan Simon. "Berarti aku tidak boleh masuk-"
"Kecuali dirimu,"
Dua kalimat itu mampu membuat hati Cindy berbunga-bunga. Apa ini? Hanya mendengar kalimat manis dari bibir Simon membuat Cindy lupa akan segalanya.
Menyebalkan!!
"Cindy?"
"Ya?"
"Kau melamun,"
"T-tidak... kaki-ku nyeri jadi..."
"Benarkah? Apa kau ingin aku ganti perbannya?" Simon mendekat ke arah Cindy, ia berjongkok di depan gadis itu dan memeriksa kakinya.
Cindy mengangkat sedikit kakinya dengan tangannya yang berpegangan di pundak Simon.
"Ingin ganti perban yang baru?" Simon mendongak, dapat Cindy lihat betapa tampannya wajah pria itu walaupun ia sedang berkeringat.
Cindy menggeleng, "aku ke sini bukan untuk mengganti perban, Pak."
Simon mengerjap, ia berdiri. "Lalu?"
Cindy menundukkan kepala, ia meremas pinggiran kaos yang di kenakannya.
"Cindy?"
"Aku tidak bisa tidur, Pak." jawab Cindy cepat dan mendogak-menatap Simon. "Setelah kejadian tadi aku tidak bisa tidur dan terus memikirkanmu,"
"Apa?"
"Aku ingin tidur di sini." Akhirnya apa yang ingin ia utarakan terucap juga. Apa respon Simon tentang dirinya, setelah mendengar pengakuannya itu?!! Cindy berharap semoga Simon tidak menolak.
Simon mengerjap bingung, Cindy sendiri langsung duduk di tepi ranjang milik Simon sembari menundukkan kepala.
"Baiklah,"
Cindy mendongakkan kepala ke arah Simon, ia tidak salah dengarkan? Simon menginjinkannya untuk tidur di sini?
"Aku menginjinkannya, tapi hanya untuk malam ini."
Cindy mengangguk, "ya sudah, kau tidurlah.. aku harus menyelesaikan ini dulu."
Simon kembali melanjutkan kegiatannya meninggalkan Cindy yang terheran-heran di tempatnya.
Cindy menatap diam punggung lebar Simon. Pria itu masih memakai kemeja dan celana kerjanya.
Apa ia tidak kedinginan memakai baju itu?
"Pak,"
"Mm.."
"Kau tidak mengganti bajumu?"
"Tanggung ganti baju, Cindy. Sehabis ini aku langsung mandi."
Cindy hanya mengangguk-anggukkan kepala. Ia menguap dan rasa kantuknya tiba-tiba melanda.
Perlahan Cindy merebahkan tubuhnya ke ranjang-menutup mata lalu dengan perlahan kesadarannya pun lenyap.
Simon selesai dengan kegiatan bersih-bersihnya, ia menoleh ke arah Cindy yang sudah terlelap. Sesaat ia tersenyum, semua perkataan yang di ucapkan Bibi Laura kepadanya ternyata benar.
Cindy gadis yang sulit di tebak dan wataknya yang keras. Padahal waktu pertama bertemu gadis itu terlihat lembut tapi lama-kelamaan sifat aslinya keluar dan membuat Simon cukup terkejut.
Seperti halnya hari ini, bisa-bisanya gadis itu menyebutnya br*ngs*k. Memikirkan itu saja sudah membuat Simon tertawa. Tapi.. ada kalanya juga ia tidak bisa menyembunyikan rasa ketakutannya ketika Cindy mengatakan gadis itu membencinya, walaupun ia tau ucapan itu tidak serius dan Cindy juga mengatakannya di saat ia sedang marah.. tapi tetap saja Simon takut jika ucapan Cindy itu terwujud.
Ia takut kalau Cindy membencinya.. dan ia juga takut kalau Cindy akan pergi meninggalkannya mengingat permintaannya yang ingin pulang ke desa.
Simon mendengar semua ucapan Cindy. Ia mengikuti gadis itu dengan mobil, ketika Bibi Yuma mengetuk pintu kamarnya dan memberitahu dirinya kalau Cindy pergi dari rumah.
Mendengar hal itu, Simon cepat-cepat membawa mobilnya-menempuh jalanan di tengah malam dan guyuran hujan.. dan untuknya dewa fortuna bersamanya.. tak butuh waktu lama Simon menemui Cindy yang terduduk di tepi jalan.
Simon melangkah mendekat ke arah Cindy. Ia menyelimuti tubuh gadis itu dan menatap sejenak wajah Cindy.
Perlahan Simon merendahkan tubuhnya lalu mengecup kening gadis itu cukup lama.
"Maaf, sudah membentakmu." bisik Simon lalu berlalu ke kamar mandi.
Pintu kamar mandi tertutup dan mata Cindy yang tadinya terpejam terbuka dengan lebar. Perlahan-lahan senyumannya terbit. Ia menyentuh keningnya, lalu menatap pintu kamar mandi Simon yang tertutup.
"Aku akan membuatmu menyukaiku, Simon."
Tues, 15 June 2021
Follow Ig : vivi.lian23