M&C - Part 4

1131 Kata
Cindy melangkah masuk kedalam rumah yang langsung di sambut oleh Pamannya. "kau sudah tiba, nak?" ujar Paman di kursi rodanya. Cindy mendekat ke arah pria tua itu dan berjongkok sejajar dengannya. "Maaf ya Paman, aku terlambat, tadi ada sedikit masalah." "Masalah?" Cindy mengangguk, "sepedaku tidak sengaja tertabrak.. tapi Paman jangan cemas aku baik-baik saja, untungnya saat kejadian itu aku masih di dalam toko," Wajah Paman yang tadinya tampak cemas langsung berubah relaks saat mendengar semua cerita Cindy. "Apa si penabrak bertanggung jawab?" "Iya, dia memberikan uang ganti rugi," Cindy menunjukkan uang yang di berikan Simon kepada Paman. "Dia juga memberikan tumpangan agar aku bisa pulang, sekarang dia ada di luar bersama Bibi," "benarkah?" "Bibi juga memintaku untuk membuatkan minuman untukknya, kata Bibi itu rasa terimakasihnya karena telah bertanggung jawab," "Paman jadi penasaran bagaimana rupa orang itu. Ya sudah, sana buatkan minuman untuknya." Cindy mengangguk lalu berlalu dari hadapan Paman. Paman sendiri merasa sangat penasaran dengan pria yang telah menabrak sepeda keponakannya, ia pun mendorong kursi rodanya mendekat ke arah pintu. Paman mengulurkan tangan menyentuh knop pintu dan hendak membukanya namun pintu terlebih dahulu di buka dari luar. Dan muncul-lah Bibi bersama Simon. Mata Simon dan mata Paman beradu pandang, cukup lama mereka tatap-tatapan hingga Bibi memecah suasana hening itu. "Sayang-" "Kenapa pria ini ada di sini?" ujar Paman datar ke arah Simon. Simon sendiri hanya bisa menatap diam Paman lalu matanya kembali beralih kepada Bibi. "Suamiku, kau tenang dulu. Dia.. yang menabrak sepeda Cindy dan dia juga sudah bertanggung jawab-" "Jika dia bertanggung jawab atas sepeda Cindy, lalu bagaimana dengan kakakku? Apa dia bertanggung jawab atas kematiannya?" Simon hanya menundukkan kepala mendengar ucapan tidak benar Paman itu. Paman salah paham, ia bukan orang yang seperti itu. Bibi menatap cemas Simon, lalu beberapa saat kemudian ia berbisik tepat ke telinga Paman. Setelah mendengar bisikkan Bibi, tanpa mengatakan apa pun Paman memutar kursi rodanya dan pergi dari hadapan mereka. Bibi menyentuh pelan bahu Simon. "Tak apa, tidak perlu cemas. Aku sudah mengatakan yang sebenarnya kepadanya." Simon mengangguk, Bibi menggandeng tangannya masuk ke dalam rumah dan saat itu juga ia dapat melihat Cindy yang tengah sibuk di dalam dapur dan tanpa ia sadari ia tersenyum melihat gadis itu yang tengah sibuk dengan kegiatannya. *** Cindy mengeluarkan biji kopi yang ia beli di toko Molly tadi. Ia memasukkan sebagian biji kopi ke dalam mesin penggiling dan menghidupkan benda itu. Sembari menunggu biji kopi hingga halus, ia menoleh ke arah ruang tamu dimana ada Bibi dan Pamannya dan juga pria yang menabrak sepedanya. Mereka tampak berbincang-bincang. Bibi terlihat bersemangat berbicara dengan pria itu sedangkan Paman, ia tampak seperti tidak menyukai kedatangannya, wajahnya datar dan ia tak berbicara sama sekali. Paman hanya menatap pria itu dan membuatnya sedikit tidak nyaman. Buktinya pria itu sama sekali tidak berani menatap Paman dan terus berusaha berbicara dengan Bibi seperti tidak mau menghentikan pembicaraan mereka. Merasa biji kopi telah halus, Cindy pun mengeluarkan kopi yang telah jadi bubuk itu dan mulai menyeduhnya dan beberapa saat kemudian dua gelas kopi pun siap di sajikan. Cindy menyajikan dua gelas kopi yang ia buat tadi kepada Paman dan pria yang terus menatapnya sedari tadi, lebih tepatnya ketika ia baru keluar dari dapur. Mata tajam itu terus mengikuti gerak geriknya dan membuatnya sedikit risih. "Nak, duduk lah disini."  ujar Bibi menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya. Cindy mengangguk dan duduk di samping Bibi. "Cindy, entah hidupmu ini penuh dengan keberentungan atau apa.. tapi yang jelas kau sudah bertemu dengan orang yang dapat kami percayai, Nak." Cindy mengernyit mendengar ucapan Bibi. "M-" baru ingin membuka mulutnya, ucapan Cindy langsung di potong oleh Bibi dan wanita paruh baya itu menggenggam tangannya dengan erat. "Nak, pria yang menabrak sepedamu ini adalah orang yang sangat dekat dengan Paman dan Bibi. Namanya Simon, lebih tepatnya Simon Julian Sachdev." Cindy menatap pria yang bernama Simon itu. Matanya yang bulat menatap mata tajam milik pria itu. Mata itu tampak lelah dan terlihat ada kesedihan disana. "Cindy, bisakah Bibi meminta sesuatu padamu?" Cindy kembali mengarahkan perhatian kepada Bibi, ia kembali menganggukkan kepala. "Apa itu?" Bibi menguatkan genggamannya pada tangan Cindy, ia menarik nafas panjang lalu berucap. "Tinggal lah bersama Simon mulai sekarang." *** Suasana hening sangat terasa di dalam mobil milik Simon malam ini. Ia yang duduk di belakang kemudi terus melirik Cindy yang duduk diam di sampingnya. Setelah pembicaraan mereka di rumah Bibi tadi akhirnya Cindy meng-iyakan suruhan wanita itu agar tinggal bersama Simon walaupun awalnya ia menolak dan bersikeras tidak mau pergi dan meninggalkan kedua paruh baya itu di desa. Selama di perjalanan ia terus memikirkan mereka, bagaimana keadaan mereka tanpa dirinya nanti? Apa mereka akan baik-baik saja? Semua pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di benaknya hingga membuatnya terus diam selama di perjalanan. "Kita sampai," Suara Simon menyapa gendang telinga Cindy, ia langsung menoleh ke arah pria itu. "Turun lah," ujar Simon membuka seatbelt nya. Cindy menurut, ia turun dari mobil dan melirik kiri kanan. "Ini kan.." "Kita menginap dulu di sini, lusa baru kita pergi ke California." "Kalau seperti itu, lebih baik aku di rumah Bibi saja, ini masih di lingkungan desa," Simon tidak mengacuhkan Cindy, ia mengotak atik ponselnya dan menghubungi seseorang dan beberapa saat kemdian muncul lah Gorge dari dalam gedung penginapan. "Tolong keluarkan koper yang ada di dalam bagasi," Simon memberikan kunci mobilnya ke pada Gorge. Gorge mengangguk dan langsung membuka bagasi mobil dan saat ia ingin menuruni koper warna biru dari dalam sana, tangannya di tahan oleh Cindy. Gorge reflek menoleh dan matanya bertemu dengan mata milik Cindy. "Biar aku saja," ujar Cindy mengambil alih koper miliknya. Koper sudah di tangan, Cindy pun menjauh dari sana dan berdiri di samping Simon. Gorge sendiri masih mematung di tempatnya. "C'mon Gorge." Gorge langsung tersadar dari lamunannya. Ia cepat-cepat menutup kembali pintu bagasi dan mengikuti Simon dan gadis yang tidak ia kenal dari belakang. ^^^ "Dua hari ini kau tidur sekamar dengan Rendra dulu," Simon berdiri membelakangi Gorge yang ada di dalam kamarnya. Ia terus berbicara sembari membuka jas dan jam tangan yang ia kenakan. Gorge mengangguk tanpa suara, Simon menghadapkan tubuhnya ke arah Gorge. "Dia Cindy, adik dari Kiara." Mendengar apa yang telah bossnya ucapkan, Gorge reflek mengangkat kepalanya dan menatap Simon dengan mata yang membulat. "Dia hilang ingatan dan tidak mengingat apa pun," Gorge mengerjap, lalu membuka mulutnya. "Jadi.. apa rencana Anda selanjutnya, Pak?" Simon memasang wajah berpikir, "aku hanya berpikir, untuk membawanya ke California-" "Tapi itu akan sangat berbahaya, Pak. Terlebih lagi di tempat itu ada Alvino." "Tidak akan ada bahaya jika Alvino tidak melihatnya. Dan lagi pula pria itu tidak akan mengenali Cindy, wajahnya sudah berbeda dari lima tahun yang lalu." Gorge tidak menyaut, namun ia percaya akan ucapan Simon, jika Alvino tidak akan bertemu dengan Cindy. Adik dari kekasih pria itu yang kabarnya di rebut oleh bossnya, Simon. Sat, 29 May 2021 Follow ig : vivi.lian23
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN