Nana refleks membuka ponselnya dan melihat jam. Begitu melihat layar, matanya melebar. Lima menit lagi!
Ia hampir lupa kalau sebentar lagi film yang ingin ia tonton akan dimulai. Panik, ia langsung mengambil kuenya dan mulai melahapnya dengan terburu-buru.
Namun, saking cepatnya, remah kue tersangkut di tenggorokannya, membuatnya terbatuk keras. Ia buru-buru meraih minumannya dan meneguknya dengan cepat.
Kift yang melihatnya langsung panik. "Eh, eh! Pelan-pelan, Nana!" serunya, tangannya terangkat seolah siap menolong.
Nana mengangkat tangan, memberi isyarat kalau ia baik-baik saja. Setelah beberapa tegukan, akhirnya ia berhasil meredakan batuknya.
Kift menghela napas lega. "Astaga, kamu ini. Udah kayak dikejar waktu aja."
Nana buru-buru mengemas barangnya. "Memang dikejar waktu, Pak! Film saya mulai lima menit lagi!"
Kift terkekeh, menggeleng pelan. "Ya ampun, pantesan." Ia menyesap minumannya sekali lagi, lalu ikut bersiap berdiri. "Saya juga harus ke restoran. Ada meeting sama dua sahabat saya."
Nana memasukkan ponselnya ke tas dan tersenyum kecil. "Kalau begitu, saya duluan, Pak. Makasih minumannya!"
Kift melambaikan tangan dengan santai. "Hati-hati. Jangan sampai batuk lagi gara-gara lari."
Nana tertawa kecil sebelum akhirnya bergegas meninggalkan meja, sementara Kift menggelengkan kepala, masih tersenyum melihat tingkahnya.
***
Kift melangkah santai menuju lift, minumannya masih digenggam di tangan. Ia menekan tombol dan menunggu pintu terbuka. Saat akhirnya masuk ke dalam, ia menyandarkan punggung ke dinding lift, menghela napas pelan.
Minuman ini… tidak buruk. Ia menatap gelasnya sebentar sebelum kembali menyesapnya. Pengalaman baru yang cukup menarik.
Sesampainya di lantai restoran, pintu lift terbuka, dan Kift melangkah keluar. Begitu ia menoleh ke sekeliling, dua sosok familiar sudah menunggunya di depan restoran—Allexe dan Artur, dua sahabat karibnya.
Artur menyilangkan tangan di d**a dengan ekspresi penasaran. “Lama banget, Kift. Jangan bilang dosen sibuk ini nyasar di mall?” godanya.
Allexe, yang lebih tenang, mengangkat alis begitu melihat gelas di tangan Kift. “Kamu nggak pesan kopi?” tanyanya heran.
Kift terkekeh, mengangkat gelasnya sedikit. “Nyoba sesuatu yang baru.”
Artur meliriknya curiga. “Tunggu… jangan-jangan gara-gara cewek?”
Kift hanya tersenyum tanpa menjawab, membuat Allexe dan Artur langsung saling pandang.
Allexe menghela napas. “Oke, ini menarik. Kita bahas di dalam.”
Artur menepuk bahu Kift sambil tertawa kecil. “Masuk, masuk! Meeting kita tiba-tiba jadi lebih seru dari yang gue kira.”
Kift hanya menggeleng pelan, mengikuti langkah kedua sahabatnya menuju meja mereka di restoran.
Allexe mengetuk ujung jarinya di meja, menatap Kift dengan penuh perhatian. “Kalau kamu sampai berubah kebiasaan gara-gara seseorang, itu berarti ada sesuatu yang menarik.”
Kift hanya tersenyum kecil, tidak menanggapi lebih jauh. Sementara itu, Artur—yang jelas lebih menikmati situasi ini—tertawa pelan. “Gue nggak nyangka bakal lihat hari di mana Kift tertarik sama sesuatu selain bisnis dan mengajar. Ini sejarah.”
Kift menggeleng sambil menyeruput air putihnya. “Fokus ke meeting dulu, kalian berdua terlalu banyak teori.”
Allexe mengangguk, kembali serius. “Baik. Kita bahas laporan terakhir dari tambang dulu.” Ia membuka dokumen di tabletnya, sementara Artur masih terlihat ingin menggodanya, tapi akhirnya ikut fokus.
Meski begitu, di sela-sela pembicaraan mereka, Artur sesekali melirik Kift dengan senyum penuh arti, seolah menyimpan godaan lain yang akan ia keluarkan di lain waktu.
Allexe membuka dokumen di tabletnya, menampilkan data terbaru tentang bisnis batu bara mereka. “Jadi, kita bahas soal ekspor batu bara. Kamu mau fokus ke negara mana dulu?”
Kift menyilangkan tangan di d**a. “Pasar mana yang paling potensial sekarang?”
Allexe menggulir layar tabletnya. “China dan India masih jadi konsumen terbesar. Tapi beberapa negara di Asia Tenggara seperti Vietnam dan Filipina juga mulai meningkatkan impor karena kebutuhan energi mereka.”
Artur menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Aku punya kenalan di Singapura yang biasa jadi perantara ekspor. Kita bisa manfaatin itu buat distribusi ke beberapa negara tanpa harus langsung masuk ke pasar yang lebih ribet.”
Kift mengangguk pelan. “Masalahnya, kalau lewat perantara, margin kita bakal lebih kecil.”
Allexe mengangguk setuju. “Benar. Tapi kalau kita mau ekspor langsung, kita butuh koneksi ke pembeli besar dan akses ke pelabuhan ekspor yang lebih luas.”
Artur mengetuk meja dengan jarinya. “Kalau gitu, kita bagi tugas. Allexe bisa fokus cari buyer langsung di China dan India. Aku bakal gali lebih dalam opsi distribusi lewat Singapura.”
Kift berpikir sejenak. “Baik. Satu lagi, kita harus pastikan regulasi ekspor tetap aman. Ada beberapa kebijakan pemerintah yang bisa mempengaruhi pengiriman kita.”
Allexe langsung mencatat. “Aku akan cek soal itu. Kalau ada hambatan regulasi, kita bisa cari solusi dari sekarang.”
Kift menghela napas ringan, merasa puas dengan arah pembicaraan ini. “Oke, kita lanjutkan strategi ini. Kalau berhasil, ini bisa jadi langkah besar buat bisnis kita.”
Mereka bertukar pandang, menyadari bahwa keputusan ini bukan hanya soal ekspor, tapi juga masa depan bisnis mereka di industri batu bara.
***
Artur melirik dua sahabatnya yang tampak sibuk dengan pikiran masing-masing. Kift menatap meja dengan ekspresi serius, mungkin sedang menganalisis langkah selanjutnya. Sementara itu, Allexe mengetuk-ngetukkan jarinya ke tablet, membaca ulang data yang baru saja mereka bahas.
Menghela napas, Artur akhirnya mengangkat tangan, memanggil pelayan. “Mas, kita pesan makanan dulu.”
Pelayan segera menghampiri, siap mencatat. Artur melirik menu sebentar, lalu menoleh ke kedua temannya yang masih diam. “Aku pesan tiga porsi steak dan minuman yang biasa buat kalian, ya?”
Kift mengangkat kepala sekilas. “Terserah.”
Allexe hanya mengangguk, masih fokus dengan tabletnya.
Artur terkekeh pelan sebelum kembali ke pelayan. “Oke, mas. Steak tiga, minumannya satu kopi hitam, satu teh tawar, dan satu jus jeruk.”
Setelah pesanan dicatat, pelayan pergi. Artur menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Kift dan Allexe dengan tatapan geli. “Serius banget. Kalau orang lihat dari luar, mereka bakal kira kita lagi bahas rencana menyelamatkan dunia.”
Kift hanya tersenyum tipis. “Bukan dunia, cuma bisnis kita.”
Allexe menutup tabletnya dan akhirnya bersandar. “Bagus kalau kamu sadar betapa pentingnya ini.”
Artur mengangkat bahu. “Ya, ya. Tapi serius, kita harus makan dulu biar otak tetap jalan.”
Kift dan Allexe hanya saling pandang sebelum akhirnya mengangguk setuju. Mereka bisa melanjutkan strategi setelah makan.
Allexe mengangkat alis ketika Artur menyinggung soal keluarga. “Jadi kapan kamu nyusul, Kift?”
Kift hanya terkekeh, menatap ke arah pelayan yang mulai datang membawa makanan. “Makan dulu, bahas itu nanti.”
Artur mendengus kecil, tapi membiarkan topik itu berlalu sementara. Setelah pelayan meletakkan piring-piring mereka, Allexe kembali bersuara, kali ini dengan nada lebih santai. “Anak-anakku juga makin banyak tingkah. Si sulung mulai sok bijak, merasa dirinya sudah paling dewasa. Anak tengah, si perempuan, malah lebih kritis—banyak nanya hal-hal yang kadang aku sendiri bingung jawabnya. Dan yang bungsu masih sering nangis kalau aku pergi kerja.”
Kift tersenyum, membayangkan Allexe yang biasanya serius harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari anak perempuannya. “Anak tengahmu bakal jadi orang yang pintar kalau begitu.”
Allexe mengangguk. “Dia memang cerdas, tapi juga paling susah dibantah.”
Artur tertawa. “Sepertinya ada turunan dari bapaknya.”
Allexe hanya menggeleng pelan, sementara Kift menyesap minumannya. Di antara kesibukan mereka membangun bisnis, ada kehidupan yang tetap berjalan di luar itu. Kift menyadari bahwa, meskipun sahabat-sahabatnya sudah berkeluarga, mereka tetap meluangkan waktu untuk mengurus rumah tangga. Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya, ia berpikir tentang seperti apa hidupnya jika ada seseorang yang menunggunya di rumah.
Artur mulai memotong steaknya dengan santai, lalu melirik Kift yang masih terlihat tenang menikmati makanannya. Dengan nada menggoda, ia bertanya, “Kift, aku penasaran… soal mahasiswi itu, kamu suka atau enggak?”
Kift mengangkat alis, meletakkan pisau dan garpunya sebentar. “Mahasiswi yang mana?”
Artur menyeringai. “Udah jangan pura-pura. Yang bikin kamu tiba-tiba ganti minuman di Starbucks.”
Allexe yang sedari tadi lebih fokus pada makannya, kini ikut menatap Kift dengan minat. “Jadi, kamu tertarik?”
Kift menghela napas pelan. “Aku Cuma penasaran.”
Artur tertawa kecil. “Penasaran itu langkah pertama sebelum tertarik.”
Kift tidak langsung menjawab. Ia menyesap minumannya, lalu menatap kedua sahabatnya. “Aku sendiri belum yakin. Dia… berbeda dari kebanyakan orang yang pernah aku temui.”
Allexe menaruh garpunya dan bersedekap. “Kalau berbeda itu artinya menarik buat kamu, kenapa enggak coba lebih dekat?”
Kift terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Allexe. Ia memang tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang muncul sejak pertemuannya dengan Nana. Tapi apakah itu sekadar rasa ingin tahu atau sesuatu yang lebih?
Artur tersenyum nakal. “Aku dukung, Kift. Jangan kebanyakan mikir. Kamu juga butuh seseorang di luar bisnis dan kerjaan.”
Kift hanya menggeleng pelan, memilih kembali fokus pada makanannya. Namun, pertanyaan itu tetap mengendap dalam pikirannya lebih lama dari yang ia kira.