BAB 2 - Di Suatu Tempat Yang Asing

1511 Kata
“Ugh ... ssshhh...” Jelita berusaha bangkit dari posisinya yang sedang berbaring. Kepalanya terasa berat dan sakit seperti terkena pukulan gada. Ia meringis sambil terus memegangi kepalanya yang masih terasa berat. Setelah rasa sakit sedikit mereda, gadis itu menatap sekeliling ruangan  yang nampak begitu asing baginya. Ruangan itu tidak terlalu besar dengan dinding berwarna cream dan satu jendela yang tertutup tirai berwarna cokelat muda bercorak bunga-bunga. Jelita berusaha turun dari tempat tidur sambil menahan nyeri kepala yang masih berdenyut. Dengan langkah gontai ia hendak menuju ke arah pintu ruangan ini. “Di mana aku? Apa yang sebenarya terjadi?” Jelita mencoba membuka pintu dengan mengayunkan ganggangnya namun tidak berhasil. Ia terkunci di ruangan ini. Berulang kali ia mencoba namun tetap tidak bisa. Karena geram dan panik, ia menggedor-gedor pintu dan berteriak meminta untuk dibukakan. Namun, tak ada yang menyahut teriakannya. Mata Jelita terasa panas dan tak terasa air mata membasahi pipinya. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa tiba-tiba ia berada di sini? Wanita muda itu beringsut di sebelah pintu sambil memeluk lututnya. Ia menangis tersedu-sedu memikirkan keadaan sang Ibu juga adiknya yang pasti kebingungan karena tiba-tiba ia menghilang. Kembali Ia membenamkan kepalanya di lutut. Apa yang terjadi? mengapa ia ada disini sekarang? Tempat apa ini? Dan ... samar-samar ingatan tentang malam kemarin memenuhi pikirannya. Ia ingat saat dirinya tiba di rumah, tiga orang laki-laki yang mengenakan jas rapi menghampiri untuk memaksa membawanya pergi, setelah itu ia sudah tidak bisa mengingat apa-apa lagi. Suara gagang pintu yang di putar sontak membuat Jelita mendongak dan beringsut menjauh dari pintu. Dengan tertatih ia berusaha bangkit untuk berdiri. Kakinya begitu lemas sehingga ia harus berpegangan dan bersandar pada tembok untuk menopang tubuhnya. Dua orang pria yang mengenakan jas serba hitam masuk ke dalam kamar dan menatap tajam ke arah Jelita. Kembali tubuh gadis itu bergetar melihat kedua pria bertubuh besar itu. Dia ingat, orang-orang inilah yang membawanya kemari. Lalu muncul pria lain yang juga tidak asing, karena laki-laki bertopi itu juga ikut datang kerumahnya. Seringainya yang mengerikan membuat Jelita kembali bergidik ngeri. “Bawa dia,” titah pria bertopi itu kepada dua dibelakangnya yang dengan sigap menghampiri Jelita dan mencengkeram erat kedua lengannya. “Ugh!” Jelita meringis sakit ketika tangan kekar itu meremas lengannya. Sakit kepala yang ia rasakan saat terbangun tadi belum sepenuhnya hilang, dan perlakuan kasar dua orang berbadan besar itu semakin menambah tubuhnya serasa remuk. Sebelum membawa keluar dari kamar, lebih dulu mereka mengikat pergelangan tangan Jelita ke depan. Kontan saja hal tersebut membuat gadis itu meringis karena tali yang di pakai telah demikian tajam menggesek mengenai kulit. Mereka menyeretnya dengan kasar. Gadis itu tertatih-tatih mengikuti langkah-langkah lebar dari kedua pria menyeramkan ini. Sesekali Jelita mengeluh namun mereka acuh saja dan tetap berjalan sambil mencengkeram lengan. Saat menuruni sebuah tangga raksasa yang meliuk dengan pagar pembatas berukir bunga berwarna emas, barulah langkah mereka melambat dan membuat Jelita bisa sedikit bernapas. Dalam peningnya kepala, ia bisa melihat lampu kristal berukuran raksasa menjuntai indah di langit-langit bangunan ini. Memendarkan cahaya keemasan yang nampak elegan. Jelita tak sempat untuk menilai keindahan itu lebih dalam karena ia terus dipaksa berjalan. Entah berapa banyak anak tangga yang mesti di lewati. Jelita merasa seolah sudah berjalan begitu jauh dan ia mulai merasa lelah. Sebenarnya, kemana orang-orang ini akan membawanya? Perjalanan menuruni anak tangga telah berakhir dan kini kedua pria yang konsisten mencengkeram lengannya tanpa longgar sedikitpun,  kembali berjalan dengan sigap dan membuat Jelita tertatih-tatih. Langkah mereka baru terhenti ketika sampai di depan sebuah pintu kayu raksasa yang berukir bunga lotus di kanan kirinya. Pria bertopi itu mengetuk pintu, lalu ia masuk ke dalam sementara Jelita dan dua pria yang masih memeganginya menunggu di luar. Tak berselang lama, pria bertopi itu keluar dan memberikan isyarat dengan anggukan kepada kedua pria berjas hitam itu yang langsung menyeret kembali Jelita untuk ikut masuk ke dalam. Entah karena merasa ketakutan juga bingung, hawa dingin seketika menusuk-nusuk tubuh Jelita ketika kaki telanjangnya menyentuh lantai ruangan dibalik pintu kayu raksasa ini. Kepalanya yang masih terasa pening membuat penglihatannya kurang baik. Yang Ia lihat hanyalah sebuah ruangan sangat luas dengan gorden-gorden klasik mewah bergaya Spanyol menjadi d******i interior mencolok di ruangan itu. Dengan warna merah marun bersanding dengan warna emas membuat gorden itu semakin megah dan berwibawa. Jelita terus dipaksa berjalan, namun langkahnya sudah lebih pelan daripada sebelumnya. Dan tak berselang lama, langkahnya terhenti walau tidak terjadi dengan kedua lengannya yang masih di cengkeram kuat oleh kedua  pria ini. Hening. Begitulah suasana yang ada di ruangan ini. Jelita belum pernah berada di satu tempat yang begitu hening, bahkan suara anginpun tidak ada dan hal itu membuatnya bergidik ngeri, ‘Tempat apa ini? Orang-orangnya begitu kasar dan ... sangat-sangat mengintimidasi’ gumam Jelita dalam hati. Lalu, sayup-sayup terdengar suara seperti ketukan sepatu pantofel yang membuat Jelita beringsut takut. Entah mengapa, ketukan itu membuatnya merasa kecil dan tersudutkan seolah itu adalah suatu hal yang sangat mengerikan. Makin lama, ketukan itu semakin nyata terdengar jelas yang menandakan bahwa sang pemilik sebentar lagi akan tiba di ruangan ini. Seorang pria paruh baya dengan stelan jas hitam dan kemeja putih yang terbuka pada bagian d**a, melangkah masuk ke ruangan ini. Entah mengapa, gadis tersebut merasakan ketegangan tercipta di setiap langkah pria itu. Cara berjalannya begitu elegan, mantap dan penuh kharisma. Jelita sadar jika ia tak berkedip sama sekali ketika pria itu masuk, lalu dengan gerakan luwes pria itu duduk di sebuah kursi seperti singgasana yang telah tersedia disana. Diiringi dua orang pria bertubuh kekar yang tadinya mengekor, kini berdiri di samping kanan dan kiri pria tersebut. Jelita menatap pria baruh baya itu sekilas karena ia merasa tidak sanggup berlama-lama memandangi pria itu. Tatapan dingin dan mengintimidasi darinya membuat Jelita menciut dan kembali menunduk. Kedua pria yang memegang lengannya, tiba-tiba kembali menyeret Jelita dengan kasar untuk berjalan lagi ke depan agar lebih dengan pria yang telah duduk disinggasananya itu. “Ugh!” Jelita tersungkur ke lantai ketika dua orang pria yang mencengkeram lengan melepas dengan kasar dan mendorongnya sehingga ia jatuh ke lantai. Susah payah Jelita berusaha bangkit. Namun belum selesai ia duduk dengan tegap, pria paruh baya yang tadinya duduk di singgasana itu telah berlutut di depannya sambil melempar senyum mengerikan yang membuat Jelita begidik. Seringai yang penuh dengan kepuasan, kemenangan, meremehkan juga, tatapan yang haus akan sesuatu yang membuat Jelita merinding. “Ini anaknya?” tanya Pria paruh baya itu sangat dekat di wajah Jelita sampai-sampai gadis itu bisa merasakan napasnya. Jelita tetap menunduk, ia tak berani mendongak menghadap pria itu. “Iya, Tuan. Dia Jelita Revanala, anak dari Budiman dan Diana,” terang Pria bertopi dengan suara baritonnya yang membuat Jelita ngeri sekaligus terkejut bagaimana orang itu tahu nama dirinya dan orangtuanya. Pria paruh baya itu tertawa kecil namun membuat ruangan ini terasa penuh dengan suaranya. Dengan kasar, laki-laki itu mengangkat dagu Jelita sehingga nampak jelas sekali tatapan tajam darinya yang tertuju kepada Jelita. “Wow! She’s ... so beautiful ... hahaha.” Jelita bergidik ngeri dengan kata-kata pria baruh baya itu yang menggemakan nada penuh napsu dan niat jahat kepadanya. Namun, perlakuan kasar pria itu sedikit memantik rasa marah dalam dadanya. Semenjak bangun dari pingsan, ia telah merasakan sedih, gelisah, bingung, juga marah dan mempertanyakan mengapa ia bisa berada di tempat seperti ini. Memangnya apa yang terjadi? Jelita geram juga takut karena ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. “Aku baru tahu kalau ... anak Budiman secantik ini,” begitu kata Pria Paruh Baya tersebut sambil mengusap pipi jelita dengan ujung jarinya yang reflek dihindari oleh Jelita. ‘Siapa mereka? Mengapa mereka tahu nama Ayah?’ Kembali pertanyaan baru muncul di dalam kepala Jelita. “Dan ... “ Suara pria baruh baya itu menggantung namun tidak dengan telunjuknya yang terus menyusuri leher hingga pundak. Jelita berusaha untuk terus menghindar yang jutru membuat pria itu menyeringai senang. “Respon yang bagus. Aku suka wanita yang ... agresif. Aku jadi tidak sabar untuk bermain denganmu, Sayang. Pasti sangat menyenangkan...” Wajah pria baruh baya itu semakin dekat dengan Jelita sampai ia kembali merasakan napas panas pria itu menyentuh pipinya. Gadis itu menjadi sangat ketakutan dan juga marah karena pria itu benar-benar bersikap kurang aja padanya. Ia tidak bisa melawan karena tangannya terikat dan tenaganya sangat lemah. Laki-laki berwajah dingin itu menyentuh sedikit rambut jelita dan menghirupnya dalam-dalam lalu kembali menyeringai. “Aaahhh ... wangi sekali ...” Gadis itu berusaha menolak dan menghindar dengan cara apapun agar tangan pria itu menjauh. Namun bukannya menjauh, pria itu malah semakin mendekatkan wajahnya pada Jelita. Saking panik, marah, takut dan bingung, Jelita meludah tepat pada pipi. "Cuh!” Lelaki itu terkejut untuk beberapa detik begitupun dua pria yang berjaga di belakang Jelita yang langsung menyeretnya menjauh dari pria baruh paya tersebut. Suasana jadi hening mencekam, lalu perlahan sang wajah dingin mengelap ludah yang menempel di pipi dengan menggunakan tisu pemberian seorang pelayan. Kemudian, tiba-tiba saja lelaki tersebut tertawa begitu keras sekali sampai-sampai ruangan ini menjadi sangat penuh dengan suaranya. “Hahahah. Good Girl! Good Girl!” serunya sambil bertepuk tangan seolah puas melihat sikap yang ditunjukkan gadis cantik di depannya. Jelita sadar kalau ia sudah membuat masalah dengan meludahi pria itu. Entah apa yang akan terjadi padanya nanti. Ia reflek melakukan itu karena ia merasa marah dilecehkan. “Danu?” “Ya, Tuan Jhonas?” jawab Pria bertopi sambi berjalan mendekat ke arah pria itu. “Apa dia belum tahu?” “Maaf, belum Tuan.” “Hahahaha, pantas saja ... pantas saja. Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Kau tahu, dia gadis yang menarik bukan?” Pria yang bernama Danu yang merupakan kepercayan Tuan Jhonas itu mengangguk setuju dengan tatapan menunduk penuh hormat. “Coba lihat saja, sampai kapan keberaniannya tetap berkobar seperti ini.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN