Bab 7

1636 Kata
Hannan melirik sekilas ke arah Lila yang berada di sampingnya, lalu menghela napas panjang sebelum melangkah masuk ke butik milik mommy-nya. Lila tampak begitu bersemangat, wajahnya penuh senyum, seakan tak ada masalah sama sekali. Berbeda jauh dengan Hannan yang saat ini tengah dilanda kebingungan dan kekecewaan mendalam. Begitu masuk, seorang wanita berusia sekitar awal lima puluhan menyambut mereka dengan ramah. "Loh Hannan? Tumben banget kamu ke sini," sapa wanita yang bernama Risha, sahabat sekaligus manajer butik milik mommy-nya. Hannan hanya mengangguk pelan. "Aku anterin Lila belanja, Tante. Tolong bantu pilihkan baju yang sopan untuk dia," pintanya dengan sopan. Risha menoleh ke arah Lila, mengamati wanita yang berdiri di samping Hannan dengan penuh rasa ingin tahu. "Oh jadi ini istri kamu? Maaf ya Tante kemarin nggak bisa hadir di acara nikahan kalian. Kamu sih nikahnya mendadak banget," ujarnya dengan nada bercanda. Hannan hanya tersenyum canggung. Mendengar kata ‘nikah mendadak’ membuatnya semakin teringat bagaimana pernikahan ini terjadi secara tiba-tiba, tanpa cinta, dan penuh dengan jebakan. "Ya sudah ayo masuk! Tante bantu pilihkan baju yang cocok untuk kamu," ajak Risha sambil menggandeng tangan Lila. Tanpa ragu, Lila mengikuti Risha dengan riang, sementara Hannan memilih duduk di sofa yang disediakan di dalam butik. Sambil menunggu, ia membuka ponselnya dan mendapati beberapa pesan masuk dari kakak pertamanya, Alfa. Sebuah file dokumen terkirim ke ponselnya, dan pesan dari Alfa menyertai kiriman itu. [Itu semua informasi yang ingin kamu tahu tentang istrimu. Bagaimanapun masa lalunya, kamu harus bisa menerimanya. Bimbinglah istrimu untuk berubah.] Jantung Hannan berdetak lebih cepat. Tangannya sedikit gemetar saat membuka file tersebut. Matanya membelalak begitu melihat informasi yang tersaji di layar. Lila... wanita penghibur? Hannan menelan ludah dengan susah payah. Tidak hanya itu, Lila ternyata primadona di dunia malam, seorang wanita yang menjadi incaran banyak p****************g. Tarifnya fantastis, dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menghabiskan waktu bersamanya. Perasaan marah, kecewa, dan jijik bercampur menjadi satu. Hannan menggenggam ponselnya erat, menahan diri untuk tidak melempar benda pipih itu ke lantai. "Om! Aku udah selesai pilihnya!" suara ceria Lila membuyarkan lamunannya. Hannan menoleh dengan tatapan kosong. Ia menarik napas dalam untuk mengendalikan emosinya, kemudian berjalan menuju kasir untuk membayar semua belanjaan Lila. Meski butik itu milik mommy-nya sendiri, tapi Hannan dan kedua kakaknya tetap membayar sendiri. Namun, tentu saja dengan diskon yang cukup besar. Setelah selesai membayar, Hannan langsung mengajak Lila untuk pulang. Sepanjang perjalanan pulang, Hannan hanya diam. Rahangnya terlihat mengeras, tangannya menggenggam setir dengan erat. Lila yang duduk di sebelahnya mulai merasa aneh dengan sikap suaminya. Meskipun Hannan memang tak pernah tersenyum saat bersamanya, tapi ekspresinya juga tak marah seperti sekarang ini. "Om kok diam aja sih? Sariawan ya?" godanya sambil tersenyum lebar. Tak ada jawaban. Hannan bahkan tak meliriknya sedikit pun. "Om? Kenapa kok tiba-tiba marah sih? Aku kebanyakan pilih bajunya ya? Atau uang Om habis gara-gara beliin aku baju?" tanyanya penasaran. Hannan masih diam. Lila mengulurkan tangan, mencoba menyentuh lengan suaminya. Namun, Hannan langsung menepisnya dengan kasar. “Jangan sentuh saya!” sentaknya dengan keras. "Om!" Lila terkejut. "Ada apa sih kok tiba-tiba marah begini? Kalau duit Om habis gara-gara beliin aku baju, nanti pasti aku ganti kok! Aku nggak bakal ngutang sama Om," ucapnya sambil mengerucutkan bibir. Hannan menginjak rem mendadak, membuat mobil berhenti tiba-tiba. Lila nyaris terpentok dasbor. “Hati-hati dong, Om. Jangan berhenti mendadak begini! Kalau ada kendaaan di belakang, nanti bisa kecelakaan!" teriak Lila kesal. Jantungnya hampir saja copot karena ulah suaminya. Hannan menoleh dengan tatapan tajam. "Gimana caranya kamu dapetin uang buat ganti semua ini hah?" tanyanya dengan suara terdengar dingin. Lila mengerutkan kening. "Ya nggak tahu Om, yang penting nanti pasti dapat uang kok!" jawabnya santai. "Apa sudah ada yang menghubungi kamu buat 'booking'?" Hannan mendekatkan wajahnya dengan ekspresi penuh kemarahan. "Berapa tarif kamu per malam? Satu juta? Dua juta? Lima juta? Sepuluh juta? Atau seratus juta?" tanyanya penuh penekanan. Lila menatapnya bingung. "Maksudnya apa Om?" Hannan menarik nafas panjang, menekan emosinya. "Saya tahu siapa kamu, Lila. Saya juga tahu apa pekerjaan kamu!" suara Hannan bergetar menahan amarah. "Saya nggak berharap banyak dari pernikahan ini, tapi setidaknya kita bisa saling menghargai. Tapi kenapa? Kenapa saya harus menikahi wanita seperti kamu?! Saya yang selalu menjaga diri agar tidak menyentuh wanita sembarangan. Harus menikahi wanita yang biasa disentuh sembarang pria. Kenapa Lila? Kenapa kamu menjebak saya?! Bukankah pelanggan kamu banyak? Bukankah mereka lebih kaya dari saya? Kenapa harus saya yang kamu jadikan mainan?" tanya Hannan berteriak. Hannan memindai wajah Lila, lalu membalikkan badan, menyandarkan kepalanya di kursi. “Sebenarnya saya salah apa sama kamu? Sampai kamu menghancurkan kehidupan saya?” lanjut Hannan pelan, wajahnya terlihat sangat putus asa. Mata Lila berkaca-kaca, tapi ia segera menutupi kesedihannya dengan senyum ceria. Seolah tak ada masalah yang serius. "Om… mungkin itu dinamakan jodoh!" katanya pelan. "Om kan nggak punya pengalaman, jadi dipertemukan dengan aku yang sudah banyak pengalaman. Nanti Om aku ajari biar jadi mahir deh," lanjutnya dengan senyum lebar. Lila mendekat dan mencoba menggenggam tangan Hannan. "Makanya Om, jangan nolak kalau aku ajak olahraga. Biar aku nggak cari pelanggan lagi," bisiknya dengan nada menggoda. Hannan menepis tangannya dan kembali mengemudi, kali ini dengan kecepatan tinggi. "Om! Pelan-pelan dong. Nanti nabrak loh! Aku belum mau mati muda. Masih banyak hal yang belum aku lakukan!" teriak Lila panik. Hannan tidak peduli. Ia hanya ingin segera sampai di rumah dan menyelesaikan semuanya. Begitu mereka tiba, Hannan langsung menarik Lila turun dengan kasar. Membuat Lila berjalan terseok-seok mengikuti suaminya. "Om, jangan tarik aku kayak gini dong. Aku ini orang Om, bukan kambing!" protes Lila sambil memberontak. Beberapa kali dia meringis, karena cekalan suaminya terlalu kuat. Mommy Letta dan Tante Billa langsung keluar karena mendengar suara keributan. "Ada apa ini kok rebut-ribut?" tanya Mommy Letta dengan suara lembut. "Gak tau ini Om Hannan tiba-tiba tarik aku kayak kambing!" adu Lila cepat. Bibirnya cemberut dengan wajah sedih. "Hannan, lepasin tangan Lila. Kasihan dia sampai kesakitan begitu,” tegur Letta dengan tatapan tajam. Hannan berdecak dan segera melepaskan tangannya. Tapi wajahnya masih terlihay sangat marah. “Sebenarnya ada apa ini? Ngapain kamu tarik tangan Lila begitu? Jadi suami itu yang lembut, nggak boleh kasar, nggak boleh main kekerasan," tegur Letta menasehati. Hannan tersenyum sinis. “Aku nggak akan begini kalau dia nggak menjebakku, Mom! Apa Mommy tahu? dia itu seorang pelacvr! Dia itu wanita panggilan, Mom. Dia biasa melayani laki-laki hidung belang!" teriak Hannan dengan rahang mengeras. Matanya terlihat merah, menahan amarah. Letta dan Billa langsung terkejut. "Apa maksud kamu, Hannan?" tanya Letta mengerutkan keningnya. “Mana mungkin Lila seperti itu.” "Tapi kenyataannya memang begitu, Mom. Kalau Mommy gak percaya, tanya sendiri sama dia. Aku tadi pagi minta tolong Kak Alfa untuk menyelidiki identitasnya, karena aku yakin dia bukan perempuan baik-baik. Ternyata benar, dia itu pelacvr! Dia w************n, Mom." Letta menoleh pada Lila, lalu berjalan mendekat. "Apa benar begitu, Nak Lila?" tanyanya penasaran, berharap jika hanya salah paham. Lila menggigit bibirnya. Ia menatap Hannan dan Letta secara bergantian, lalu menunduk. Tak berselang lama, terlihat anggukan lemah darinya. "Aku memang wanita penghibur Mom," jawabnya dengan jujur. "Astaghfirullahaladzim..." Letta tertegun. Dadanya terasa sesak. Ia menatap putranya dengan sedih. "Kenapa bisa begini, Hannan? Padahal Mama selalu mengingatkan kamu untuk tidak salah pergaulan. Tapi kenapa….?” Letta tak mampu melanjutkan kata-katanya. Sorot matanya terlihat snagat kecewa. "Bukan aku yang salah, Mom! Tapi dia!" Hannan menunjuk Lila. "Dia yang menjebak aku! kalau dia gak pakai cara yang licik, mana mungkin aku bisa menikahi wanita menjijikkan seperti dia." Lila tampak ketakutan. Ia pun langsung berlutut di hadapan mereka. "Maafin aku Om, Mom.... Aku memang wanita panggilan, tapi aku janji akan berubah. Aku punya alasan kenapa aku melakukan itu. Aku terpaksa terjun ke dunia malam untuk…." "Tidak ada pembenaran untuk sebuah kesalahan!" bentak Hannan. “Apapun alasannya kamu tetap salah!” Hannan menarik nafas dalam-dalam untuk menekan amarahnya. Ia tak menyangka jika pernikahannya hanya bertahan satu malam saja. "Sekarang tidak ada lagi alasan kamu untuk tinggal di sini. Lila…. Mulai sekarang kamu bukan lagi…." "Cukup, Hannan!" bentak Letta memotong. "Jangan pernah kamu ucapkan kata-kata terlarang itu. Bagaimanapun masa lalu Lila, kamu gak boleh menceraikannya," teriaknya dengan tatapan tajam. Hannan menoleh dengan wajah terkejut. “Apa maksud Mommy? Kenapa Mommy menghentikan aku? Dia itu kotor, Mom. Dia gak pantas menjadi istriku,” Hannan melirik Lila dengan tatapan jijik. "Memang kenapa kalau Lila seorang wanita penghibur? Bukankah zaman sekarang banyak juga gadis di luar sana yang udah gak suci lagi? Lalu apa bedanya mereka dengan Lila? Hanya saja Lila menjualnya dengan tarif tertentu, sedangkan mereka memberikannya gratis pada pacar-pacar mereka," sarkas Letta dengan serius. "Bagaimanapun masa lalunya, kamu harus menerimanya Hannan. Ijab Kabul yang kamu ucapkan kemarin, bukan hanya kalimat kosong semata!" Hannan menggelengkan kepalaya. Ia tak menyangka jika mommy-nya masih saja mempertahankan Lila. Wanita yang jelas-jelas kotor dan menjijikkan. Letta menarik napas dalam-dalam, lalu berjongkok. "Ayo berdiri Lila. Bagaimanapun masa lalu kamu, kamu tetaplah menantu Mommy," ujarnya dengan lembut. Lila mendongak, matanya menatap wajah cantik Mama mertuanya, penuh haru. Tangisnya langsung pecah. Ia memeluk Letta dengan erat. Hanan yang melihat itu hanya bisa menghela napas panjang. Ia berjalan masuk rumah dengan wajah marah. Ia tak tahu apa yang dipikirkan mommy-nya hingga tak mengizinkan ia berpisah dengan Lila. Padahal sudah jelas-jelas jika Lila bukanlah wanita baik-baik. "Mommy akan membujuk Hannan untuk tidak menceraikan kamu. Tapi kamu juga harus janji, tolong tinggalkan dunia kelam itu dan cobalah untuk menjadi istri yang baik," kata Letta, mengusap punggung Lila dengan lembut. Lila mengangguk. Tangisnya pun semakin terdengar histeris. Ia memeluk Letta sangat erat, seolah menumpahkan semua kesedihan yang ada di dadanya. Billa hanya bisa menarik napas panjang, menatap mereka dengan pilu. Ia tak mau ikut campur dalam rumah tangga Hannan. Yang bisa ia lakukan hanyalah mendoakan yang terbaik. Hannan mengurung diri di kamarnya. Ia merasa sangat kecewa dan marah. Ia tak percaya bahwa Lila adalah wanita penghibur. “Kenapa harus aku ya Allah? Kenapa?!” gumam Hannan putus asa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN